Sunday, August 11, 2013

Orang Papua Menutut NKRI untuk Berdialog: "Apakah karena Orang Papua Percaya NKRI Pasti Mau Berdialog?"

Oleh Sem Karoba *)

Judul yang merupakan pertanyaan intisari ini pasti sudah dijawab saat membaca judulnya saja, yaitu "Tidak! NKRI pasti TIDAK bersedia dan tidak akan rela berdialogue dengan bangsa Papua!". Tetapi pertanyaan selanjutnya ialah, "Kalau sudah tahu begitu, kenapa terus-menerus tuntut dialogue?"

Barangkali pertanyaan tanggapan atas jawaban terhadap judul inilah yang lebih menarik untuk kita simak. Dari berbagai jawaban yang mungkin ada, kita ambil dua dari kemungkinan yang ada, yaitu dua yang kami anggap laing ekstrim ditambah dengan satu kemungkinan yang agak netral.

Ekstrim yang satu karena NKRI menganggap masalah Papua telah tuntas saat Perserikatan Bangsa-Bangsa mencatat hasil Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang dilaksanakan di Irian Barat pada Juli - Agustus 1969. Resolusi PBB waktu itu "mencatat" hasil dari pelaksanaan Pepera dimaksud. Oleh karena itulah, maka tuntutan untuk berdialogue tidaklah tepat. Yang harus diminta orang Papua ialah keadilan, keamanan dan kemajuan ekonomi, bukan kemerdekaan politik.

Di sini NKRI berharap orang Papua menuntut internal self-determination, dan bukan "external self-determination". Dan mekanisme untuk internal self-determination itu telah ada pemerintah daerah di tingkat terbawah sampai tingkat provinsi sehingga siapapun yang mau menyampaikan aspirasi haruslah disampaikan lewat koridor hukum dan mekanisme birokrasi pemerintahan Indonesia yang sudah ada, sah dan resmi berlakuk di dalam NKRI. Dialog boleh diadakan antatra Pemerintah Indonesia dengan orang Papua, yaitu dalam konteks bingkau NKRI, yaitu antara Pemda Papua dengan orang Papua, antara DPRP dengan orang Papua yang mereka wakili, antara DPR RI dengan DPRP atau Utusan Daerah. Itulah prosedur administrasi birokrasi pemerinahan NKRI yang ada, bahkan demikian birokrasi pemerintah di seluruh dunia.

Atas dasar pemikiran ini, tuntutan orang Papua menghadirkan pihak ketiga, apalagi diadakan dialogue di tempat yang netral (di luar wilayah hukum kedaulatan politik NKRI) merupakan sebuah tuntutan yang bukan saja tidak masuk logika politik NKRI, tetapi bertentangan dengan hukum NKRI dan harus disikapi sebagai merong-rong kedalatan negara.

Di satu sisi NKRI berpegang kepada produk hukum Perserikatan Bangsa-Bangsa: Resolusi 2505, pada tanggal 19 November 1969 tentang pelaksanaan Pepera dan hasilnya. Tetapi di sisi lain hampir semua orang Asli Papua menolak hasil Pepera dimaksud. Dengan kata lain, orang asing mengakui hasil voting orang Papua untuk menerima NKRI tetap di Tanah Papua, tetapi di sisi lain orang yang dikatakan memberikan suara dimaksud membantah dan bahkan menolak hasil pemungutan suara dimaksud.

  • Pertanyaannya sekarang apakah NKRI mau mendengarkan suara orang Papua ataukah menutup mata entah sampai kapanpun dan tetap bersiteguh kepada Resolusi 2505 PBB 1969 dimaksud?
Semestinya kalau demokrasi ada di Indonesia, kalau era reformasi ialah era demokratisasi, dan demokrasi ialah suara rakyat, dan suara rakyat itu ialah suara yang mayoritas, maka Indonesia seharusnya mendemokratisasi dirinya dalam mendengarkan aspirasi bangsa Papua.
  • ORANG PAPUA MEMANG TAHU, NKRI PASTI tidak akan  mengabulkan permintaan dialogue, terutama dengan alasan pengakuan internasinal.
  • Akan tetapi orang Papua akan terus menuntut, menutut dan menuntut, sampai kiamat-pun, tetap menuntut.

Orang Papua akan terus dan tetap menuntut Jakarta untuk BERDIALOGUE bukan karena NKRI akan akhirnya terpaksa merelakan dirinya untuk berdialogue dengan orang Papua, TETAPI justru sebaliknya, agar supaya akhirnya NKRI DIPAKSA untuk berdialgue.


Ekstim Kedua orang Papua terus menuntut berdialogue dengan NKRI karena NKRI akhirnya akan menyediakan waktu dan tempat untuk berdialogue setelah ada seorang Presiden NKRI yang demokratis seperti Prof. Dr. B.J. Habibie dan Prof.Dr. Amien Rais dan lainnya terpilih menjadi presiden Republik Indonesia yang ke sekian. Proses dialgoue itu akan berlangsung seperti yang telah terjadi di era BJ Habibie, dan era Alm. KH. Abdurrahman Wahid. Orang Papua akan dengan terbuka menyampaikan pendapat, pemerintah Indonesia akan terbuka menerima pendapat orang Papua, dan proses interaksi itu akan membentuk opini di Indonesia dan di Tanah Papua bahwa Papua dan NKRI harus berdialogue.

Itulah sebabnya walaupun saat ini orang Papua tahu tidak akan pernah ada kesediaan NKRI untuk berdialogue, tetapi mereka tetap konsisten menuntut Jakarta berdialogue.

Yang ketiga ialah skenario yang netral sekaligus universal. Orang Papua secara terus-menerus menuntut dialogue dengan NKRI karena ada hukum alam yang universal yang berlaku bagi setiap orang, setiap benda, setiap makhluk dan kehidupan ini secara universal, yaitu bahwa SEGALA SESUATU ADA MASANYA dan ada tempatnya. Yang penting bagi orang Papua ialah "menciptakan" waktu dan tempat itu dengan "berkata", "berfirman", karena pada mulanya ialah "Firman" dan "Firman itu bersama-sama dengan Allah" atau "Allah itu punya firman" dan "Firman itu ialah Allah" (Allah dan apa yang dikatakannya ialah satu") dan tanpa dia tidak suatupun yang jadi dari semua yang telah diciptakan. Maka dengan demikian orang Papua "mengucapkan kata-kata", menuntut, mengeluarkan pernyataan yang berdayacipta, karena itu ucapan manusia yang serupa dan segambar dengan Sang Pencipta sendiri. Maka "perkataan" itu akan mendatangkan fakta, yaitu NKRI akan berdialogue dengan bangsa Papua. Itu hukum universal, bukan hukum kolonial Belanda, bukan hukum neo-kolonial Indonesia, bukan hukum revolusi West Papua. Hukum universal tidak ada hubungan dengan politik atau negara, dengan suku-bangsa atau ras, ia berlaku sepanjang masa, dan di manapun juga.

Oleh karena itu, menuntut sebuah Dialogue Politik antara NKRI dan West Papua haruslah terus didengungkan, kepada media lokal, media internasional, kepada manusia, kepada hewan, kepada roh, kepada tumbuhan, kepada batu-batu, kepada apapun dan kepada siapapun. Karena "perkataan manusia" berdayacipta, ia sanggup mengadakan yang tidak ada, menciptakan yang baru, menghilangkan yang lama.

Jadi, orang Papua selalu menuntut NKRI untuk berdialog bukan karena NKRI akan serta-merta mengiyakan tuntutan mereka itu, bukan juga untuk mengambil hati orang lain agar memaksa NKRI untuk bergialogue, tetapi terutama agar dunia tahu, agar kehidupan tahu, agar moyang dan leluhur, anak-cucu dan segala yang ada tahu bahwa "Dialogue ialah solusi terbaik dan bermartabat, solusi beradab dan bukan biadab untuk menyelesaikan konflik apapun yang ada di muka Bumi, termasuk konflik NKRI-West Papua". Kalau kedua belah pihak tidak menemukan jalan keluar, maka sejarah ini akan mengajar kita dengan memberikan jalan keluarnya, sebab sejarah selalu berpijak kepada KEBENARAN, yaitu KEBENARAN MUTLAK, bukan kebenaran Papua ataupun KEBEBARAN NKRI, bukan juga kebenaran PBB, tetapi KEBENARAN ITU SENDIRI sebagai dirinya sendiri tanpa embel-embel kepentingan apapun dan siapapun.

Jadi orang Papua menuntut dialogue bukanlah sebuah upaya sia-sia karena "perkataan yang berdayacipta sudah mengudara dan pasti berbuah" dan "karena kebenaran tidak dapat dimanipulasi apalagi  dikalahkan oleh siapapun, kapanpun, bagamanapun dan di manapun juga". Akan tetapi orang Papua jangan berharap NKRI menjawab "Ya!" hari ini atau besok atau lusa. Jawaban yang pasti ialah "Tidak!" Tetapi jawaban "Tidak!" itu jawaban saat ini, sekarang, hari ini. Hari esok bukan hari kita, karena kita hanyalah manusia, yang terbatas dalam waktu, tempat dan kemampuan untuk memahami kehidupan ini secara hakiki dan universal. Kata-kata yang berdayacipta telah keluar "Papua tuntut Dialogue dengan Jakarta/ NKRI", maka biarlah perkataan itu terus bergema di Bumi Cenderawasih, di Bumi Pertiwi dan di planet Bumi ini. Pada waktunya, ia pasti "menghadirkan dialogue yang tidak mungkin itu menjadi FAKTA sejarah!" sama seperti langit dan bumi dicptakan oleh Firman Sang Khalik.


*) Sem Karoba, Tribalist, Aktivis Hak Asasi Masyarakat Adat
Source: https://www.facebook.com/notes/