Sunday, June 19, 2022

Yes, truly! The past always looks better than now! Even though in the past we were looking forward to a better future!


This is the art of life and living. Narokobi says, "Welcome birth, Live Well, Love Well, Have something good for every person, and Die a Happy Death! (Welcome birth is my addition)

I stated this as a comment to a video which was shown on a facebook page of Port Moresby, the capital of the Independent State of Papua New Guinea (PNG),  Here is the note written when posting the video

Port Moresby city 1985 when we had very few settlements, no public markets, no rowdy public  gatherings and filth, very low crime rate, and the residents were clean, tidy and well mannered.  I was a teenager and life was sweet.

My answer is not just based on this scene, but also based on our common experience in responding to current situations: how we feel and what we say when we interpret or struggle with current life dynamic. The old guys always speak of how good the past was. On the other spectrum, there are people today, who speak to this life about the future. They always look forward to a better future, a bad past, a worse today.

When I hear what Christians speak about life and time, about time and space, they speak about God's time, i.e., Kairos time of God. They say, God's Kairos is done and complete work, it is here and now, it has no past, no present, there is no bad, no good, everything is good right here, right now. 

Many of you are new generation individuals. I was born in stone age, almost 60 years ago, before all things that we have today come into being. I grew up in stone age world, that I call my World One. Then I came to a bigger town to do my school, leaving my village. It took me 1 hour to fly with small airplanes to get to this town. This is World Two for me, where I had my own people speaking my vernacular around, but we were all living in a foreign land, a customary land belongs to other tribes, far, far away from my own tribe.

When I was in my World One, I was living in PRESENT TIME all the time. Everyone was at present time. Nobody was talking about the future, other than talking about things written in the Bible. There is no business plan, no school schedules, no general elections, no government visiting time, nothing, no one, other than ourselves.

When I was in World One, I was thinking about what to eat today, what to do today, and then tired, and then slept.

When I came to World Two, then I started to know Timetable for Lessons at Schools, starting to count days and dates, began to think about what to do in the morning and afternoon and evening. At the same time, I started to think about what to cook and what to eat, today and tomorrow, and the day after tomorrow.

When everyone is World One, i.e., the place where we originate from tribally, then everyone is already in Kairos Time, the present time, all the time. When one looses home, the person starts to get out from the Present Time, and begin jump into the past and future. It depends on the exposure, one will be retrospective or prospective.

Being retrospective, thinking and talking about the past is not a bad thing. It is not a sin either. Being prospective is very good. However, when one starts comparing the past with the present, and begin to weigh with duality of good and bad, then that is the problem.

We are not responsible for the past, which means we did not determine the past. We cannot do anything to the past. We are not fully responsible for the present because the present is being here on its own, by its own, and for its own. I am here witnessing the present. I am not doing anything to the present. 

But there is something that I can do, i.e, to stay here, at   the present, ight here, right now. That means not going back in order to compare it to the present.  It also means not going forward ahead of the present. But just stay here. That is the way God operates. That is also the way Melanesians have been operating in World One. That should be the way Melanesians operate whether we are right now in World One, World Two, World Three or World Four.

We have to remind ourselves, that our grandchildren in year 3033 will watch our videos and see pictures and read books or articles and will be saying, "The past was so good, my ancestors used to live in Port Moresby city, it was so good, the sea was clean at Ela Beach, we can still see a lot of grass and trees surrounding the city, but right now, everything is concrete jungles, cannot see any living being around!"

Surely, the past is always nice to remember! And the future is nice to look forward to. But remember, God operates on present time, present tense. Melanesians did operate in God's time, but now this generation has departed from it. It is time for us now to take one step backward, and look around, and live, and enjoy this life, in fullness, in harmony!

Wednesday, June 15, 2022

RENE DESCARTES BAPAK FILOSOFI MODERN


René Descartes adalah seorang filsuf dan matematikawan Prancis yang hidup pada abad ke-17. Ia dianggap sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah pemikiran Barat, terutama dalam pengembangan filsafat modern dan metode ilmiah.

Lahir pada 31 Maret 1596 di La Haye en Touraine, Descartes dibesarkan dalam keluarga bangsawan Prancis. Dia mendapatkan pendidikan awalnya di Jesuit College Royal Henry-Le-Grand di La Flèche. Di sana, ia belajar matematika, fisika, dan filsafat.
Setelah menyelesaikan pendidikan formalnya, Descartes menghabiskan beberapa tahun untuk bepergian, memperdalam pengetahuannya dalam matematika, ilmu pengetahuan alam, dan filsafat. Selama masa ini, ia merasa semakin frustrasi dengan ketidakpastian dalam pengetahuan yang ada pada masanya.
Pada suatu malam di bulan November 1619, Descartes mengalami serangkaian pengalaman yang mengubah hidupnya secara drastis. Selama perjalanan ke Jerman, di sebuah kamar hotel di Neuburg-an-der-Donau, ia memiliki serangkaian pengalaman spiritual yang memimpinnya pada keyakinan bahwa dia telah diberkahi dengan pengetahuan dan kebenaran yang mendalam. Descartes kemudian menganggap pengalaman tersebut sebagai "penyataan baru" yang memberinya panggilan untuk mengembangkan sebuah metode yang kokoh dan pasti untuk memperoleh pengetahuan.
Hasil dari refleksi dan pemikirannya adalah "Discourse on the Method" (1637), di mana ia menyatakan prinsip "Cogito, ergo sum" ("Aku berpikir, maka aku ada"). Pernyataan ini menjadi landasan bagi epistemologi Descartes, yang menekankan pentingnya keraguan metodologis sebagai prasyarat bagi pemahaman yang jelas dan pasti.
Selain "Discourse on the Method", karyanya yang paling terkenal adalah "Meditations on First Philosophy" (1641), di mana ia mengembangkan argumen tentang keberadaan Tuhan, keberadaan dunia fisik, dan hubungan antara pikiran dan tubuh.
Meskipun Descartes adalah seorang yang saleh, pandangan-pandangannya sering kali menjadi kontroversial di zamannya. Misalnya, pandangannya tentang dualisme pikiran dan tubuh menghadapi kritik dari berbagai kalangan. Namun, warisan intelektualnya tetap kuat, dan kontribusinya dalam pengembangan metode ilmiah dan filsafat modern tetap dihargai hingga hari ini. Descartes meninggal pada 11 Februari 1650 di Stockholm, Swedia, saat berada di bawah perlindungan Ratu Christina dari Swedia.
Sumber: Dani Hardy

Tuesday, June 7, 2022

Sebuah Gagasan dan Teori Harus Dipisahkan dari Oknum Pengagas...


Pembuka

Gagasan Demokrasi Kesukuan, atau kita sebut dalam Konteks Melanesia sebagai Wantok Democracy adalah sebuah konsep demokrasi yang diajukan murni dari hati dan pikiran, alam dan dunia orang Melanesia, tepatnya di West Papua.

Konsep ini perlu dikaitkan dengan gagasan demokrasi pada umumnya di seluruh dunia, tetapi secara khusus gagasan di Melanesia, yaitu pertama gagasan "The Melanesian Way" oleh filusuf kawakan satu-satunya Melanesia, yaitu Bernard Narokobi, dan kedua ialah "Sosialisme Melanesia" oleh Father Walter Lini di Vanuatu.

Kedua gagasan ini saya teruskan dengan memberi nama "The Melanesian Way for Governing System" ialah Wantok Democracy, atau Demokrasi Kesukuan. Kita dapat mengatakan gagasan ini sebagai Sosialisme Melanesia, akan tetapi saya harus terus-terang, saya tidak menganut dan tidak memahami, serta menolak berafiliasi atau diberi label sebagai sosialisme atau liberal, atau kapitalis, semuanya tidak ada urusan dengan kami orang Masyarakat Adat (MADAT), dan oleh karena itu kita harus hindari dan jauhi dari awal.

Asal-usul Gagasan

Saya sebagai penggagas dari sejumlah pemikiran Orang Asli Papua (OAP) hendak menyampaikan kepada publik bangsa Papua (OAP), bahwa secara prinsipil dan universal, sebuah gagasan teori datang dari alam yang berbeda, alam yang tidak sama dengan alam nyata ini. Ia berasal dari alam "imaginasi" dan "dunia abstraksi". Yang kedua, kedatangan atau kunjungan yang datang dari alam sebelah atau alam lain itu tidak terjadi sepanjang waktu, di semua tempat dan kepada orang yang sama secara terus-menerus. Akan tetapi ia datang mengikuti semacam "signal" atau "radar" yang kita miliki dan pancarkan dalam kehidupan yang mengundang dan menarik mereka datang.

Contohnya, saya bisa mendapatkan gagasan dan abstraksi gagasan Demokrasi Kesukuan pada satu waktu dan tempat tertentu secara jelas, akan tetapi pada saat bergeser waktu dan berubah tempat, maka bisa terjadi signal komunikasi tergeser atau terganggu, maka saluran informasi dan konsep tidak terjadi, atau terganggu, atau sama-sekali menjadi mati.

Oleh karena itu, bilamana sebuah konsep pernah terlahir di tengah-tengah bangsa manapun di dunia, biasanya dipelihara untuk dipupuk, dikembangkan dan terus-menerus diproses. Teori muncul bukan hanya untuk dianut, akan tetapi terutama sekali untuk mendapatkan tantangan dan bantahan, yaitu berupa ujian-ujian sepanjang perjalanannya. 

Teori yang telah melewati ujian itulah yang akan menjadi sebuah teori yang baku, dianut dan diikuti oleh para teoretisi dan praktisi dalam bidang-bidangnya. Tidak ada teori, apapun teori itu, yang didapati sempurna sepanjang masa. Teori bukan kebenaran mutlak seperti yang ada dalam Alkitab. Teori ialah upaya manusia memetakan kepingan-kepingan kebenaran, untuk mengupayakan kebajikan kepada kehidupan. Dalam hal ini untuk menghadirkan sistem pemerintahan yang holistik dan berbasis lokal dengan orientasi global, berbasis suku, tak berpartai politik dan dianut dalam batas-batas wilayah suku.

Oleh karena, saya sebagai penggagas "Demokrasi Kesukuan", salah satu gagasan yang saya sampaikan ialah agar sistem pemerintahan yang dijalankan di dunia post postmodern ini dijalankan dalam konteks suku-suku, atau dalam masyarakat modern Indonesia, dijalankan di tingkat desa-desa. Di dalam setiap desa terdapat Demokrasi Kesukuan. Begitu demokrasi berproses ke ruang yang lebih luas, maka dapat diterapkan sistem demokrasi yang lain, sesuai dengan konteks sosial, budaya, politik dan kondisi geografis di mana demokrasi dipraktekkan.

Saya tidak pernah berpikir sama-sekali, bukan karena sengaja, akan tetapi karena memang alur pemikiran saya bukan bagian dari itu, bahwa gagasan Demokrasi Kesukuan ialah bagian dari Demokrasi Liberal atau Demokrasi Sosial. Akan tetapi pada tahapan pemolesan, terutama tahun 2003 ke atas, saya menemukan bahwa gagasan ini lebih mengarah kepada pemikiran Anthony Giddens tentang "The Third Way", yaitu Ideologi Jalan Ketiga.

Itu kalau saya memiliki dua tembok pemikiran antara sosialis dan liberal. Akan tetapi saya tidak memilikinya. Alam berpikir saya sangat berbeda.

Demokrasi Kesukuan = Dunia 1 + Dunia 4

Saya memetakan Demorkasi Kesukuan lebih mengarah kepada peta Jared Diamond tentang "The World Until Yesterday" dan buku "In Other Worlds Paperback – Illustrated, October 27, 2014"

Dua orang Bule ini, yang pertama seorang ilmuwan di Papua New Guinea, yang kedua seorang anggota badan misi yang datang ke suku Yali dan menerjemahkan Alkitab Bahasa Yali mengatakan bahwa dunia Tanah Papua dan dunia mereka tidak sama. Oleh karena itu, mereka jelas-jelas mengatakan dunia OAP ialah dunia tersendiri, berbeda dan terpisah dari dunia mereka, di mana mereka berasal.

John Wilson juga menjelaskan bagaimana anak-anaknya dikirim dari wilayah Suku Yali dan dikirim ke Sentani, yaitu dunia yang berbeda lagi dari dunia mereka di kampung, dan mereka mennjalani kehidupan sekolah di Sentani. Kalau cerita ini berlanjut, maka bilamana anak-anak John Wilson dikirim sekolah di Jakarta, maka mereka akan tinggal di dunia yang berbeda lagi. Yaitu dunia yang berbeda dari dunia Suku Yali, Dunia Sentani, dunia tempat mereka berasal.

Berdasarkan keterangan Jared Diamond dan apa yang dijelaskan Wilson meneguhkan dengan jelas dan tepat, bahwa pada saat ini ada empat lapisan:

1. Dunia 1: Dunia MADAT (Masyarakat Adat);

2. Dunia 2: Masyarakat Adat di Kota Mereka (MADAT Papua di Jayapura misalnya)

3. Dunia 3: Masyarakat Indonesia pada umumnya bersama semua orang di Asia Tenggara dan Afrika dan Melanesia.

4. Dunia 4: Masyarakat Post Postmodern, yaitu negara maju seperti Hong Kong, Singapore, Jepang, Inggris, dan lainnya

Sekarang orang Papua semuanya berada di putaran atau lapisan dunia 1 - dunia 2. Kebanyakan kami berada di Dunia 2.

Dunia 2 inilah tempat goncangan-goncangan terjadi sangat banyak dalam kehidupan pribadi maupun kolektif.

Saya cukupkan sampai di sini dulu tentang topik dunia ini.

Dengan konsep ini, maka gagasan Demokrasi Kesukuan dimunculkan untuk menjembatani Dunia 1 dan Dunia 4, sehingga bisa tercipta Dunia 5. Demokrasi Kesukuan memiliki peta pemikiran dan gagasan teori yang cukup mendalam, kemungkinan besar akan dimuat secara utuh dalam 10 buku, dengan rata-rata halaman buku masing-masing ialah lebih dari 200 halaman.

Ini merupakan sebuah sistem pemerintahan yang harus dipertimbangkan, terutama dalam rangka menghadapi berbagai persoalan lingkungan alam hari ini, karena pemanasan global dan perubahan iklim, yang telah nyata-nyata menyebabkan terjadi banyak pulau di kawasan Melanesia tenggelam dan frekuensi dan tingkat banjir serta gempa bumi yang lebih berat daripada sebelumnya.

Tantangan

Memang banyak kali pemuda Papua bicara seperti ini, "Merdeka dulu baru bicara teori...." dan mereka bicara beberapa kali di telinga saya sendiri. Sungguh menyakitkan. Akan tetapi saya mau katakan kepada Anda yang selalu mengucapkan ini, bahwa ungkpatan ini berasal dari iblis. 

"Dalam nama Yesus, saya tolak segala kata-kata dan ucapan yang mematikan gagasan Demokrasi Kesukuan, yang pada akhirnya akan menghadirkan Yesus datang sebagai Raja Damai, untuk memerintah selama-lamanya"

Ada juga yang mengatakan bahwa Demorkasi Kesukuan dirancang untuk memajukan perang suku di dalam suku-suku. Ada yang katakan Demokrasi Kesukuan tidak nasinoalis tetapi sukuis, dan terutama sekali sangat Suku Walak, dan dimaksudkan untuk mendirikan Negara Walak, Demokrasi Walak. 

Penutup

Sebuah teori dan gagasan harus dibebaskan dari orang atau oknum teoretisi atau konseptor, dan kita harus biarkan dia mengalami pengujian dan pengikisan oleh teori dan konsep yang baik melengkapi maupun membelokkan ataupun menghapuskan. Akan tetapi sebuah teori atau gagasan tidak dapat dimatikan dengan cara menyerang atau menyoroti atau mencampur-adukkannya dengan si penggagas atau teoretisinya sendiri. 

Penggabungan atau penyorotan antara sebuah konsep dan konseptornya merupakan tindakan politis, bukan sebuah langkah ilmiah. Oleh karena itu, sebagai tindakan politik bisa saja sang penggagas dibunuh, seperti yang terjadi pada banyak ilmuwan Eropa, atau juga dalam hal ini terkait konsep Demokrasi Kesukuan, akan tetapi kita harus ingat, bahwa sebuah konsep dan teori dititipkan oleh alam yang berbeda dari alam kita, bukan berasal dari alam nyata ini.

Oleh karena itu, apapun yang terjadi kepada si penggagas, atau apapun yang dikatakan kepada si penggagas tidak akan pernah mempengaruhi sebuah gagasan atau teori. Keduanya merupakan makhluk yang terpisah, yang akan bertumbuh-kembang, beranak-pinang, tanpa yang satu harus mempengaruhi yang lainnya.

Tantangan bagi kita orang Papua, dan secara khusus Pemerintahan Sementara United Liberation Movement for West Papua ialah apakah kita mau berpura-pura mencari istilah dan terminologi yang dianggap enah oleh orang Bule dan tidak dimusuhi oleh orang Papua dan NKRI, ataukah kita berani berdiri di atas kaki sendiri dan membela gagasan OAP?

Ini sebuah keputusan politik.

Entah West Papua menerapkan gagasan ini ataupun tidak, bukanlah sebuah persoalan bagi penggagas. Gagasan ini terbuka bagi siapa saja di dunia, untuk mendalami, mempelajari, menerapkan ataupun menolaknya.



[Salam Waras.......]


 

Thursday, June 2, 2022

Only Fooled Humans think that being rich means having a lot of money!


We Melanesians should feel and be proud that we are rich in all aspects and every area of life. This is why our the only great Melanesian Philosopher so far, Bernard Narokobi says, the Melanesian Way is: 

Welcome Birth, Live Well, Love Well, Have Something Good for Every Person and Die a Happy Death. 

(I added :Welcome Birth" to Norokobi's statement.)

That is wealth! That is prosperity! That is rich!

What comes when we are born and what goes when we pass on are the ones to determine our being into this world.

Being rich means having a lot of money is a concept just started a few hundred years ago, let's say 300 years ago. Thousands, and even hundreds of thousands or million years before, "being rich" never meant to having a lot of money. Or event he word "rich" never existed in the minds and hearts of the peoples.

According to scientists, "Gap between rich and poor began 7,000 years ago, say scientists" It became a reality in life when people started "harvest crops instead of their hands and the class system was born." It triggered humans producing more than they can afford to consume.

Landowners started having more power over ordinary citizens. Class system in communities began to emerge. Those with land became the rulers and those without it became laborers.  

Human relations changed, from reciprocal and egalitarian, into structural (top-down) and peripheral (inner-outer).

"Them" and "Us" based on ownership of land, and later own labour, division of labour, and so on, came into play. "Them" rich and "us" poor, or them poor and us rich came into human awareness and thinking.

We are now thinking this is God-created natural instinct to feel being rich and poor just based on how much money I earn or own or get access to. This is artificial reality, as artificial as the one we see on the Internet. However, we feel that this is real. Only, yes Only the time we die, we do realize that all the rich and material wealth have no meaning at all. Again, we only realize when we are ready to pass on in a few seconds.

Therefore, it is wise men and women only who realize this matter of fact far before their seconds towards death. It is only the wise peoples who will understand the meaning of life as being truthful, realistic, present, simply and accepting whatever comes and goes.

Our Melanesian humans, our forefathers and our own fathers were the human beings on this planet Earth until this century, who have actually lived in what is called "Paradise", that is, living in "this present time only", no past, no future, but just now, just here, and just right.