Oleh: Muhammad Hilman
Fikri
Mahasiswa
Administrasi Negara FISIP UNTIRTA
Sudah 60 tahun lebih
kita merdeka, sudah bertahun-tahun pula kita berganti pemimpin, sudah ratusan
kali rancangan dan perencanaan pembangunan diterapkan untuk negara ini. Sudah
puluhan peraturan yang ditelurkan untuk mengikat para investor dalam rangka perkembangan
pembangunan, dari Repelita pada jaman soeharto hingga pembentukan Tim Indonesia
Bangkit jaman Soesilo Bambang Yudhoyono. Maka bolehlah kini kita ingin sedikit
mengukur dan menanyakan sampai sejauh mana sebenarnya pembangunan di Indonesia
ini. Apakah memang persepsi pemerintah yang mengatakan bahwa laju indeks
perekonomian Indonesia meningkat sampai 5,8 persen sama dengan realitas yang
dirasakan masyarakat atau benarkah bahwa kemiskinan yang ada di indonesia kini
hanya tinggal 7,7 persen saja seperti yang dikatakan SBY?
PEMBANGUNAN
Sepintas, bila kita
membahas tentang pembangunan di Indonesia, kata pembangunan sudah menjadi kata
kunci bagi segala hal. Secara umum, kata ini diartikan sebagai usaha untuk
memajukan kehidupan masyarakat dan warganya. Seringkali, kemajuan yang dimaksud
terutama adalah kemajuan material. Maka pembangunan seringkali diartikan
sebagai kemajuan yang dicapai oleh sebuah masyarakat di bidang ekonomi.
Menurut Arief
Budiman, jika kita renungkan, pembangunan sebenarnya meliputi dua unsur pokok.
Pertama, masalah materi yang mau dihasilkan dan dibagi. Kedua masalah manusia
yang menjadi pengambil inisiatif yang menjadi manusia pembangunan. Namun selain
itu, ternyata istilah pembangunan juga seringkali dijadikan sebagai ideologi politik
yang memberikan keabsahan bagi pemerintah yang berkuasa untuk membatasi
orang-orang yang mengkritiknya. Seperti pada tahun 1990, pementasan-pementasan
teater koma dan pembacaan sajak oleh W.S. Rendra yang mempersoalkan nasib orang
kecil yang tersingkir, dilarang. Para pemimpin redaksi surat kabar mendapat
“imbauan” dari penguasa untuk tidak lagi memuat tulisan dari para pemikir yang
bersikap kritis terhadap pemerintah. Atau dengan kata lain, pembangunan menjadi
sebuah paham mutlak yang kita kenal dengan Developmentalisme. Namun saya
katakan barangkali itu dulu, kini dalam era keterbukaan seiring terjadinya
reformasi (era tambal sulam) kita berhak memiliki pandangan serta kritik
terhadap pembangunan. Tentunya kritik menjadi sebuah masukan dan media bagi pencapaian
pembangunan yang lebih baik pada dekade selanjutnya.
MENGUKUR PEMBANGUNAN
Dalam bukunya ‘Teori
Pembangunan Dunia Ketiga’, Arief Budiman mengemukakan ada empat hal tolak ukur
atau indikator yang bisa dijadikan landasan berhasil tidaknya pembangunan di
suatu negara, termasuk Indonesia.
Pertama, kekayaan
rata-rata. Sebuah negara dikatakan berhasil melaksanakan pembangunan bila
pertumbuhan ekonomi masyarakat tersebut cukup tinggi. Dengan demikian yang
diukur adalah produktivitas masyarakat atau produktivitas negara setiap
tahunnya. Atau dalam bahasa teknis ekonominya produktivitas ini diukur oleh
Produk Nasional Bruto (PNB) atau Gross National Product (GNP). Dengan adanya
tolak ukur ini, kita bisa membandingkan negara yang satu terhadap negara lainnya.
Sebuah negara yang mempunyai GNP US$1000 dianggap lebih berhasil pembangunannya
daripada negara lain yang GNPnya adalah US$750. Indonesia saat ini menjadi
negara dengan jumlah GNP US$ 1.600 pertahun (tahun 2006) dengan urutan di bawah
negara-negara yang lebih muda, seperti Malaysia. Dengan ini, kita bisa menilai
sejauh mana selama 60 tahun ini pembangunan membawa kesejahteraan bagi rakyat.
Kedua, pemerataan.
GNP sebuah negara bukan satu-satunya indikator keberhasilan pembangunan dalam
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Karena bisa jadi kekayaan tersebut dimiliki
tidak merata oleh penduduknya. Semisal sebagian kecil orang di dalam negara
tersebut memiliki kekayaan berlimpah, sedangkan sebagian besar hidup dalam
kemiskinan. Hal ini bisa menimbulkan ironi. Kadang, kita bisa melihat sebuah
negara yang memiliki pendapatan per kapita tinggi namun di mana-mana kita lihat
orang hidup miskin, tidak punya tempat tinggal, tidak bisa makan, dsb. Ini pula
yang kemudian ternyata terjadi di Indonesia. Pada 13 Desember 2007, Forbes
mempublikasikan daftar 40 orang terkaya di Indonesia. Di mana bila digabungkan
seluruh kekayaan mereka, diperoleh angka US$ 38,02 milyar atau sekitar 372,4
Trilyun rupiah! Fantastis! Sekaligus menjadi sebuah paradoks yang luar biasa
besar di negeri ini! Sementara mayoritas rakyat di bawah garis kemiskinan,
tidak bisa menikmati akses pendidikan, tak optimal menikmati layanan kesehatan.
Ketiga, kualitas
hidup. Salah satu cara untuk mengukur kesejahteraan penduduk sebuah negara
adalah dengan menggunakan tolak ukur PQLI (Physical Quality of Life Index).
Tolak ukur ini diperkenalkan oleh Moris yang mengukur tiga indikator yaitu:
rata-rata harapan hidup sesudah umur satu tahun, rata-rata jumlah kematian bayi
dan rata-rata prosentase buta dan melek huruf.
Keempat, kerusakan
lingkungan. Sebuah negara yang tinggi produktivitasnya, dan merata pendapatan
penduduknya bisa saja berada dalam proses untuk menjadi semakin miskin. Hal
ini, misalnya karena pembangunan yang menghasilkan produktivitas tinggi itu tidak
mempedulikan dampak lingkungannya. Jika alam habis terkuras maka otomatis
kehidupan manusia pun terancam. Inilah pula yang kemudian saat ini melanda
Indonesia. Kita bisa melihat beberapa waktu yang lalu dan hingga kini bencana
terus menerus melanda Indonesia sebagai indikator bahwa alam di negara ini
mengalami kerusakan parah, mulai dari pembalakan liar hingga pencemaran laut di
luar kadar yang ditoleransikan.
Dari empat indikator
tersebut, kita bisa menilai secara objektif bahwa negara kita memang terus
berkembang, tapi tak dapat kita pungkiri bahwa pembangunan yang terjadi saat
ini belum bisa dikatakan berhasil. Dengan melihat berbagai problematika yang
kini terjadi, diperlukan kesungguhan luar biasa dari penguasa negeri ini jika
benar-benar ingin mensejahterakan rakyat, termasuk dengan mengeliminir semua
kepentingan pribadi dan golongan yang kini ternyata lebih menghegemoni di
negara ini. Selain itu juga harus ada perombakan sistem secara total untuk
membangun Indonesia ke arah lebih baik.
Wallahu a’lam
No comments:
Post a Comment