Friday, March 18, 2022

Gembala Dr. A.G. Socratez Yoman: DULU OPM, Sekarang

Artikel Kesadaran Bangsa 

Victor Mambor wartawan senior Papua mengatakan: 

"Dulu OPM, sekarang namanya ULMWP." 

Rex Rumakiek, salah satu Tokoh OPM yang berada di Australia mengatakan: 

"ULMWP adalah roh baru dari OPM "
Sementara Filep J.S. Karma mengakui: 

"Ketua resmi OPM dan ULMWP itu Tuan Benny Wenda. Karena, OPM adalah ULMWP dan ULMWP adalah OPM." 

(Sumber: Kami Bukan Bangsa Teroris, Yoman, 2021:57-58). 

Theo van den Broek mengatakan: 

"Benny Wenda adalah Ketua ULMWP dan KNPB adalah anggota ULMWP. Organisasi ULMWP dibentuk supaya sejumlah faksi politik yang berbeda di Papua dapat bersatu dan bersama dapat mengambil langkah untuk memperjuangkan sejarah Papua..." (Sumber: Tuntut Martabat, Orang Papua Dihukum, 2020:32). 

Dewan Gereja Papua (WPCC) mendukung ULMWP sebagai Rumah Bersama rakyat dan bangsa Papua Barat. Dasar dukungannya, karena selama 50 tahun lebih rakyat dan bangsa Papua berjuang dengan banyak kelompok dan itu memperpanjang (prolong) penderitaan rakyat Papua. Dewan Gereja Papua (WPCC) juga memberikan surat rekomendasi kepada Dewan Gereja Dunia (WCC) pada 17 Februari 2019 supaya Dewan Gereja Dunia juga memperhatikan dan mendukung ULMWP. 

Pendeta Dr. Benny Giay, Moderator Dewan Gereja Papua (WPCC) pada 2 Januari 2021 menegaskan: 

"...Komunitas internasional sudah tangkap apa yang sudah dibuat oleh pimpinan ULMWP pada 1 Desember 2020 di Inggris. Deklarasi Benny Wenda di Inggris ditangkap orang lain dan mereka memanfaatkan deklarasi itu dan menekan Indonesia...Sekarang banyak orang sudah mengerti persoalan kemanusiaan dan ketidakadilan di Papua. Banyak orang mendukung orang Papua dalam semangat solidaritas kemanusiaan secara global. Bagaimana kita menjaga dan mendukung ULMWP. ...ULMWP wadah politik resmi milik rakyat dan bangsa Papua, bukan milik perorangan dan suku tertentu....jangan merusak atau mengganggu ULMWP dengan berbicara sana-sini dengan media." 

(Sumber: Kami Bukan Bangsa Teroris: Yoman, 2021:157-159). 

Perlu dimengerti dan disadari oleh para pejuang keadilan, perdamaian, martabat kemanusiaan, kesamaan dejarat, perdamaian dan hak penentuan nasib sendiri rakyat dan bangsa Papua Barat ialah keberadaan ULMWP sama dengan ANC di Afrika Selatan, PLO di Palestina dan Fretilin di Tomor Leste. 

Jadi, ANC di Afrika Selatan, PLO di Falestina dan Fretilin di Timor Leste dan ULMWP di West Papua. 

ULMWP berjuang untuk tegaknya kembali martabat dan kedaulatan rakyat dan bangsa West Papua 1 Desember 1961 sebagai Hari Kemerdekaan bangsa Papua. 1 Desember 1961 yang sudah dikenal luas dan diperingati oleh simpatisan dan pendukung Papua Barat di berbagai Negara secara global/internasional. 

Presiden Republik Indonesia Ir. Suekarno pernah mengakui: 

"Bubarkan Negara Papua" buatan Belanda 1 Desember 1961. 

Rakyat dan bangsa Papua Barat pernah merdeka dan berdaulat sebagai bangsa  1 Desember 1961 dan itu dibubarkan atau dianeksasi oleh Indonesia. 

Mari, kita dukung dan jaga ULMWP sebagai Rumah Bersama, Perahu Bersama dan Honai Bersama. 

Setiap orang boleh berbeda pendapat dan boleh tidak senang dengan Ketua ULMWP, tetapi, INGAT, jangan pernah bocorkan perahu besar ULMWP karena semua penumpang, rakyat dan bangsa Papua beada dalam perahu ULMWP. 

Musuh yang melawan dan berusaha bocorkan perahu ULMWP berarti  itu musuh bersama rakyat dan bangsa Papua Barat. 

Ingat!  Sadar! Jangan lupa! 
"Dulu OPM, Sekarang ULMWP." 

Dunia terus berubah dan berkembang. Mari, kita ikuti dinamika yang terus berubah dan berdinamika. Kita boleh ingat sejarah masa lalu, tapi kita jangan berpikir statis dan berdiri pada sejarah yang sudah tidak relevan. 

Hari ini, kita melawan kolonialisme, kapitalisme, militerisme, rasisme, fasisme, ketidakadilan, pelanggaran berat HAM, genosida (genocide), sejarah pepera 1969 yang tidak demokratis yang dimenangkan ABRI dengan moncong senjata. 

Doa dan harapan penulis, tulisan ini menjadi berkat dan membuka sedikit wawasan tentang ULMWP. 

Selamat membaca dan merenungkan!


Ita Wakhu Purom,  Selasa, 12 Oktober 2021 

Penulis: 
1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua. 
2. Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).
3. Anggota: Konferensi Gereja-Gereja⁰ Pasifik (PCC).
3. Anggota Baptist World Alliance (BWA).
__________

Sunday, March 13, 2022

KEPEMIMPINAN BENNY WENDA DIANTARA PROVOKATIF DAN SENTIMEN, SERTA GAGAL PAHAM

[By:Kristian Griapon, Desember 2020]

Teramati, nampak jelas terlihat sekelompok Orang Asli Papua berseberangan pandangan dengan kepemimpinan Mr.Benny Wenda dalam memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri rakyat Papua. 

Kelompok orang-orang itu teramati sangat reaktif di dunia maya terhadap Benny Wenda, namun secara kenyataan di dunia nyata dalam kampanye, maupun lobi politik perjuangan kemerdekaan West Papua di dunia internasional oleh kelompok itu tidak kelihatan. Yang mereka kampanyekan lewat dunia maya hanyalah pernyataan sepihak, foto, atau gambar-gambar editan yang sumber pemberitaannya sangat diragukan.

“Mereka itu mau dikatakan kritikus, bukan, karena cara dialeknya memperlihatkan pandangan provokatif dan sentiment serta gagal paham”. 

Lalu yang menjadi pertanyaan, apakah kelompok orang-orang seperti itu dapat diandalkan dalam perjuangan pembebasan rakyat Papua dari penindasan kekuasaan Indonesia? Rakyat Papua sendiri yang menilai dan menjawabnya!!!

Perjuangan Pembebasan rakyat Papua bukan suatu mainan kata-kata di dunia maya, namun sangat dibutuhkan tindakan nyata, baik itu perlawanan dalam negeri maupun di luar negeri dengan tidak saling menjatuhkan, atau mendiskredit sesama pejuang.

West Papua belum menjadi sebuah Negara berdaulat, sehingga yang namanya oposisi tidak diperlukan, untuk dijadikan alat kendali dalam wadah perjuangan kemerdekaan West Papua. Namun yang dibutuhkan dalam wadah perjuangan kemerdekaan West Papua, adalah seorang figur yang dilandasi jiwa patriotism, dan mendedikasi hidupnya demi pembebesan rakyat Papua dari penindasan Indonesia.(Kgr)

Saturday, March 12, 2022

Steven Winduo, on rivers as metaphors


 “Rivers stand as a text for me, and it is up to me to read what is inscribed on the surface, beneath it, and along it.”

- Steven Winduo, on rivers as metaphors
Papua New Guinean poet, writer, and scholar Steven Edmund Winduo is a professor at the University of Papua New Guinea. An author of multiple poetry and short story collections, Winduo proposed new conceptual frameworks and writing strategies in Pacific literature and expanded representations of Oceanians, especially in Melanesia. This work is so important because, as Dr. Tarcisius Kabutaulaka has written:
“While negative representations of Melanesia linger in the shadows of scholarly and popular discourses, Melanesians are proactively trying to shed the ‘ignoble savage’ image and aspire for ‘a place in the sun.’”
- Dr. Tarcisius Kabutaulaka (2015)
To continue challenging representations of Pacific Islanders in literature and other forms, we invite submissions for proposals for our upcoming CPIS Student Conference on April 11, 2022.
Please submit proposals at: http://go.hawaii.edu/nuV (link is case sensitive) before next week on March 15, 2022 at 10pm HST.
Photo: Steven Winduo in our Teaching Oceania Series Vol. 7, Pacific Studies: A Transformational Movement. (Enomoto et al. 2021, 19).
Teaching Oceania Series Vol. 7, Pacific Studies: A Transformational Movement is available to download on Scholarspace: https://scholarspace.manoa.hawaii.edu/handle/10125/81452.
Kabutaulaka, T. (2015). Re­Presenting Melanesia: Ignoble Savages and Melanesian Alter­Natives. http://scholarspace.manoa.hawaii.edu/handle/10125/38767.

Thursday, March 10, 2022

It is About "When" NOT "If" West Papua gets independence,

 When West Papua gets independence...


Indonesia will become fully independent in all meanings and all aspects. What the first Indonesian President Sukarno calls "complete and multi-dimensional revolution" will become a reality. Indonesia will not become independent from western influences. Indonesian won't be going to Canberra, London nad New York to determine the fate of Indonesia anymore.

When West Papua gets independence, Javanese will become fully independent, they won’t be receiving all the blame. Indonesia will be respected as a modern nation state that have civilized citizens.

When West Papua gets independence, Western powers will get direct benefits economically.

When West Papua gets independence, South Pacific will become fully completely real paradise, that radiates love, joy and harmony with and to all beings. Humanity will be given another chance in Postmodern era to see, feel, smell and taste the word ‘paradise’ in real world and real life.

When West Papua gets independence, relations between Indonesia and Melanesia will be very strong and beneficial inany aspects. It will bring Indonesia to the central role. Indonesia and Melanesia are one package of economic power. Melanesia with a free and independent West Papua will be the best and strongest ally of Indonesia with the natural resources she needs to emerge as a key player in the world affairs. A the same time, Indonesia with enough and well educated and skilled human resources will be needed badly and used widely by and independent Republic of West Papua and of course all Melanesian countries. Transfer of science and technology will happen via Indonesia - West Papua relation, and will take over the roles of the Philippines, Malaysia and India altogether.

When West Papua gets independence, the influence of Indonesia across South Pacific will not be blocked by anybody or any issue. The Republic of West Papua will use Malay-Papua as a lingua franca and will bring big influence across Melanesia to learn  Bahasa Indonesia as a useful language for social, cultural and economic activities across South Pacific.

When West Papua gets independence, a free and independent Republic of West Papua will put Indonesia as the first neighbour to benefit from. Almost all ASEAN countries look down Indonesia as poor economically and militaristic government that does not respect human rights. These will automatically dissolved.

When West Papua gets independence, Australia, New Zealand and all western powers will stop worrying about how good and how bad Indonesia is treating Melanesians in West Papua. All Western powers will see and treat Indonesia as equally modern, civilized and democratic. 

When West Papua gets independence, they will redeem their past mistakes of giving away the territory and people to military rule that costed the lives of many innocent Melanesians in West Papua. Indonesia will stop coming to the west asking, “can you please say to the media that your government still support West Papua remain under Indonesian rule?

When West Papua gets independence, so many unexpected things will happen. Melanesians are a people that see spirit and body, awake and dream as one and the same realities. 

When West Papua gets independence, humanity will have a better chance to understand how to live well, eat well and die a happy death.

When West Papua gets independence, Melanesian will be given the opportunity to express herself to our humanity and will help our human race to experience the real life way of life and way of living that are sustainable, harmonious, peaceful with each other. 


So, the question is “when”, NOT “if”.,

Thursday, March 3, 2022

PRINSIP PIJAK TAKTIK DAN STRATEGIS PERJUANGAN WEST PAPUA OLEH PEMERINTAH SEMENTARA WEST PAPUA (ULMWP) TIDAK BERGANTUNG PADA KEKUATAN BLOK BARAT MAUPUN TIMUR

Edisi | 3 Maret 2022

Oleh: Dr. Jacob Rumbiak | Senior Research Associate

Menteri Urusan Luar Negeri (Menlu) Pemerintah Sementara West Papua (ULMWP)
Perang antara Rusia dan Ukraina memunculkan dua kekuatan adikuasa (Blok Barat dan Blok Timur) disaksikan nyata oleh umat manusia bangsa-bangsa yang mendiami satu planet kita bernama ‘Bumi’ ini.
Sejak tahun 2013, dua propinsi di negara Ukraina yakni (Donetsk dan Luhansk) yang terletak sebelah Timur negara tersebut secara damai dan bermartabat meminta kepada pemerintah pusat Ukraina yang berkedudukan Kiev tentang kemauan seluruh wilayah kedua propinsi tersebut atas Hak Kemerdekaan mereka pisah secara baik-baik dari Negara Ukraina (di jamin prinsip PBB). Permohonan kedua pemimpin kedua propinsi tersebut direspon dengan pengiriman kekuatan angkatan perang/ militer Ukraina berskala besar bertujuan menggempur pihak aktivis kemerdekaan kedua wilayah tersebut. Operasi militer Ukraina ini berlangsung selama 8 tahun (2013 – 2021). Akhir tahun 2021, kedua pemimpin perjuangan kedua wilayah (Donetsk dan Luhansk) secara resmi bertemu Presiden Rusia Vladimir Putin untuk meminta dukungan berupa pengakuan hak kemerdekaan, keuangan dan kekuatan keamanan militer untuk melindungi seluruh rakyat sipil di kedua wilayah yang telah mendeklarasi kemerdekaan bagi wilayahnya.
PEPERANGAN TERJADI KARENA BEDA PENDAPAT
A. Pendapat Pemerintah Negara Rusia
Pihak Rusia berpendapat bahwa ia berkewajiban mengakui kemerdekaan kedua propinsi yang telah mendeklarasikan kemerdekaan bagi bangsanya sekaligus mengirim pasukannya untuk mengusir kekuatan angkatan perang negara Ukraina, dan Rusia membenarkan tindakannya sudah sesuai dengan prosedur PBB yakni status Rusia sebagai Anggota Tetap PBB. Pengakuannya kepada kedua propinsi yang mendeklarasikan kemerdekaan pun sudah benar karena prinsip PBB membenarkan setiap bangsa atas Hak Kemerdekaannya.
Menurut Rusia dan ini merupakan PRINSIP DASAR HUKUM INTERNASIONAL atau PBB, Kunci sebuah bangsa mau merdeka WAJIB MEMENUHI UNSUR MENDIRIKAN NEGARA berdasarkan Konvensi PBB Montevideo tahun 1933 yaitu: (1). punya Wilayah; (2). punya Rakyat; (3). punya Pemerintahan; dan (4). punya hubungan nyata resmi dengan negara-negara merdeka anggota PBB. Kedua propinsi tersebut (Donetsk dan Luhansk) mendeklarasikan berdirinya Negara Republik DONBASS lengkap dengan struktur/perangkap Pemerintahan Negaranya dimana Perjuangan Politiknya yang memiliki 4 sayap perjuangan yakni (Sayap Politik, Diplomatik, Intelligence dan Militer) benar-benar berada dalam SATU KOMANDO dan BEKERJA BERKOORDINASI.
B. Pendapat Pemerintah Negara Ukraina
Bagi Pemerintah Negara Ukraina yang berkuasa di Propinsi Donetsk dan Luhansk berpendapat bahwa, kedua wilayah tersebut melakukan SEPARATIS alias pemberontakan melawan Negara Ukraina yang wajib di bumihanguskan dengan kekuatan angkatan perangnya. Pemerintah Negara Ukraina lewat Kekuatan Blok Barat melakukan propaganda yang berpijak pula pada prinsip PBB bahwa Negara Rusia telah menyalahi Prinsip PBB yakni Rusia mencaplok wilayah Kedaulatan negara Ukraina dan harus di jatuhi Sangsi PBB berupa embargo segala macam, disusul pengiriman bantuan keuangan, pasokan pangan, obat-obatan bahkan kekuatan militer Barat dalam skala besar.
DASAR KEKUATAN DONBASS TERLETAK PADA STATUS “NEGARA”
Yang menjadi Dasar Kekuatan dua propinsi dalam wilayah Ukraina (Donetsk dan Luhansk) terletak pada STATUS “NEGARA” yakni “NEGARA REPUBLIK DONBASS”.
Negara Rusia dan sekutunya Rusia mendukung kemerdekaan wilayah Donetsk dan Luhansk setelah kedua wilayah tersebut mendeklarasikan Negara Republik Donbass (Republic of Donbass).
Jika sebuah bangsa mau mendirikan Negara, maka HARUS memenuhi SYARAT MENDIDIKAN NEGARA pula, berdasarkan ISI KONVENSI MONTEVIDEO Tahun 1933 yakni, punya WILAYAH, punya RAKYAT, punya PEMERINTAHAN dan punya HUBUNGAN NYATA dengan negara-negara merdeka sah anggota PBB. Kedua wilayah (Donetsk dan Luhansk) telah memenuhi syarat itu sebagai “Negara Republik Donbass” yang dideklarasikan pada 8 Februari 2022.
Bagaimana Perbandingan Perjuangan ‘Donetsk dan Luhansk’ dengan West Papua?
PEMERINTAH SEMENTARA WEST PAPUA (ULMWP) BERPINSIP MELETAKKAN STATUS DAN POSISI WEST PAPUA MENJADI SANGAT PENTING BAGI KEKUATAN BLOK BARAT, BLOK TIMUR DAN MASYARAKAT DUNIA
Prinsip perjuangan yang di anut oleh ULMWP adalah bagaimana ULMWP dan seluruh rakyat West Papua meletakkan, menjelaskan dan menerapkan status dan posisi West Papua menjadi Penting bagi kedua belah pihak (Blok Barat, Blok Timur dan masyarakat dunia), artinya ULMWP dan seluruh rakyat West Papua TIDAK berkiblat dan tidak pula bergantung pada salah satu blok kekuatan dunia tersebut. Prinsip inilah yang ULMWP wujudkan dalam “Kebijakan Negara Hijau (Green State Vision of West Papua)” ketika pertemuan kepala-kepala negara dan kepala pemerintahan berbagai negara besar-kecil di Glosgow pada November–Desember 2021. Artinya ULMWP dan seluruh rakyat West Papua kami tidak bergantung pada kekuatan Blok Barat maupun Blok Timur, melainkan menghendaki status dan posisi West Papua menjadi sangat penting bagi kedua belah pihak kekuatan adikuasa tersebut atau degan kata lain TIDAK BERGANTUNG pada mereka.
Visi dan misi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah turut menjaga dan memelihara Planet Bumi kita ini sebagai pemukiman umat manusia yang aman, adil dan damai, artinya PBB wajib menjamin kelangsungan hidup umat manusia tanpa kecuali, terutama dari DUA SUMBER ANCAMAN, yaitu: (1). Petaka Kemanusiaan oleh ULAH MANUSIA dan (2). Petaka Kemanusiaan oleh BENCANA ALAM.
PETAKA KEMANUSIAAN OLEH ULAH MANUSIA
Berbagai sumber dokumen sejarah mencatat petaka kemanusiaan akibat ulah manusia sungguh mengerikan karena menghadirkan linangan air mata, cucuran darah, tulang belulang berserakah penderitaan dan kesengsaraan luar biasa terhadap umat manusia yang tak berdosa dari kedua belah pihak, contohnya korban rakyat sipil Perang Dunia I, II, 6 juta orang Yahudi di bantai dalam peristiwa Holocaust oleh Nazi Hitler, Apartheid di Afrika Selatan, Trikora 19 Desember 1961 aneksasi wilayah West Papua dengan kekuatan Angkatan Peran NKRI (Indonesia), Pembantaian TNI terhadap anggota PKI dan sebaliknya, perang di Irak, Iran, Libya, Syria, kejahatan Pol Pot di Kamboja, juga operasi Militer Indonesia saat ini diseluruh wilayah West Papua yang telah mengerahkan 208, 000 personel, dan masih banyak lagi.
PETAKA KEMANUSIAAN OLEH BENCANA ALAM
Berdasarkan pengamatan para Astronom negara-negara adikuasa bahwa, Black hole Matahari kini menuju kematian, sisa usianya 5 juta tahun lagi dan berdasarkan hitungan Astronom ini usia yang sangat singkat, bulan pun sudah menjauh dari Planet Bumi kita ini sejauh 400,000 mill lebih dari normal dan Magnet Bumi kita ini sedang bergeser ke Selatan.
Setiap tahun suhu Bumi naik 2,3 % yang berakibat 17,000,000 ton salju di Kutub Selatan dan Utara roboh dan mencair yang menyebabkan ketidakseimbangan permukaan Bumi, khususnya suhu Bumi menyebabkan bencana mematikan umat manusia termasuk flora dan fauna yang mendiami Planet Bumi kita ini, sehingga jangan heran bila sejak 10 tahun lalu hingga tahun 2022 ini, telah, sedang dan terus terjadi bencana alam dahsyat yang membunuh umat manusia di mana negara-negara Blok Barat maupun Timur TIDAK satu pun luput dari bencana alam tersebut. Seberapa canggih negara maju, kapanpun dan dimanapun tidak mampu menggagalkan bencana alam, kecuali cara satu-satunya adalah menghindarinya.
Satu-satunya kunci untuk menyelamatkan Planet Kita “BUMI” ini dari bencana alam dengan cara yang sangat bijaksana adalah “MEMELIHARA HUTAN ALAM BUMI KITA INI TETAP HIJAU YANG MERUPAKAN JANTUNG BUMI” agar memberikan kita makanan alami yang segar dan sehat sekaligus sebagai PENYANGGAH ALAMI – SELIMUT BUMI KITA bersama umat manusia dan komunitas makhluk lain, termasuk rakyat bangsa-bangsa yang dikategori sebagai masyarakat negara adikuasa/ Blok Barat dan Blok Timur.
Contoh konkritnya, ketika datang pandemic Covid-19 /corona entah varian delta hingga omicron, tak satupun negara adikuasa di dunia ini yang dapat menghentikannya dengan senjata mutakhir kekuatan militer dan senjata nuklir mereka. Justru jutaan rakyat negara dua adikuasa inilah yang terbanyak mencapai ratusan ribu hingga jutaan mati dibunuh oleh penyakit corona, delta dan varian omicron.
Satu-satunya cara ampuh untuk mengakhirinya bencana alam mematikan tersebut lewat tindakan nyata solidaritas dan kebersamaan sesama umat manusia yang sama-sama menghuni Bumi ini lewat kesepakatan/persetujuan bersama melakukan isolasi mandiri, isolasi lokal, lockdown, vaksinasi dan masih banyak lagi cara untuk menyelamatkan umat manusia dan ancaman tersebut.
PENUTUP
Kesimpulan
- 200an negara anggota PBB yang hari ini ada, semuanya menggapai hak kemerdekaannya setelah mereka telah memenuhi syarat mendirikan negara berdasarkan Prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau Hukum Internasional fullstop. Tidak Kurang dan Tidak Berlebihan.
- Propinsi Donetsk dan Luhansk keduanya MENEGASKAN status tujuan perjuangan mereka sangat jelas yaitu sebagai “NEGARA REPUBLIK DONBASS”
- Status Negara inilah merupakan kekuatan Hukum Internasional yang menempatkan Kedudukan Negara Republik Donbass equal atau sejajar atau setara negara Ukraina, dengan demikian permintaan Negara Donbass kepada negara Rusia wajib diterima dan dibantu karena Negara Republik Donbass dinilai Rusia sebagai wilayah Negara bangsa-bangsa yang wajib dilindungi oleh Rusia selaku Negara Anggota Tetap Dewan Keamanan PBB.
SARAN
- Bila berbagai pihak atau orang mau membandingkan perjuangan West Papua bersama Pemerintahan Sementara West Papua (ULMWP) terhadap 2 propinsi jajahan negara Ukraina yang mendeklarasikan kemerdekaan bagi bangsanya, saya anjurkan agar silahkan lakukan penelitian secara objektif (agar argumentasinya didukung dengan bukti otentik, seperti data, tolok ukur, serta parameter yang dapat dihitung secara akurat).
- Rakyat Papua yang berkeinginan mendirikan Negara West Papua lepas dari kekuasaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka IKUTILAH jejak Donetsk dan Luhansk. PERTEGAS STATUS “PEMERINTAH NEGARA WEST PAPUA” sebagaimana Donetsk dan Luhansk dan memperlihatkan bukti nyata bahwa West Papua telah MEMENUHI SYARAT MENDIRIKAN NEGARA WEST PAPUA berdasarkan KONVENSI MOTEVIDEO 1933 atas dasar Prinsip PBB yang di jamin Kekuatan Hukum Internasionalnya.

Tuesday, March 1, 2022

Dr. A. I. Peyon: 𝗗𝘂𝗸𝘂𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗜𝗻𝘁𝗲𝗿𝗻𝗮𝘀𝗶𝗼𝗻𝗮𝗹 𝗔𝗻𝘁𝗮𝗿𝗮 𝗨𝗟𝗠𝗪𝗣, 𝗱𝗮𝗻 𝗣𝗿𝗼𝗸𝗹𝗮𝗺𝗮𝘀𝗶 𝗞𝗲𝗺𝗲𝗿𝗱𝗲𝗸𝗮𝗮𝗻 𝗜𝗻𝗱𝗼𝗻𝗲𝘀𝗶𝗮




Oleh A. Ibrahim Peyon, Ph.D

𝑵𝒆𝒘 𝑮𝒖𝒊𝒏𝒆𝒂, 27 𝑱𝒖𝒏𝒊 2020.

𝟏. 𝐏𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧𝐭𝐚𝐫

Dalam tulisan ini saya ingin dapat membandingkan pengakuan internasional terhadap Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, dengan pengakuan internasional terhadap perjuangan kemerdekaan Papua melalui badan politik resmi 𝒕𝒉𝒆 𝑼𝒏𝒊𝒕𝒆𝒅 𝑳𝒊𝒃𝒆𝒓𝒂𝒕𝒊𝒐𝒏 𝑴𝒐𝒗𝒆𝒓𝒎𝒆𝒏𝒕 𝒇𝒐𝒓 𝑾𝒆𝒔𝒕 𝑷𝒂𝒑𝒖𝒂 (𝑼𝑳𝑴𝑾𝑷) kini. Komparasi macam ini penting untuk mengidentifikasi kekuatan, legalitas dan legitimasi internasional yang telah dicapai oleh ULMWP untuk memperoleh kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Papua secara demokrasi, damai dan bermartabat.
Dalam diskusi ini mengidentifikasi kesamaan dan perbedaan antara pengakuan internasional terhadap Proklamasi Kemerdekaan Indonesia antara 17 Agustus 1945 hingga 28 September 1950, dan pengakuan internasional terhadap ULMWP menuju status Pemerintahan West Papua untuk memperoleh kemerdakaan dan kedaulatan Negara West Papua.

𝟐. 𝐏𝐞𝐧𝐠𝐚𝐤𝐮𝐚𝐧 𝐈𝐧𝐭𝐞𝐫𝐧𝐚𝐬𝐢𝐨𝐧𝐚𝐥 𝐩𝐫𝐨𝐤𝐥𝐚𝐦𝐚𝐬𝐢 𝐤𝐞𝐦𝐞𝐫𝐝𝐞𝐤𝐚𝐚𝐧 𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚

Kita telah mengetahui dalam sejarah kemerdekaan Indonesia bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia dilakukan karena Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di kota Hiroshima pada tanggal 6 Agustus dan Nagasaki pada tanggal 9 Agustus 1945. Momentum ini dimanfaat Sukarno dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Proklamasi kemerdekaan Indonesia ini [saat itu] tidak didukung dari suatu negara mana pun di seluruh dunia secara resmi. Setelah proklamasi 17 Agustus itu mendapat dukungan dari negara Mesir, sebagai satu-satunya negara di dunia yang mendukung dan mengakui kemerdekaan Indonesia secara de-facto 22 Maret 1946, dan secara de-jure 10 Juni 1947. Kemudian empat negara lain mendukung perjuangan Indonesia adalah India, Australia, Palestina dan Vatikan. Tetapi, empat negara ini tidak mengakui secara de-facto dan de-jure sebelum resolusi PBB tahun 1950. Dengan demikian antara waktu 17 Agustus 1945 sampai 28 September 1950 itu kemerdekaan Indonesia mendapat dukungan oleh 5 negara.
Dalam periode itu, Australia, Palestina, India dan Vatikan tidak mengakui kemerdekaan Indonesia secara de-jure, tetapi mereka mendukung perjuangan Indonesia dengan berbagai tindakan semisal boikot barang milik Belanda oleh para buruh Australia, dan pemerintah Australia desak PBB mengakui kemerdekaan Indonesia, Mesir memutuskan hubungan bilateral dengan Belanda, India mendesak PBB mengakui kemerdekaan Indonesia. Perjuangan kemerdekaan Indonesia mendapat dukungan Internasional hanya dari lima negara, tetapi Indonesia menggunakan momentum itu secara baik untuk membentuk pemerintahan yang dipimpin Sukarno dan Hatta, dengan status pemerintahan Indonesia itu galang dukungan internasional.
Belanda sebagai kolonial, tidak mengakui proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 itu secara de-facto dan de-jure selama periode itu. Kemerdekaan Indonesia itu dapat diakui secara resmi 𝑵𝒆𝒈𝒂𝒓𝒂 𝑹𝒆𝒑𝒖𝒃𝒍𝒊𝒌 𝑰𝒏𝒅𝒐𝒏𝒆𝒔𝒊𝒂 𝑺𝒆𝒓𝒊𝒌𝒂𝒕 (𝑹𝑰𝑺), 27 Desember 1949 secara de-facto dan de-jure, maka sampai hari ini pemerintah Belanda sebagai kolonial tidak mengakui kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, dan 𝑵𝒆𝒈𝒂𝒓𝒂 𝑲𝒆𝒔𝒂𝒕𝒖𝒂𝒏 𝑹𝒆𝒑𝒖𝒃𝒍𝒊𝒌 𝑰𝒏𝒅𝒐𝒏𝒆𝒔𝒊𝒂 (𝑵𝑲𝑹𝑰). Bagi Belanda kemerdekaan Indonesia adalah hadiah dalam bentuk Negara Republik Indonesia Serikat, dan bukan Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka secara de-jura, kemerdekaan Indonesia tidak diakui oleh Belanda hingga hari ini.
Tetapi, Indonesia mengklaim bahwa kemerdekaan Indonesia bukan hadiah melainkan hasil dari perjuangan bangsa Indonesia. Karena memang faktanya Indonesia telah berjuang untuk mencapai kemerdekaan mereka. Di sisi lain, banyak sejarah telah dimanipulasi kebenaran dan telah dihilangkan, dan dimusnahkan sejarah-sejarah itu.
Legitimasi atau pengakuan internasional terhadap kemerdekaan Indonesia terjadi setelah Belanda mengakui kemerdekaan 𝐍𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚 𝐑𝐞𝐩𝐮𝐛𝐥𝐢𝐤 𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚 𝐒𝐞𝐫𝐢𝐤𝐚𝐭 27 Desember 1949 itu. Sebelum pengakuan Belanda itu, tidak ada negara mana pun mengakui kemerdekaan Indonesia secara resmi, kecuali Mesir menjadi negara satu-satunya di dunia. Indonesia memperoleh Legitimasi internasional 28 September 1950 melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 82. Pengakuan resmi internasional itu dapat diperoleh karena Indonesia telah memproklasikan kemerdekaan dan membentuk pemerintahan de-facto yang dipimpin oleh Presiden Ir. Soekarno dan wakilnya Mohammad Hatta. Tanpa melalui proklamasi kemerdekaan dan pemerintahan de-facto itu, dunia internasional tidak pernah mengakui kemerdekaan Indonesia secara resmi. Karena itulah Belanda menjajah Indonesia 350 tahun. Jadi, deklarasi kemerdekaan dan pemerintahan adalah kunci menujuk pengakuan internasional secara resmi tentang eksistensi sebuah negara bangsa.

𝟑. 𝐏𝐞𝐫𝐣𝐮𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐩𝐮𝐚 𝐝𝐚𝐧 𝐒𝐢𝐤𝐚𝐩 𝐈𝐧𝐭𝐞𝐫𝐧𝐚𝐬𝐢𝐨𝐧𝐚𝐥

Dalam sejarah perjuangan Papua, manifesto pembentukan negara dimulai 1 Desember 1961 ditandai pembentukan Parlemen Papua (Nieuw Guinea Raad), partai politik, militer dan simbol-simbol negara bangsa. Pada 1 Desember itu dihadiri delegasi resmi pemerintah Australia, Inggris, Belanda dan Papua New Guinea (masih provinsi Australia) adalah pengakuan resmi secara de-facto dan de-jure. Pada 1 Desember itu dinilai tidak dibacakan manifesto kemerdekaan Papua, kemudian diproklamasikan di Victoria, pada 1 Juli 1971 oleh Zeth Japhet Rumkorem dan Jacob H. Prai. Saat itu pemerintahan Papua dibentuk, Rumkorem sebagai Presiden dan Jacob Prai selaku ketua Senat. Dengan perkembangan ini, pemerintah Senegal dan beberapa negara Afrika lain mendukung penuh dan mengakui perjuangan kemerdekaan Papua itu secara de-facto dan de-jure. Pemerintah Senegal telah memberikan gedung kantor kedutaan besar pertama, di mana kantor kedutaan itu dipimpin oleh tuan Tanggahma, ayah kandung dari Leonie Tanggahma di Belanda.
Setelah Vanuatu memperoleh kemerdekaan, mendukung perjuangan kemerdekaan Papua penuh dan secara konsisten sampai hari ini. Tetapi, tuan Tanggahma selaku Duta Besar OPM di Senegal saat itu tidak mampu mempertahankan dukungan itu, dan gagal total. Kemudian ia dan keluarganya pindah ke Belanda untuk menetap di sana, maka diplomasi OPM di Afrika telah berakhir. Dalam periode itu, para pemimpin tidak manfaatkan dukungan itu dengan baik, karena lebih mementingkan status dan jabatan mereka, dan menciptakan perpecahan internal dalam perjuangan.
Konsekuensinya adalah perjuangan Papua telah terpecah ke dalam faksi-faksi yang berbasis etnik dan geografis, baik dalam tubuh sayap militer, organisasi sipil dan diplomasi internasional. Sebagai konsekuensinya juga negara-negara pendukung itu pun telah menarik diri dari dukungan mereka terhadap kemerdekaan Papua. Hari ini sedang mengulangi kondisi masa lalu itu, di mana Jaringan Damai Papua (JDP), Octovianus Mote, Leonie Tanggahma dan kelompok mereka sedang berusaha menciptakan konflik internal dalam tubuh perjuangan ULMWP yang sudah mendapatkan dukungan internasional saat ini. Tentu saja, Leonie Tanggahma dan kelompok mereka sedang mengulangi kerusakan dan kegagalan diplomasi yang pernah dilakukan oleh ayahnya di Senegal saat itu.
Seiring dengan reformasi Indonesia, masa bangsa Papua bangkit dan menuntut kemerdekaan mereka, maka lahir wadah persatuan Forum Rekonsiliasi Rakyat Irian Jaya (FORERI) yang dipimpin Willy Mandowen, kemudian lahirnya Tim 100 bertemu dengan Presiden Gusdur, Musyawarah Besar Papua (MUBES), dan Kongres Papua II. Melalui ketiga pertemuan itu dibentuklah Presidium Dewan Papua (PDP) dan Panel Papua untuk tingkat Kabupaten Kota. Di sini PDP lalai dan tidak menggunakan momentum itu. Ada empat hal PDP lalai,yakni:
(1). Presidium tidak proklamasi kemerdekaan Papua (rehabilitasi) yang sudah dilakukan 1 Juli 1971 oleh Zeth J. Rumkorem dan Jacob Prai di Victoria itu:
(2). Presidium tidak deklarasikan manifesto pemerintahan Negara West Papua.
(3). Presidium Dewan Papua masih bertahan dan puas dengan status Dewan atau Legislatif itu, tanpa pemerintahan berkuasa.
(4). Presidium tidak melakukan diplomasi Internasional untuk mendapat dukungan dan pengakuan internasional.
Berdasarkan empat hal itu dapat menunjukkan Presidium Dewan Papua (PDP) masih ragu-ragu, dan tidak serius dalam memperjuangkan kemerdekaan Papua. Konsekuensi logis dari ketidak seriusan itu maka perjuangan kemerdekaan Papua sangat sulit untuk mendapatkan dukungan dan pengakuan internasional. Di mana para pemimpin presidium ditangkap, dihukum dan dipenjarahkan, ketua Presidium They H. Eluay diculik dan dibunuh, wakilnya Thom Beonal menjadi salah satu wakil Presiden PT. Freeport.
Kondisi itu dimanfaatkan kelompok elit lokal Papua untuk meloloskan agenda mereka mengenai Otonomi Khusus (Otsus) Papua tahun 2001, setelah Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) Theys H. Eluay diculik dan dibunuh dibawah pemerintahan Presiden Megawati.
Sejak tahun 2019, setelah rasisme di Surabaya dan protes massa secara besar-besaran di seluruh tanah Papua, kelompok-kelompok elit yang pernah meloloskan Otsus Papua tahun 2001 itu kembali mulai melakukan konsolidasi, dan mendorong agenda dialog Jakarta-Papua untuk meloloskan Otonomi Khusus Papua Jilid II. Kita lihat kelompok-kelompok ini mulai membangun wacana publik dengan memanfaatkan isu rasisme untuk mendorong agenda mereka. Ada Yoris Raweyai, Fredy Numberi, Michael Manufandu, Rektor Universitas Cenderawasih sekarang, dan kelompok Jaringan Damai Papua (JDP). Kelompok-kelompok pro Indonesia ini terlihat mulai konsolidasi diri dengan berbagai kegiatan seminar, pertemuan, kunjungan, bentuk deck Papua di MPR-RI, siaran di televisi, dan berbagai media lain.
Buchtar Tabuni, deklarator dan Wakil Ketua II Legislatif ULMWP telah mengumumkan bahwa Yoris Raweyai dan Yan P. Mandenas telah mengunjungi mereka, 7 tahanan Politik di Balikpapan. Buchtar mengatakan: “dalam dua Minggu ini kami 7 Tapol Papua di rutan Balik Papan di kunjungi oleh anggota DPD RI, Yoris Raweyai 17 Juni 2020, dan Anggota DPR RI, Yan Mandenas 24 Juni 2020 di Rutan kelas II B Balik Papan. Dalam kunjungan tersebut ada dua hal dibicarakan yakni nasib adik-adik mahasiswa yang di tahan di seluruh Indonesia karena demo penolakan ujaran Rasis terhadap Mahasiswa Papua di Surabaya oleh oknum TNI, Polri kolonial Indonesia dan ormas Reaksioner Nusantara di Surabaya, Jawa Timur”.
Gerakan kelompok pro Indonesia ini bukan hal yang baru, mereka sudah pernah melakukan hal yang sama pada tahun 1998-2001 untuk meloloskan agenda Otonomi Khusus Papua. Kini mereka melakukan metode yang sama untuk meloloskan agenda yang sama dikemas dalam dialog Jakarta-Papua. Metode ini juga telah dilakukan oleh FORERI dan Fredy Numberi dengan bentuk tim 100 bertemu Presiden Abdur Rahmad Wahid, atau Gusdur di Jakarta. Kini mereka mengulangi metode yang sama untuk melumpuhkan dan menghancurkan ULMWP yang telah mendapat dukungan internasional hari ini.
Strategi kelompok ini harus benar-benar diawasi, dipantau dan diwaspadai, rakyat Papua harus mengambil sikap tegas dan tidak kompromi dengan kelompok pro Indonesia ini.

𝟒. 𝐏𝐞𝐧𝐠𝐚𝐤𝐮𝐚𝐧 𝐈𝐧𝐭𝐞𝐫𝐧𝐚𝐬𝐢𝐨𝐧𝐚𝐥 𝐓𝐞𝐫𝐡𝐚𝐝𝐚𝐩 𝐔𝐋𝐌𝐖𝐏

Telah dibahas dalam dua artikel sebelumya, “𝐋𝐞𝐠𝐢𝐭𝐢𝐦𝐚𝐬𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐏𝐞𝐧𝐠𝐚𝐤𝐮𝐚𝐧 𝐭𝐞𝐫𝐡𝐚𝐝𝐚𝐩 𝐔𝐋𝐌𝐖𝐏” https://www.tabloid-wani.com, dan “𝐏𝐨𝐬𝐢𝐬𝐢 𝐔𝐋𝐌𝐖𝐏 𝐝𝐚𝐧 𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚 𝐬𝐞𝐭𝐚𝐫𝐚 𝐝𝐢 𝐦𝐚𝐭𝐚 𝐈𝐧𝐭𝐞𝐫𝐧𝐚𝐬𝐢𝐨𝐧𝐚𝐥”, https://www.law-justice.co bahwa perjuangan bangsa Papua melalui lembaga politik resmi orang Papua itu telah mendapatkan dukungan dan pengakuan yang kuat dari 79 negara anggota African, Caribbean and Pacific Islands (ACP). Ini merupakan dukungan yang fantastik dan spektakuler dalam sejarah perjuangan bangsa Papua 50 tahun terakhir ini. Dukungan tersebut merupakan dukungan tiga kawasan yang menjadi block sendiri di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Selain dukungan 79 negara itu, perjuangan bangsa Papua melalui ULMWP juga telah mendapat dukungan dari Dewan Gereja-Gereja Pasifik, Konferensi Keuskupan-Keuskupan Pasifik, dan Dewan Gereja-Gereja Dunia, berbagai anggota Parlemen lintas negara tergabung dalam 𝑰𝒏𝒕𝒆𝒓𝒏𝒂𝒕𝒊𝒐𝒏𝒂𝒍 𝑷𝒂𝒓𝒍𝒆𝒎𝒆𝒏𝒕𝒂𝒓𝒊𝒂𝒏𝒔 𝒇𝒐𝒓 𝑾𝒆𝒔𝒕 𝑷𝒂𝒑𝒖𝒂 (𝑰𝑷𝑾𝑷), dan 𝑰𝒏𝒕𝒆𝒓𝒏𝒂𝒕𝒊𝒐𝒏𝒂𝒍 𝑳𝒂𝒘𝒚𝒆𝒓𝒔 𝒇𝒐𝒓 𝑾𝒆𝒔𝒕 𝑷𝒂𝒑𝒖𝒂 (𝑰𝑳𝑾𝑷), Akademisi, dan berbagai NGO tak terhitung di seluruh dunia.
Republik Vanuatu resmi telah mengakui dan menyerahkan tanah dan kantor kedutaan bessar Papua pertama paska penutupan kantor OPM di Senegal. Vanuatu secara resmi telah menjadi sponsor utama untuk kemerdekaan bangsa Papua melalui ULMWP sekarang. Diterimanya ULMWP dengan status Obsever dalam organisasi sub Regional Melanesia, 𝑴𝒆𝒍𝒂𝒏𝒆𝒔𝒊𝒂𝒏 𝑺𝒑𝒆𝒂𝒓𝒉𝒆𝒆𝒂𝒅 𝑮𝒓𝒐𝒖𝒑 (𝑴𝑺𝑮), menjadi satu babak baru diplomasi bangsa Papua. Papua dan Indonesia sama-sama diakui sebagai dua entitas negara berbeda dan berkonflik.
Pengakuan MSG mengenai ULMWP itu merupakan kekalahan diplomasi bagi pemerintah Indonesia. Meski Indonesia tahu atas pengakuan itu, tetapi Indonesia masih melakukan diplomasi dengan pendekatan ekonomi untuk mengimbangi wacana publik Indonesia dan stabilitas di tanah Papua. Puncak dari kekalahan diplomasi politik itu jatuh pada 16 Agustus 2019 di Tuvalu dalam pertemuan Forum Pacific Islands (PIF), di mana 18 negara anggota PIF secara resmi adopsi resolusi West Papua yang diajukan Pemerintah Vanuatu dengan ULMWP. Dengan diadopsinya resolusi itu, diplomasi Indonesia di Pasifik sudah selesai dengan kekalahan, sementara itu diplomasi ULMWP di Pasifik selesai dengan kemenangan.
Tahun 2019 adalah tahun kemenangan perjuangan West Papua dengan mendapat dukungan internasional dari negara-negara anggota ACP itu. Bulan Februari 2019, pemimpin kemerdekaan West Papua, Tuan Benny Wenda berhasil memenangkan dukungan dari negara-negara Afrika di Togo dalam pertemuan 𝒕𝒉𝒆 𝑨𝒇𝒓𝒊𝒄𝒂𝒏 𝑼𝒏𝒊𝒐𝒏. Dukungan yang sama juga dirai dalam 𝑭𝒐𝒓𝒖𝒎 𝑵𝒆𝒈𝒂𝒓𝒂-𝑵𝒆𝒈𝒂𝒓𝒂 𝑲𝒂𝒓𝒊𝒃𝒊𝒂𝒏 beberapa minggu kemudian, setelah dukungan regional baik di Pasifik, Karian dan Afrika dipastikan, maka Agustus-November 2019 Duta Besar John Litt dan ULMWP melakukan lobi kepada forum ACP di Brussel. Kemudian tahap finalisasi pemerintah Vanuatu dan ULMWP mengajukan resolusi yang sudah diadopsi 18 negara Pasifik tersebut dalam pertemuan ACP pada 5-7 Desember 2019 dalam pertemuan tingkat menteri, dan pada 8-10 Desember 2019 tingkat kepala negara, di Nairobi Republik Kenya. Dengan suara bulat 100% 79 negara anggota ACP mengadopsi Resolusi West Papua yang diajukan Vanuatu dan ULMWP.

𝟓. 𝐊𝐞𝐬𝐚𝐦𝐚𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐏𝐞𝐫𝐛𝐞𝐝𝐚𝐚𝐧 𝐚𝐧𝐭𝐚𝐫𝐚 𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚, 𝐝𝐚𝐧 𝐖𝐞𝐬𝐭 𝐏𝐚𝐩𝐮𝐚

Telah dijelaskan di atas bahwa sebelum manifesto kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, tidak ada satu negara pun yang mendukung dan mengakui perjuangan kemerrdekaan Indonesia. Meski pun perjuangan Indonesia sudah lebih dari 350 tahun melawan kolonial Belanda, Inggris hingga Jepang, numun para pejuang Indonesia secara cerdik telah memanfaatkan momentum serangan bom atom di Hirisina dan Nakasaki, 5 dan 9 Agustus 1945, berbeda dengan Papua. Sejak 1 Desember 1961 telah mendapat pengakuan secara de-facto oleh pemerintah Inggris, Australia, Belanda dan Provinsi Australia di Papua New Guinea. Tetapi, negara West Papua tersebut diinvasi dan dicaplok oleh Indonesia atas dukungan Amerika Serikat untuk merebut kekayaan alam Papua.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 – 27 Desember 1949, perjuangan kemerdekaan Indonesia mendapat dukungan resmi oleh satu negara yaitu Mesir, dan empat negara lain Australia, India, Balestina dan Vatikan telah mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia, tetapi belum dapat mengakui kemerdekaan secara de-facto dan de-jure.
Berbeda dengan perjuangan West Papua, paska proklamasi 1 Juli 1971 di Vicktoria, dukungan resmi Senegal tidak dimanfaatkan baik dan telah gagal, sedangkan dukungan Vanuatu masih eksis sampai hari ini. Paska pembentukan ULMWP, perjuangan bangsa Papua telah mendapat dukungan resmi oleh Vanuatu dan empat negara Melanesia ditandai dengan menerima ULMWP dengan status observer di MSG, dan resolusi West Papua diadopsi secara resmi oleh 18 negara Pasifik, dan 79 negara anggota ACP.
Dengan demikian perbedaan sangat besar, di mana Indonesia didukung hanya oleh 5 negara paska proklamasi 17 Agustus 1945, sedangkan perjuangan kemerdekaan West Papua didukung oleh 79 negara tahun 2019 kemarin hingga saat ini.
Indonesia dengan modal dukungan 5 negara itu, telah proklamasikan dan dibentuk pemerintahannya, dengan status itu mendesak Belanda untuk melakukan perundingan, dan mencari dukungan internasional. Akhirnya, Belanda setuju melakukan perundingan antara dua negara, pemerintah Belanda dengan pemerintah Indonesia dipimpin Soekarno dan Hatta. Perundingan itu disebut Konferensi Meja Bundar digelar 23 Agustus sampai 2 November 1949 di Den Haag, Belanda, dan 27 Desember 1949 Belanda mengakui 𝐊𝐞𝐦𝐞𝐫𝐝𝐞𝐤𝐚𝐚𝐧 𝐍𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚 𝐑𝐞𝐩𝐮𝐛𝐥𝐢𝐤 𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚 𝐒𝐞𝐫𝐢𝐤𝐚𝐭 (𝐑𝐈𝐒).
Berbeda dengan perjuangan bangsa Papua yang sudah mendapat dukungan 79 negara ACP, mereka mengakui ULMWP sebagai lembaga politik resmi bangsa Papua. Tetapi, ULMWP masih bersifat organisasi meskipun dalam periode kedua ini sudah berjalan dengan status politiknya berasas trias politika atau semi pemerintahan yang terdiri dari: Legislatif, Eksekutif dan Judikatif. Meski ULMWP menjalankan fungsi trias politika atau semi pemerintahan, tetapi masih belum menjadi status Pemerintahan penuh secara de-facto dan de-jure. Hal ini menjadi agenda mendesak para pemimpin bangsa kami untuk segera dipikirkan. Selama status ULMWP belum tranformasi menjadi pemerintahan West Papua, Indonesia masih mengkategorikan ULMWP sebagai Organisasi Politik. Bila statusnya sebagai organisasi politik kapan saja bisa bubar dan sulit mendapat pengakuan resmi dari negara lain secara de-facto dan juga de-jure. Karena negara-negara mereka akan melihat statusnya masih sebagai organisasi dan bukan pemerintahan.
Paska perundingan pemerintah Belanda dan pemerintah Indonesia, barulah masalah Indonesia dibawa ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan 28 September 1950 negara Indonesia dapat pengakuan melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 82. Di sini menjadi jelas bahwa Belanda bersedia melakukan perunding dengan Indonesia karena Indonesia telah mengumumkan pemerintahannya. Berbeda dengan ULMWP dengan status organisasi politik tetapi telah mendapatkan pengakuan resmi dari 79 negara ACP. Apalagi, status ULMWP berubah menjadi status pemerintahan West Papua, saya yakin dengan perubahan status itu Papua mendapat dukungan yang lebih luas lagi.
Hingga tahun 2020 ini, Belanda tidak mengakui de-jure proklamasi 17 Agustus 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Belanda hanya mengakui de-facto dan de-jure adalah Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) 27 Desember 1949, maka manifesto 17 Agustus 1945 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bagi Belanda tidak sah dan ilegal. Akan tetapi, pemerintah Indonesia mengkaim proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah sah karena ada landasan hukum internasional tentang penentuan nasib sendiri negara-negara dari kekuasaan kolonial.
Kondisi ini sama dengan perjuangan Bangsa Papua dan ULMWP di mata Indonesia saat ini. Pemerintah Indonesia tidak mengakui ULMWP sebagai organisasi politik, dan distigmatisasi dengan sebutan separatis dan musuh negara. Pandangan seperti ini biasa, karena kemerdekaan Indonesia sendiri tidak diakui dan dianggap ilegal oleh Belanda. Jadi itu hal yang biasa bagi kolonial di mana pun di dunia.
Di sisi lain, pemerintah Indonesia telah mengakui ULMWP karena delegasi Indonesia dan ULMWP duduk sama-sama di MSG, dan PIF. Presiden Jokowi pernah mengatakan bersedia bertemu dengan pemimpin ULMWP untuk melakukan dialog konstruktif, karena itu ketua ULMWP Benny Wenda mengajukan 6 syarat yang harus dipenuhi Indonesia sebelum melakukan tawaran yang dimaksud Jokowi. Pernyataan Presiden Jokowi adalah salah satu bentuk pengakuan terhadap ULMWP sebagai entitas negara bangsa masih eksis. Dengan demikian, pembentukan pemerintahan West Papua mempunyai dasar hukum internasional yang kuat, dukungan 79 negara ACP sebagai negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) sudah menjadi sangat kuat untuk mendeklarasikan pemerintahan West Papua.

𝟔. 𝐔𝐋𝐌𝐖𝐏 𝐌𝐞𝐧𝐮𝐣𝐮 𝐒𝐭𝐚𝐭𝐮𝐬 𝐏𝐞𝐦𝐞𝐫𝐢𝐧𝐭𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐖𝐞𝐬𝐭 𝐏𝐚𝐩𝐮𝐚

Berdasarkan realita sejarah politik di atas, status United Liberation Moverment for West Papua (ULMWP) menjalankan Trias Politika sudah waktunya untuk berubah menjadi “𝐏𝐞𝐦𝐞𝐫𝐢𝐧𝐚𝐭𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐖𝐞𝐬𝐭 𝐏𝐚𝐩𝐮𝐚” karena perjuangan bangsa Papua sudah dapat diakui oleh 79 negara secara resmi. Perjuangan kemerdekaan Papua juga sudah diakui oleh Dewan Gereja Pasifik, Konferensi Keuskupan Pasifik, Dewan Gereja-Gereja Dunia, dan anggota-anggota Parlemen lintas partai politik dan lintas negara. Bila dikalkulasi persentasi dari 193 negara anggota PBB, maka 79 negara ACP yang adalah anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), maka presentasenya adalah 40,9% negara anggota PBB mendukung perjuangan kemerdekaan West Papua. Oleh karena itu, Pemerintahan West Papua sangatlah penting dan mendesak karena beberapa alasan berikut ini:
(1). Perjuangan kemerdekaan Papua sudah mendapat dukungan resmi dari 79 negara merdeka dan berdaulat.
(2). Untuk menunjukkan keseriusan kepada negara-negara pendukung kemerdekaan West Papua.
(3). Meningkatkan posisi tawar terhadap negara-negara lain di dunia internasional dalam menggalang diplomasi internasional.
(4). Meningkatkan posisi menuju perundingan damai antar dua pemerintah – pemerintah Indonesia dan pemerintah West Papua – untuk menyelesaikan status Papua di forum-forum internasional dalam pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa secara damai, berkeadilan dan bermartabat.
(5). Pemerintah West Papua sebagai pemerintah berkuasa atas bangsa dan territorial West Papua merepresentasi negaranya untuk membawa masalah Papua ke Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan mengajukan gugatan ke makamah Internasional.
(6). Pemerintahan West Papua secara politik dan hukum siap mengambil alih adminitrasi negara melalui proses Perserikatan Bangsa-Bangsa secara damai menuju pemerintahan definitif dan kedaulatan penuh Negara West Papua.
Dalam memenuhi tujuan-tujuan politik di atas, 𝐓𝐡𝐞 𝐔𝐧𝐢𝐭𝐞𝐝 𝐋𝐢𝐛𝐞𝐫𝐚𝐭𝐢𝐨𝐧 𝐌𝐨𝐯𝐞𝐫𝐦𝐞𝐧𝐭 𝐟𝐨𝐫 𝐖𝐞𝐬𝐭 𝐏𝐚𝐩𝐮𝐚 (𝐔𝐋𝐌𝐖𝐏) sudah waktunya dan harus berubah status menjadi Pemerintahan West Papua. Karena itu, bangsa West Papua sudah waktunya untuk bersatu dan mendukung penuh perubahan status lembaga Politik bangsa Papua ini.
Bangsa Papua sudah harus bersatu, kuat, dan tegas menolak agenda dialog Jakarta-Papua, dan agenda Otonomi Khusus Jilid II yang sedang didorong kelompok pro-Indonesia.
Mari kita bersatu dan sambut:
𝐔𝐋𝐌𝐖𝐏 𝐦𝐞𝐧𝐮𝐣𝐮 𝐏𝐞𝐦𝐞𝐫𝐢𝐧𝐭𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐖𝐞𝐬𝐭 𝐏𝐚𝐩𝐮𝐚!
𝐔𝐋𝐌𝐖𝐏 𝐀𝐃𝐀𝐋𝐀𝐇 𝐊𝐈𝐓𝐀 - 𝐃𝐀𝐍 𝐊𝐈𝐓𝐀 𝐀𝐃𝐀𝐋𝐀𝐇 𝐔𝐋𝐌𝐖𝐏
#BravoULMWP #WestPapua #NegaraWestPapua #RepublicOfWestPapua #FreeWestPapua #PapuaMerdeka