Thursday, December 12, 2024

Politik Statistik Penduduk dan pembohongan Publik

Politik Statistik Penduduk adalah politik pembohongan. Saya melakukan penelitian etnografi di sejumlah Kabupaten di tanah Papua, seperti Jayapura, Jayawijaya, Yalimo, Tolikara, Yahukimo, Pegunungan Bintang, Mapi, Nabire, Biak, Sorong Selatan, Bintuni dan Asmat, dan bebepa yang lain, selama beberapa tahun. Saya menemukan satu pola yang sama, dimana jumlah penduduk dalam suatu kampung 50-300 juwa dan paling banyak 500 jiwa. Tetapi, data yang tertulis di kantor desa (kampung), kampung dengan 50 jiwa ditambahkan menjadi 200 orang, dan penduduk real 500 jiwa dalam suatu kampung ditambahkan menjadi 1000-2000 jiwa. Pada waktu saya bertanya kepada masyarakat dan kepala kampung, mereka mengemukan bahwa jumlah penduduk fiktif terdiri dari nama pohon, nama burung, nama hewan, nama sungai, nama gunung, dan termasuk nama orang yang sudah mati. Seperti dikemukakan oleh seorang informan di kampung Tomu di Bintuni, pada waktu saya bertanya, berapa anak-anak bapak, ia mengakui 12 orang anak, saya bertanya dimana mereka tinggal? ia mengatakan 6 anak tinggal bersama di rumahnya, dan anak lain tinggal di kampung sebelah. Saya tanya lagi, dimana kampung sebelah, ia mengatakan di kubukan karena mereka sudah meninggal. Tetapi, mereka masih masuk dalam jumlah keluarga kami. Termasuk juga nama-nama orang dari kampung itu yang tinggal di kota lain. 

Saya tanya lagi kepada mereka, mengapa kalian buat penduduk fiktif? Jawaban mereka bervariasi, antara lain: Kami tambah penduduk agar mendapatkan pemekaran desa, dan melalui pemekaran mengilir uang desa. Alasan lain, mereka didesak oleh Bupati dan pejabat Dinas kependuduk. Selain itu, ada jumlah penduduk fiktif banyak untuk kepentingan mendapatkan kursi DPRD dan politik PIKADA khusus Bupati. Ketika ditanya kepada pemerintah daerah, alasan mereka adalah di suatu kabupaten jumlah penduduknya banyak maka mendapatkan anggaran lebih banyak dari pusat. 

Jadi, para anggota Dewan, Bupati dan Gubernur yang terpilih di Papua ini mayoritas adalah suara fiktif, bukan suara manusia. Apabila pendata penduduk dilakukan dengan KTP Elekronik, jumlah penduduk real tiap Kabupaten di Papua ini sedikit, Kabupaten seperti Yalomo, Mamberamo Tengah, Asmat, Nduga, Bintuni, Kaimana mungkin 20-30 ribu jiwa, Kabupaten seperti Yahukimo, Tolikara, Puncak, mungkin sekitar 80-100 ribu jiwa.

Jadi hari ini orang konflik dimana-mana terkait pilkada untuk merebut suara-suara fiktif ini. Saya harap suatu saat negara menerapkan aturan pemilu yang tegas, bahwa semua orang yang ikut pemilu harus dibuktikan dengan E-KTP dan kartu keluarga.

Monday, December 9, 2024

ANALISIS BUKU: INDIGENOUS RESEARRCH METHODOLOGIES

Buku Indigenous Research Methodologies karya Bagele Chilisa memberikan kontribusi yang signifikan dalam pengembangan teori dan metodologi penelitian berbasis pengetahuan pribumi. Bagele Chilisa, seorang profesor di Universitas Botswana, sebagai bagian dari komunitas Afrika yang merasakan dampak kolonialisme, menawarkan perspektif kritis terhadap sistem pengetahuan Barat yang dominan. Selain pengalamannya dengan kolonialisme, Chilisa juga terpengaruh oleh berbagai teori dekolonial yang telah dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Linda Tuhiwai Smith, Franz Fanon, Edward Said, serta para feminis pascakolonial seperti Chandra Talpade Mohantan dan Margaret A. McLaren. Metodologi yang diusung Chilisa memiliki perbedaan signifikan dibandingkan dengan para penulis lain dalam bidang ini, menawarkan pendekatan yang lebih holistik dan berbasis pada pengakuan penuh terhadap sistem pengetahuan pribumi.

Secara keseluruhan, buku ini menyajikan sebuah paradigma baru dalam penelitian sosial, yang menempatkan pengetahuan pribumi sebagai pusat kajian, sekaligus mengkritisi dominasi paradigma penelitian Barat. Chilisa mengusulkan pentingnya dekolonisasi dalam metodologi penelitian, dan bagaimana cara-cara baru dalam merancang, melaksanakan, dan menginterpretasikan penelitian dapat memperkaya pengetahuan serta memberikan dampak positif bagi masyarakat. Setiap bab dalam buku ini menawarkan wawasan mendalam mengenai topik-topik penting yang sangat relevan bagi peneliti, akademisi, dan praktisi yang tertarik pada penelitian yang lebih adil, berkelanjutan, dan berbasis pada sistem pengetahuan yang beragam.

Bab-Bab Utama dalam Buku

Bab 1: Situating Knowledge Systems
Bab pertama membahas bagaimana pengetahuan Barat sering dianggap sebagai standar global, sementara pengetahuan pribumi sering diabaikan atau diremehkan. Chilisa menekankan bahwa pengetahuan tidak hanya berbasis fakta objektif, tetapi juga terkait erat dengan konteks sosial, budaya, dan historis. Bab ini mengajak pembaca untuk melihat pengetahuan dalam konteks yang lebih luas dan menghargai cara pandang yang berbeda terhadap realitas sosial dan alam semesta.

Bab 2: Research Paradigms
Bab ini membahas berbagai paradigma penelitian yang ada, seperti positivistik, interpretivistik, dan kritikal. Chilisa menyoroti pentingnya mengadaptasi paradigma penelitian agar mencerminkan keberagaman cara pandang terhadap pengetahuan dan kenyataan, serta bagaimana paradigma dominan sering mengabaikan perspektif komunitas pribumi.

Bab 3: Discovery and Recovery: Reading and Conducting Research Responsibly
Chilisa mengusulkan bahwa penelitian yang bertanggung jawab tidak hanya berfokus pada pencarian pengetahuan baru, tetapi juga pada pemulihan dan penghargaan terhadap pengetahuan yang ada dalam komunitas pribumi. Bab ini menekankan pentingnya mengembalikan pengetahuan yang sering kali diabaikan atau dihancurkan oleh sistem kolonial.

Bab 4: Whose Reality Counts? Research Methods in Question
Bab ini mengkritisi metode penelitian Barat yang sering dianggap objektif dan universal. Chilisa menunjukkan bagaimana metode ini sering mengabaikan perspektif dan realitas komunitas pribumi, serta mereduksi kedalaman pengetahuan yang ada dalam masyarakat mereka.

Bab 5: Postcolonial Indigenous Research Paradigms
Bab ini mengulas paradigma penelitian pascakolonial yang muncul dari pengalaman dan perjuangan masyarakat pribumi melawan penjajahan dan penindasan. Chilisa mengajukan teori-teori yang memperjuangkan kebebasan intelektual masyarakat pribumi dan bagaimana paradigma ini dapat menawarkan cara-cara baru untuk melakukan penelitian yang lebih adil dan setara.

Bab 6: Decolonizing Evaluation
Bab ini membahas pentingnya dekolonisasi dalam praktik evaluasi. Chilisa menekankan bahwa evaluasi tidak hanya dilihat sebagai alat ukur keberhasilan program, tetapi juga harus memperhatikan konteks sosial, budaya, dan politik yang unik dari komunitas pribumi. Evaluasi berbasis pengetahuan pribumi dapat menghasilkan temuan yang lebih relevan dan bermanfaat bagi komunitas tersebut.

Bab 7: Decolonizing Mixed Methods Research
Chilisa membahas penggunaan metode campuran dalam penelitian dekolonial. Ia menjelaskan bagaimana metode campuran bisa mengintegrasikan pengetahuan dan perspektif pribumi dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang lebih umum. Bab ini menekankan pentingnya fleksibilitas dalam merancang penelitian yang lebih sensitif terhadap konteks dan nilai-nilai komunitas pribumi.

Bab 8: Indigenous Mixed Methods in Program Evaluation
Bab ini memperkenalkan penerapan metode campuran dalam evaluasi program yang melibatkan komunitas pribumi. Chilisa menjelaskan bagaimana pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang sensitif terhadap budaya dapat menciptakan evaluasi yang lebih adil dan bermanfaat bagi masyarakat.

Bab 9: Theorizing on Social Science Research Methods: Indigenous Perspectives
Bab ini menggali teori-teori dalam ilmu sosial dari perspektif pribumi. Chilisa mengkritisi teori-teori Barat yang sering tidak mampu menggambarkan realitas sosial dan budaya masyarakat pribumi. Ia mengajukan teori-teori alternatif yang lebih inklusif dan menghargai keberagaman cara pandang terhadap pengetahuan.

Bab 10: Culturally Responsive Indigenous Research Methodologies
Chilisa mengusulkan metodologi penelitian yang responsif terhadap budaya dalam konteks penelitian pribumi. Bab ini menjelaskan bagaimana pendekatan metodologis yang menghargai nilai dan norma budaya dapat memperkuat relevansi dan keberlanjutan hasil penelitian.

Bab 11: Decolonizing the Interview Method
Pada bab ini, Chilisa mengkritisi metode wawancara tradisional yang sering kali digunakan dalam penelitian terhadap masyarakat pribumi. Ia mengusulkan pendekatan wawancara yang lebih sensitif terhadap konteks budaya dan sosial, serta menghargai dinamika kekuasaan dan hak-hak partisipan.

Bab 12: Participatory Research Methods
Bab ini membahas metodologi penelitian partisipatif yang menekankan keterlibatan langsung dan aktif dari masyarakat dalam setiap tahap penelitian. Chilisa mengusulkan agar partisipasi dijadikan prinsip dasar dalam penelitian, untuk menghasilkan hasil yang lebih relevan dan meningkatkan hak-hak masyarakat pribumi.

Bab 13: Postcolonial Indigenous Feminist Research Methodologies
Chilisa mengeksplorasi metodologi penelitian feminis pascakolonial yang dilihat dari perspektif pribumi. Bab ini menyoroti pengalaman perempuan pribumi yang sering terpinggirkan dalam narasi dominan dan pentingnya memberdayakan perempuan pribumi serta membongkar struktur kekuasaan yang menindas mereka.

Bab 14: Building Partnerships and Integrating Knowledge Systems
Bab terakhir membahas pentingnya membangun kemitraan yang saling menghormati antara peneliti, akademisi, dan komunitas pribumi. Chilisa menekankan pentingnya mengintegrasikan sistem pengetahuan yang berbeda secara setara dan tanpa dominasi, dengan dasar prinsip saling menghargai, keadilan, dan dekolonisasi.

Kelebihan Buku

Buku ini menawarkan berbagai kelebihan yang menjadikannya sumber penting dalam kajian metodologi penelitian, khususnya yang berfokus pada pendekatan berbasis komunitas dan dekolonisasi. Salah satu kelebihan utamanya adalah kemampuannya untuk memberikan wawasan yang mendalam mengenai pentingnya menghargai sistem pengetahuan pribumi dalam penelitian sosial. Chilisa secara efektif mengkritisi dominasi paradigma Barat dalam penelitian, mengajak pembaca untuk mempertanyakan cara-cara penelitian yang sering mengabaikan nilai budaya, tradisi, dan cara hidup masyarakat pribumi. Selain itu, buku ini menawarkan beragam pendekatan metodologis yang sensitif terhadap konteks sosial dan budaya lokal, seperti metode campuran, wawancara dekolonial, dan penelitian partisipatif, yang sangat relevan bagi peneliti, akademisi, dan praktisi yang ingin mengembangkan penelitian yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Kelemahan Buku

Meskipun buku ini menawarkan panduan yang sangat berharga, terdapat beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan. Salah satu kekurangan utama adalah bahwa buku ini lebih banyak membahas teori dan konsep-konsep besar dalam dekolonisasi metodologi tanpa memberikan banyak contoh konkret atau studi kasus yang memadai. Hal ini dapat menyulitkan pembaca, terutama yang berasal dari latar belakang non-pribumi atau yang baru memasuki bidang ini, dalam mengaplikasikan teori tersebut dalam praktik nyata. Selain itu, meskipun buku ini sangat kritis terhadap paradigma Barat, beberapa pembaca mungkin merasa bahwa pendekatannya terlalu fokus pada kritik terhadap sistem yang ada tanpa memberikan penjelasan yang lebih rinci mengenai bagaimana sistem pengetahuan pribumi bisa diintegrasikan dengan lebih praktis dalam sistem akademik atau penelitian yang lebih luas.

Kesimpulan

Buku Indigenous Research Methodologies oleh Bagele Chilisa memberikan wawasan yang sangat berharga mengenai bagaimana penelitian harus didekolonisasi untuk lebih menghargai dan melibatkan sistem pengetahuan pribumi. Chilisa mengajak pembaca untuk mempertanyakan asumsi-asumsi dominan dalam metodologi penelitian Barat dan menawarkan alternatif yang lebih inklusif, adil, dan berorientasi pada keadilan sosial. Dengan menggali berbagai paradigma dan metodologi penelitian yang sensitif terhadap konteks budaya dan sejarah masyarakat pribumi, buku ini memberikan panduan bagi peneliti untuk melaksanakan penelitian yang lebih etis, responsif, dan bermanfaat bagi komunitas yang terlibat.