Salam jumpa dalam blog pribadi, ya, catatan pribadi saya. Kiranya Tuhan mencerahkan hati dan pikiran setelah berkunjung ke blog ini, sehingga kita sama-sama memahami pilihan-pilihan yang telah saya ambil untuk hidup. Dengan berbagai resiko, hidup yang kita miliki sekali ini, telah saya persembahkan untuk membela "kebenaran" mutlak milik Allah.

Pilihan kita menentukan nasib kita, baik masakini maupun masadepan baik nasib pribadi maupun nasib kelompok (keluarga, marga, suku, bangsa), baik untuk hidup ini maupun kehidupan setelah kematian.

Kita yang hanya mengejar keuntungan sementara yang duniawi dari pilihan kita, pasti akan menyesal. Akan tetapi penyesalan itu akan sia-sia, karena pilihan harus dibuat saat ini, saat kita hidup di dunia ini, dalam tubuh fisik ini, sekarang juga.

Kiranya dengan membaca blog ini, dan blog saya yang lain, Anda dapat dicerahkan untuk membuat pilihan-pilihan yang jelas, khususnya dalam kaitannya dengan pergumulan dan perjuangan bangsa Papua menentang dusta dan segala dampak ikutannya atas bangsa Papua dan wilayah West Papua, yang dilakukan oleh bangsa Indonesia, negara republik Indonesia.

Selamat membaca! Tuhan Yesus Kristus memberkati!

Thursday, December 12, 2024

Politik Statistik Penduduk dan pembohongan Publik

Politik Statistik Penduduk adalah politik pembohongan. Saya melakukan penelitian etnografi di sejumlah Kabupaten di tanah Papua, seperti Jayapura, Jayawijaya, Yalimo, Tolikara, Yahukimo, Pegunungan Bintang, Mapi, Nabire, Biak, Sorong Selatan, Bintuni dan Asmat, dan bebepa yang lain, selama beberapa tahun. Saya menemukan satu pola yang sama, dimana jumlah penduduk dalam suatu kampung 50-300 juwa dan paling banyak 500 jiwa. Tetapi, data yang tertulis di kantor desa (kampung), kampung dengan 50 jiwa ditambahkan menjadi 200 orang, dan penduduk real 500 jiwa dalam suatu kampung ditambahkan menjadi 1000-2000 jiwa. Pada waktu saya bertanya kepada masyarakat dan kepala kampung, mereka mengemukan bahwa jumlah penduduk fiktif terdiri dari nama pohon, nama burung, nama hewan, nama sungai, nama gunung, dan termasuk nama orang yang sudah mati. Seperti dikemukakan oleh seorang informan di kampung Tomu di Bintuni, pada waktu saya bertanya, berapa anak-anak bapak, ia mengakui 12 orang anak, saya bertanya dimana mereka tinggal? ia mengatakan 6 anak tinggal bersama di rumahnya, dan anak lain tinggal di kampung sebelah. Saya tanya lagi, dimana kampung sebelah, ia mengatakan di kubukan karena mereka sudah meninggal. Tetapi, mereka masih masuk dalam jumlah keluarga kami. Termasuk juga nama-nama orang dari kampung itu yang tinggal di kota lain. 

Saya tanya lagi kepada mereka, mengapa kalian buat penduduk fiktif? Jawaban mereka bervariasi, antara lain: Kami tambah penduduk agar mendapatkan pemekaran desa, dan melalui pemekaran mengilir uang desa. Alasan lain, mereka didesak oleh Bupati dan pejabat Dinas kependuduk. Selain itu, ada jumlah penduduk fiktif banyak untuk kepentingan mendapatkan kursi DPRD dan politik PIKADA khusus Bupati. Ketika ditanya kepada pemerintah daerah, alasan mereka adalah di suatu kabupaten jumlah penduduknya banyak maka mendapatkan anggaran lebih banyak dari pusat. 

Jadi, para anggota Dewan, Bupati dan Gubernur yang terpilih di Papua ini mayoritas adalah suara fiktif, bukan suara manusia. Apabila pendata penduduk dilakukan dengan KTP Elekronik, jumlah penduduk real tiap Kabupaten di Papua ini sedikit, Kabupaten seperti Yalomo, Mamberamo Tengah, Asmat, Nduga, Bintuni, Kaimana mungkin 20-30 ribu jiwa, Kabupaten seperti Yahukimo, Tolikara, Puncak, mungkin sekitar 80-100 ribu jiwa.

Jadi hari ini orang konflik dimana-mana terkait pilkada untuk merebut suara-suara fiktif ini. Saya harap suatu saat negara menerapkan aturan pemilu yang tegas, bahwa semua orang yang ikut pemilu harus dibuktikan dengan E-KTP dan kartu keluarga.

Monday, December 9, 2024

ANALISIS BUKU: INDIGENOUS RESEARRCH METHODOLOGIES

Buku Indigenous Research Methodologies karya Bagele Chilisa memberikan kontribusi yang signifikan dalam pengembangan teori dan metodologi penelitian berbasis pengetahuan pribumi. Bagele Chilisa, seorang profesor di Universitas Botswana, sebagai bagian dari komunitas Afrika yang merasakan dampak kolonialisme, menawarkan perspektif kritis terhadap sistem pengetahuan Barat yang dominan. Selain pengalamannya dengan kolonialisme, Chilisa juga terpengaruh oleh berbagai teori dekolonial yang telah dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Linda Tuhiwai Smith, Franz Fanon, Edward Said, serta para feminis pascakolonial seperti Chandra Talpade Mohantan dan Margaret A. McLaren. Metodologi yang diusung Chilisa memiliki perbedaan signifikan dibandingkan dengan para penulis lain dalam bidang ini, menawarkan pendekatan yang lebih holistik dan berbasis pada pengakuan penuh terhadap sistem pengetahuan pribumi.

Secara keseluruhan, buku ini menyajikan sebuah paradigma baru dalam penelitian sosial, yang menempatkan pengetahuan pribumi sebagai pusat kajian, sekaligus mengkritisi dominasi paradigma penelitian Barat. Chilisa mengusulkan pentingnya dekolonisasi dalam metodologi penelitian, dan bagaimana cara-cara baru dalam merancang, melaksanakan, dan menginterpretasikan penelitian dapat memperkaya pengetahuan serta memberikan dampak positif bagi masyarakat. Setiap bab dalam buku ini menawarkan wawasan mendalam mengenai topik-topik penting yang sangat relevan bagi peneliti, akademisi, dan praktisi yang tertarik pada penelitian yang lebih adil, berkelanjutan, dan berbasis pada sistem pengetahuan yang beragam.

Bab-Bab Utama dalam Buku

Bab 1: Situating Knowledge Systems
Bab pertama membahas bagaimana pengetahuan Barat sering dianggap sebagai standar global, sementara pengetahuan pribumi sering diabaikan atau diremehkan. Chilisa menekankan bahwa pengetahuan tidak hanya berbasis fakta objektif, tetapi juga terkait erat dengan konteks sosial, budaya, dan historis. Bab ini mengajak pembaca untuk melihat pengetahuan dalam konteks yang lebih luas dan menghargai cara pandang yang berbeda terhadap realitas sosial dan alam semesta.

Bab 2: Research Paradigms
Bab ini membahas berbagai paradigma penelitian yang ada, seperti positivistik, interpretivistik, dan kritikal. Chilisa menyoroti pentingnya mengadaptasi paradigma penelitian agar mencerminkan keberagaman cara pandang terhadap pengetahuan dan kenyataan, serta bagaimana paradigma dominan sering mengabaikan perspektif komunitas pribumi.

Bab 3: Discovery and Recovery: Reading and Conducting Research Responsibly
Chilisa mengusulkan bahwa penelitian yang bertanggung jawab tidak hanya berfokus pada pencarian pengetahuan baru, tetapi juga pada pemulihan dan penghargaan terhadap pengetahuan yang ada dalam komunitas pribumi. Bab ini menekankan pentingnya mengembalikan pengetahuan yang sering kali diabaikan atau dihancurkan oleh sistem kolonial.

Bab 4: Whose Reality Counts? Research Methods in Question
Bab ini mengkritisi metode penelitian Barat yang sering dianggap objektif dan universal. Chilisa menunjukkan bagaimana metode ini sering mengabaikan perspektif dan realitas komunitas pribumi, serta mereduksi kedalaman pengetahuan yang ada dalam masyarakat mereka.

Bab 5: Postcolonial Indigenous Research Paradigms
Bab ini mengulas paradigma penelitian pascakolonial yang muncul dari pengalaman dan perjuangan masyarakat pribumi melawan penjajahan dan penindasan. Chilisa mengajukan teori-teori yang memperjuangkan kebebasan intelektual masyarakat pribumi dan bagaimana paradigma ini dapat menawarkan cara-cara baru untuk melakukan penelitian yang lebih adil dan setara.

Bab 6: Decolonizing Evaluation
Bab ini membahas pentingnya dekolonisasi dalam praktik evaluasi. Chilisa menekankan bahwa evaluasi tidak hanya dilihat sebagai alat ukur keberhasilan program, tetapi juga harus memperhatikan konteks sosial, budaya, dan politik yang unik dari komunitas pribumi. Evaluasi berbasis pengetahuan pribumi dapat menghasilkan temuan yang lebih relevan dan bermanfaat bagi komunitas tersebut.

Bab 7: Decolonizing Mixed Methods Research
Chilisa membahas penggunaan metode campuran dalam penelitian dekolonial. Ia menjelaskan bagaimana metode campuran bisa mengintegrasikan pengetahuan dan perspektif pribumi dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang lebih umum. Bab ini menekankan pentingnya fleksibilitas dalam merancang penelitian yang lebih sensitif terhadap konteks dan nilai-nilai komunitas pribumi.

Bab 8: Indigenous Mixed Methods in Program Evaluation
Bab ini memperkenalkan penerapan metode campuran dalam evaluasi program yang melibatkan komunitas pribumi. Chilisa menjelaskan bagaimana pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang sensitif terhadap budaya dapat menciptakan evaluasi yang lebih adil dan bermanfaat bagi masyarakat.

Bab 9: Theorizing on Social Science Research Methods: Indigenous Perspectives
Bab ini menggali teori-teori dalam ilmu sosial dari perspektif pribumi. Chilisa mengkritisi teori-teori Barat yang sering tidak mampu menggambarkan realitas sosial dan budaya masyarakat pribumi. Ia mengajukan teori-teori alternatif yang lebih inklusif dan menghargai keberagaman cara pandang terhadap pengetahuan.

Bab 10: Culturally Responsive Indigenous Research Methodologies
Chilisa mengusulkan metodologi penelitian yang responsif terhadap budaya dalam konteks penelitian pribumi. Bab ini menjelaskan bagaimana pendekatan metodologis yang menghargai nilai dan norma budaya dapat memperkuat relevansi dan keberlanjutan hasil penelitian.

Bab 11: Decolonizing the Interview Method
Pada bab ini, Chilisa mengkritisi metode wawancara tradisional yang sering kali digunakan dalam penelitian terhadap masyarakat pribumi. Ia mengusulkan pendekatan wawancara yang lebih sensitif terhadap konteks budaya dan sosial, serta menghargai dinamika kekuasaan dan hak-hak partisipan.

Bab 12: Participatory Research Methods
Bab ini membahas metodologi penelitian partisipatif yang menekankan keterlibatan langsung dan aktif dari masyarakat dalam setiap tahap penelitian. Chilisa mengusulkan agar partisipasi dijadikan prinsip dasar dalam penelitian, untuk menghasilkan hasil yang lebih relevan dan meningkatkan hak-hak masyarakat pribumi.

Bab 13: Postcolonial Indigenous Feminist Research Methodologies
Chilisa mengeksplorasi metodologi penelitian feminis pascakolonial yang dilihat dari perspektif pribumi. Bab ini menyoroti pengalaman perempuan pribumi yang sering terpinggirkan dalam narasi dominan dan pentingnya memberdayakan perempuan pribumi serta membongkar struktur kekuasaan yang menindas mereka.

Bab 14: Building Partnerships and Integrating Knowledge Systems
Bab terakhir membahas pentingnya membangun kemitraan yang saling menghormati antara peneliti, akademisi, dan komunitas pribumi. Chilisa menekankan pentingnya mengintegrasikan sistem pengetahuan yang berbeda secara setara dan tanpa dominasi, dengan dasar prinsip saling menghargai, keadilan, dan dekolonisasi.

Kelebihan Buku

Buku ini menawarkan berbagai kelebihan yang menjadikannya sumber penting dalam kajian metodologi penelitian, khususnya yang berfokus pada pendekatan berbasis komunitas dan dekolonisasi. Salah satu kelebihan utamanya adalah kemampuannya untuk memberikan wawasan yang mendalam mengenai pentingnya menghargai sistem pengetahuan pribumi dalam penelitian sosial. Chilisa secara efektif mengkritisi dominasi paradigma Barat dalam penelitian, mengajak pembaca untuk mempertanyakan cara-cara penelitian yang sering mengabaikan nilai budaya, tradisi, dan cara hidup masyarakat pribumi. Selain itu, buku ini menawarkan beragam pendekatan metodologis yang sensitif terhadap konteks sosial dan budaya lokal, seperti metode campuran, wawancara dekolonial, dan penelitian partisipatif, yang sangat relevan bagi peneliti, akademisi, dan praktisi yang ingin mengembangkan penelitian yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Kelemahan Buku

Meskipun buku ini menawarkan panduan yang sangat berharga, terdapat beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan. Salah satu kekurangan utama adalah bahwa buku ini lebih banyak membahas teori dan konsep-konsep besar dalam dekolonisasi metodologi tanpa memberikan banyak contoh konkret atau studi kasus yang memadai. Hal ini dapat menyulitkan pembaca, terutama yang berasal dari latar belakang non-pribumi atau yang baru memasuki bidang ini, dalam mengaplikasikan teori tersebut dalam praktik nyata. Selain itu, meskipun buku ini sangat kritis terhadap paradigma Barat, beberapa pembaca mungkin merasa bahwa pendekatannya terlalu fokus pada kritik terhadap sistem yang ada tanpa memberikan penjelasan yang lebih rinci mengenai bagaimana sistem pengetahuan pribumi bisa diintegrasikan dengan lebih praktis dalam sistem akademik atau penelitian yang lebih luas.

Kesimpulan

Buku Indigenous Research Methodologies oleh Bagele Chilisa memberikan wawasan yang sangat berharga mengenai bagaimana penelitian harus didekolonisasi untuk lebih menghargai dan melibatkan sistem pengetahuan pribumi. Chilisa mengajak pembaca untuk mempertanyakan asumsi-asumsi dominan dalam metodologi penelitian Barat dan menawarkan alternatif yang lebih inklusif, adil, dan berorientasi pada keadilan sosial. Dengan menggali berbagai paradigma dan metodologi penelitian yang sensitif terhadap konteks budaya dan sejarah masyarakat pribumi, buku ini memberikan panduan bagi peneliti untuk melaksanakan penelitian yang lebih etis, responsif, dan bermanfaat bagi komunitas yang terlibat.

Sunday, November 24, 2024

Sungai Rirum - Tempat sejarah suku-suku di sekitar Huon dan tempat asal usul buah merah

Sungai Rirum. Tempat sejarah suku-suku di sekitar Huon dan tempat asal usul buah merah di wilayah ini. Dalam bahasa Rirum buah merah disebut sirun danwam. Dalam budaya Yali bibit buah merah diberikan oleh roh bersama seorang gadis roh setelah seorang pria pergi ke dunia roh dan tumbuhan ditanam dan berbuah tetapi tidak menjadi merah. Sesuai janji seorang tua dari dunia roh merupakan ayah dari perempuan itu, sebuah tanaman itu berbuah jangan sentuh istrimu. Pria itu menaati perintah itu, hingga buah itu berbuah dan istrinya ambil menstruasinya dan buah itu berubah menjadi merah dan menghasilkan lemak merah (sak amuk). Dalam budaya suku-suku di Huon lemak merah keluar dari sebuah lubang batu, lubang batu itu berbentuk kelamin perempuan. Seorang pria pemilik lokasi itu menemukan dan menimpa lemak itu. Ini tersebar di seluruh Huon, Koroka, Hagen, dan Madang dan sekitarnya. Suatu hari seorang wanita lain mengambail lemah yang di simpan suaminya dan ditumpahkan maka mereka bertengkar. Semut merah (leng) makan lemak itu dan kejar hingga di lubang batu itu dan menghabisi semua lemak termasuk lubang dan tinding hingga masuk ke dalamnya. Perempuan batu pemilik lubang kelamin wanita itu merasa sakit karena kelaminnya hingga bagian dalam tubuhnya dimakan oleh semut merah. 

Suatu hari perempuan batu itu muncul dalam mimpi dan beritahu pria pemilik lokasi itu, bahwa lemak ini akan muncul dalam bentuk lain, sebuah jenis tumbuhan dan buahnya akan berubah menjadi merah. Lemak itu diambil dari buah tersebut dan dimakan. 

Keesokan harinya, dari lubang batu berbentuk vagina itu menghasilkan bibit jenis-jenis tumbuhan buah mereka dan tumbuh di sekitarnya. Pria pemilik lokasi itu mengambil bibit buah itu dan ditanam kemudian berkembang dan tersebar di seluruh sulu-suku di Papua New Guinea. 

Dalam budaya Yali semua jenis buah merah memiliki nama, demikian juga dalam budaya Rirun dan suku-suku di sekitarnya. 
Dalam bahasa Yali: Maling, leplep, anggiluk, heiba, wesi, wayo, punding, saluwan, olomuk, pangie, sinal, narikiak, elebet, olomuk, wesuhu, alambili, dll. Lebih dari 40 jenis buah merah dengan nama-namanya sendiri. 

Dalam budaya Rirun: somai, watawet kiris, watawet tafun, sapam, moar, wangum, garang guntib, giragajang, gumam, karang, fiman, sagatsang, unsit, sagakat dan banyak jenis lain.  

Sejarah asal usul buah merah dari kedua suku ini sama, pertama bibit buah merah diberikan oleh roh, kedua lemak buah berwarna merah berasal dari perempuan, ketiga dimasa lalu perempuan dilarang makan buah merah. Keempat tiap jenis buah merah memiliki nama sendiri.