Oleh A. Ibrahim Peyon, Ph.D
𝑵𝒆𝒘 𝑮𝒖𝒊𝒏𝒆𝒂, 27 𝑱𝒖𝒏𝒊 2020.
𝟏. 𝐏𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧𝐭𝐚𝐫
Dalam tulisan ini saya ingin dapat membandingkan pengakuan internasional terhadap Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, dengan pengakuan internasional terhadap perjuangan kemerdekaan Papua melalui badan politik resmi 𝒕𝒉𝒆 𝑼𝒏𝒊𝒕𝒆𝒅 𝑳𝒊𝒃𝒆𝒓𝒂𝒕𝒊𝒐𝒏 𝑴𝒐𝒗𝒆𝒓𝒎𝒆𝒏𝒕 𝒇𝒐𝒓 𝑾𝒆𝒔𝒕 𝑷𝒂𝒑𝒖𝒂 (𝑼𝑳𝑴𝑾𝑷) kini. Komparasi macam ini penting untuk mengidentifikasi kekuatan, legalitas dan legitimasi internasional yang telah dicapai oleh ULMWP untuk memperoleh kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Papua secara demokrasi, damai dan bermartabat.
Dalam diskusi ini mengidentifikasi kesamaan dan perbedaan antara pengakuan internasional terhadap Proklamasi Kemerdekaan Indonesia antara 17 Agustus 1945 hingga 28 September 1950, dan pengakuan internasional terhadap ULMWP menuju status Pemerintahan West Papua untuk memperoleh kemerdakaan dan kedaulatan Negara West Papua.
𝟐. 𝐏𝐞𝐧𝐠𝐚𝐤𝐮𝐚𝐧 𝐈𝐧𝐭𝐞𝐫𝐧𝐚𝐬𝐢𝐨𝐧𝐚𝐥 𝐩𝐫𝐨𝐤𝐥𝐚𝐦𝐚𝐬𝐢 𝐤𝐞𝐦𝐞𝐫𝐝𝐞𝐤𝐚𝐚𝐧 𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚
Kita telah mengetahui dalam sejarah kemerdekaan Indonesia bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia dilakukan karena Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di kota Hiroshima pada tanggal 6 Agustus dan Nagasaki pada tanggal 9 Agustus 1945. Momentum ini dimanfaat Sukarno dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Proklamasi kemerdekaan Indonesia ini [saat itu] tidak didukung dari suatu negara mana pun di seluruh dunia secara resmi. Setelah proklamasi 17 Agustus itu mendapat dukungan dari negara Mesir, sebagai satu-satunya negara di dunia yang mendukung dan mengakui kemerdekaan Indonesia secara de-facto 22 Maret 1946, dan secara de-jure 10 Juni 1947. Kemudian empat negara lain mendukung perjuangan Indonesia adalah India, Australia, Palestina dan Vatikan. Tetapi, empat negara ini tidak mengakui secara de-facto dan de-jure sebelum resolusi PBB tahun 1950. Dengan demikian antara waktu 17 Agustus 1945 sampai 28 September 1950 itu kemerdekaan Indonesia mendapat dukungan oleh 5 negara.
Dalam periode itu, Australia, Palestina, India dan Vatikan tidak mengakui kemerdekaan Indonesia secara de-jure, tetapi mereka mendukung perjuangan Indonesia dengan berbagai tindakan semisal boikot barang milik Belanda oleh para buruh Australia, dan pemerintah Australia desak PBB mengakui kemerdekaan Indonesia, Mesir memutuskan hubungan bilateral dengan Belanda, India mendesak PBB mengakui kemerdekaan Indonesia. Perjuangan kemerdekaan Indonesia mendapat dukungan Internasional hanya dari lima negara, tetapi Indonesia menggunakan momentum itu secara baik untuk membentuk pemerintahan yang dipimpin Sukarno dan Hatta, dengan status pemerintahan Indonesia itu galang dukungan internasional.
Belanda sebagai kolonial, tidak mengakui proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 itu secara de-facto dan de-jure selama periode itu. Kemerdekaan Indonesia itu dapat diakui secara resmi 𝑵𝒆𝒈𝒂𝒓𝒂 𝑹𝒆𝒑𝒖𝒃𝒍𝒊𝒌 𝑰𝒏𝒅𝒐𝒏𝒆𝒔𝒊𝒂 𝑺𝒆𝒓𝒊𝒌𝒂𝒕 (𝑹𝑰𝑺), 27 Desember 1949 secara de-facto dan de-jure, maka sampai hari ini pemerintah Belanda sebagai kolonial tidak mengakui kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, dan 𝑵𝒆𝒈𝒂𝒓𝒂 𝑲𝒆𝒔𝒂𝒕𝒖𝒂𝒏 𝑹𝒆𝒑𝒖𝒃𝒍𝒊𝒌 𝑰𝒏𝒅𝒐𝒏𝒆𝒔𝒊𝒂 (𝑵𝑲𝑹𝑰). Bagi Belanda kemerdekaan Indonesia adalah hadiah dalam bentuk Negara Republik Indonesia Serikat, dan bukan Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka secara de-jura, kemerdekaan Indonesia tidak diakui oleh Belanda hingga hari ini.
Tetapi, Indonesia mengklaim bahwa kemerdekaan Indonesia bukan hadiah melainkan hasil dari perjuangan bangsa Indonesia. Karena memang faktanya Indonesia telah berjuang untuk mencapai kemerdekaan mereka. Di sisi lain, banyak sejarah telah dimanipulasi kebenaran dan telah dihilangkan, dan dimusnahkan sejarah-sejarah itu.
Legitimasi atau pengakuan internasional terhadap kemerdekaan Indonesia terjadi setelah Belanda mengakui kemerdekaan 𝐍𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚 𝐑𝐞𝐩𝐮𝐛𝐥𝐢𝐤 𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚 𝐒𝐞𝐫𝐢𝐤𝐚𝐭 27 Desember 1949 itu. Sebelum pengakuan Belanda itu, tidak ada negara mana pun mengakui kemerdekaan Indonesia secara resmi, kecuali Mesir menjadi negara satu-satunya di dunia. Indonesia memperoleh Legitimasi internasional 28 September 1950 melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 82. Pengakuan resmi internasional itu dapat diperoleh karena Indonesia telah memproklasikan kemerdekaan dan membentuk pemerintahan de-facto yang dipimpin oleh Presiden Ir. Soekarno dan wakilnya Mohammad Hatta. Tanpa melalui proklamasi kemerdekaan dan pemerintahan de-facto itu, dunia internasional tidak pernah mengakui kemerdekaan Indonesia secara resmi. Karena itulah Belanda menjajah Indonesia 350 tahun. Jadi, deklarasi kemerdekaan dan pemerintahan adalah kunci menujuk pengakuan internasional secara resmi tentang eksistensi sebuah negara bangsa.
𝟑. 𝐏𝐞𝐫𝐣𝐮𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐩𝐮𝐚 𝐝𝐚𝐧 𝐒𝐢𝐤𝐚𝐩 𝐈𝐧𝐭𝐞𝐫𝐧𝐚𝐬𝐢𝐨𝐧𝐚𝐥
Dalam sejarah perjuangan Papua, manifesto pembentukan negara dimulai 1 Desember 1961 ditandai pembentukan Parlemen Papua (Nieuw Guinea Raad), partai politik, militer dan simbol-simbol negara bangsa. Pada 1 Desember itu dihadiri delegasi resmi pemerintah Australia, Inggris, Belanda dan Papua New Guinea (masih provinsi Australia) adalah pengakuan resmi secara de-facto dan de-jure. Pada 1 Desember itu dinilai tidak dibacakan manifesto kemerdekaan Papua, kemudian diproklamasikan di Victoria, pada 1 Juli 1971 oleh Zeth Japhet Rumkorem dan Jacob H. Prai. Saat itu pemerintahan Papua dibentuk, Rumkorem sebagai Presiden dan Jacob Prai selaku ketua Senat. Dengan perkembangan ini, pemerintah Senegal dan beberapa negara Afrika lain mendukung penuh dan mengakui perjuangan kemerdekaan Papua itu secara de-facto dan de-jure. Pemerintah Senegal telah memberikan gedung kantor kedutaan besar pertama, di mana kantor kedutaan itu dipimpin oleh tuan Tanggahma, ayah kandung dari Leonie Tanggahma di Belanda.
Setelah Vanuatu memperoleh kemerdekaan, mendukung perjuangan kemerdekaan Papua penuh dan secara konsisten sampai hari ini. Tetapi, tuan Tanggahma selaku Duta Besar OPM di Senegal saat itu tidak mampu mempertahankan dukungan itu, dan gagal total. Kemudian ia dan keluarganya pindah ke Belanda untuk menetap di sana, maka diplomasi OPM di Afrika telah berakhir. Dalam periode itu, para pemimpin tidak manfaatkan dukungan itu dengan baik, karena lebih mementingkan status dan jabatan mereka, dan menciptakan perpecahan internal dalam perjuangan.
Konsekuensinya adalah perjuangan Papua telah terpecah ke dalam faksi-faksi yang berbasis etnik dan geografis, baik dalam tubuh sayap militer, organisasi sipil dan diplomasi internasional. Sebagai konsekuensinya juga negara-negara pendukung itu pun telah menarik diri dari dukungan mereka terhadap kemerdekaan Papua. Hari ini sedang mengulangi kondisi masa lalu itu, di mana Jaringan Damai Papua (JDP), Octovianus Mote, Leonie Tanggahma dan kelompok mereka sedang berusaha menciptakan konflik internal dalam tubuh perjuangan ULMWP yang sudah mendapatkan dukungan internasional saat ini. Tentu saja, Leonie Tanggahma dan kelompok mereka sedang mengulangi kerusakan dan kegagalan diplomasi yang pernah dilakukan oleh ayahnya di Senegal saat itu.
Seiring dengan reformasi Indonesia, masa bangsa Papua bangkit dan menuntut kemerdekaan mereka, maka lahir wadah persatuan Forum Rekonsiliasi Rakyat Irian Jaya (FORERI) yang dipimpin Willy Mandowen, kemudian lahirnya Tim 100 bertemu dengan Presiden Gusdur, Musyawarah Besar Papua (MUBES), dan Kongres Papua II. Melalui ketiga pertemuan itu dibentuklah Presidium Dewan Papua (PDP) dan Panel Papua untuk tingkat Kabupaten Kota. Di sini PDP lalai dan tidak menggunakan momentum itu. Ada empat hal PDP lalai,yakni:
(1). Presidium tidak proklamasi kemerdekaan Papua (rehabilitasi) yang sudah dilakukan 1 Juli 1971 oleh Zeth J. Rumkorem dan Jacob Prai di Victoria itu:
(2). Presidium tidak deklarasikan manifesto pemerintahan Negara West Papua.
(3). Presidium Dewan Papua masih bertahan dan puas dengan status Dewan atau Legislatif itu, tanpa pemerintahan berkuasa.
(4). Presidium tidak melakukan diplomasi Internasional untuk mendapat dukungan dan pengakuan internasional.
Berdasarkan empat hal itu dapat menunjukkan Presidium Dewan Papua (PDP) masih ragu-ragu, dan tidak serius dalam memperjuangkan kemerdekaan Papua. Konsekuensi logis dari ketidak seriusan itu maka perjuangan kemerdekaan Papua sangat sulit untuk mendapatkan dukungan dan pengakuan internasional. Di mana para pemimpin presidium ditangkap, dihukum dan dipenjarahkan, ketua Presidium They H. Eluay diculik dan dibunuh, wakilnya Thom Beonal menjadi salah satu wakil Presiden PT. Freeport.
Kondisi itu dimanfaatkan kelompok elit lokal Papua untuk meloloskan agenda mereka mengenai Otonomi Khusus (Otsus) Papua tahun 2001, setelah Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) Theys H. Eluay diculik dan dibunuh dibawah pemerintahan Presiden Megawati.
Sejak tahun 2019, setelah rasisme di Surabaya dan protes massa secara besar-besaran di seluruh tanah Papua, kelompok-kelompok elit yang pernah meloloskan Otsus Papua tahun 2001 itu kembali mulai melakukan konsolidasi, dan mendorong agenda dialog Jakarta-Papua untuk meloloskan Otonomi Khusus Papua Jilid II. Kita lihat kelompok-kelompok ini mulai membangun wacana publik dengan memanfaatkan isu rasisme untuk mendorong agenda mereka. Ada Yoris Raweyai, Fredy Numberi, Michael Manufandu, Rektor Universitas Cenderawasih sekarang, dan kelompok Jaringan Damai Papua (JDP). Kelompok-kelompok pro Indonesia ini terlihat mulai konsolidasi diri dengan berbagai kegiatan seminar, pertemuan, kunjungan, bentuk deck Papua di MPR-RI, siaran di televisi, dan berbagai media lain.
Buchtar Tabuni, deklarator dan Wakil Ketua II Legislatif ULMWP telah mengumumkan bahwa Yoris Raweyai dan Yan P. Mandenas telah mengunjungi mereka, 7 tahanan Politik di Balikpapan. Buchtar mengatakan: “dalam dua Minggu ini kami 7 Tapol Papua di rutan Balik Papan di kunjungi oleh anggota DPD RI, Yoris Raweyai 17 Juni 2020, dan Anggota DPR RI, Yan Mandenas 24 Juni 2020 di Rutan kelas II B Balik Papan. Dalam kunjungan tersebut ada dua hal dibicarakan yakni nasib adik-adik mahasiswa yang di tahan di seluruh Indonesia karena demo penolakan ujaran Rasis terhadap Mahasiswa Papua di Surabaya oleh oknum TNI, Polri kolonial Indonesia dan ormas Reaksioner Nusantara di Surabaya, Jawa Timur”.
Gerakan kelompok pro Indonesia ini bukan hal yang baru, mereka sudah pernah melakukan hal yang sama pada tahun 1998-2001 untuk meloloskan agenda Otonomi Khusus Papua. Kini mereka melakukan metode yang sama untuk meloloskan agenda yang sama dikemas dalam dialog Jakarta-Papua. Metode ini juga telah dilakukan oleh FORERI dan Fredy Numberi dengan bentuk tim 100 bertemu Presiden Abdur Rahmad Wahid, atau Gusdur di Jakarta. Kini mereka mengulangi metode yang sama untuk melumpuhkan dan menghancurkan ULMWP yang telah mendapat dukungan internasional hari ini.
Strategi kelompok ini harus benar-benar diawasi, dipantau dan diwaspadai, rakyat Papua harus mengambil sikap tegas dan tidak kompromi dengan kelompok pro Indonesia ini.
𝟒. 𝐏𝐞𝐧𝐠𝐚𝐤𝐮𝐚𝐧 𝐈𝐧𝐭𝐞𝐫𝐧𝐚𝐬𝐢𝐨𝐧𝐚𝐥 𝐓𝐞𝐫𝐡𝐚𝐝𝐚𝐩 𝐔𝐋𝐌𝐖𝐏
Telah dibahas dalam dua artikel sebelumya, “𝐋𝐞𝐠𝐢𝐭𝐢𝐦𝐚𝐬𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐏𝐞𝐧𝐠𝐚𝐤𝐮𝐚𝐧 𝐭𝐞𝐫𝐡𝐚𝐝𝐚𝐩 𝐔𝐋𝐌𝐖𝐏”
https://www.tabloid-wani.com, dan “𝐏𝐨𝐬𝐢𝐬𝐢 𝐔𝐋𝐌𝐖𝐏 𝐝𝐚𝐧 𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚 𝐬𝐞𝐭𝐚𝐫𝐚 𝐝𝐢 𝐦𝐚𝐭𝐚 𝐈𝐧𝐭𝐞𝐫𝐧𝐚𝐬𝐢𝐨𝐧𝐚𝐥”,
https://www.law-justice.co bahwa perjuangan bangsa Papua melalui lembaga politik resmi orang Papua itu telah mendapatkan dukungan dan pengakuan yang kuat dari 79 negara anggota African, Caribbean and Pacific Islands (ACP). Ini merupakan dukungan yang fantastik dan spektakuler dalam sejarah perjuangan bangsa Papua 50 tahun terakhir ini. Dukungan tersebut merupakan dukungan tiga kawasan yang menjadi block sendiri di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Selain dukungan 79 negara itu, perjuangan bangsa Papua melalui ULMWP juga telah mendapat dukungan dari Dewan Gereja-Gereja Pasifik, Konferensi Keuskupan-Keuskupan Pasifik, dan Dewan Gereja-Gereja Dunia, berbagai anggota Parlemen lintas negara tergabung dalam 𝑰𝒏𝒕𝒆𝒓𝒏𝒂𝒕𝒊𝒐𝒏𝒂𝒍 𝑷𝒂𝒓𝒍𝒆𝒎𝒆𝒏𝒕𝒂𝒓𝒊𝒂𝒏𝒔 𝒇𝒐𝒓 𝑾𝒆𝒔𝒕 𝑷𝒂𝒑𝒖𝒂 (𝑰𝑷𝑾𝑷), dan 𝑰𝒏𝒕𝒆𝒓𝒏𝒂𝒕𝒊𝒐𝒏𝒂𝒍 𝑳𝒂𝒘𝒚𝒆𝒓𝒔 𝒇𝒐𝒓 𝑾𝒆𝒔𝒕 𝑷𝒂𝒑𝒖𝒂 (𝑰𝑳𝑾𝑷), Akademisi, dan berbagai NGO tak terhitung di seluruh dunia.
Republik Vanuatu resmi telah mengakui dan menyerahkan tanah dan kantor kedutaan bessar Papua pertama paska penutupan kantor OPM di Senegal. Vanuatu secara resmi telah menjadi sponsor utama untuk kemerdekaan bangsa Papua melalui ULMWP sekarang. Diterimanya ULMWP dengan status Obsever dalam organisasi sub Regional Melanesia, 𝑴𝒆𝒍𝒂𝒏𝒆𝒔𝒊𝒂𝒏 𝑺𝒑𝒆𝒂𝒓𝒉𝒆𝒆𝒂𝒅 𝑮𝒓𝒐𝒖𝒑 (𝑴𝑺𝑮), menjadi satu babak baru diplomasi bangsa Papua. Papua dan Indonesia sama-sama diakui sebagai dua entitas negara berbeda dan berkonflik.
Pengakuan MSG mengenai ULMWP itu merupakan kekalahan diplomasi bagi pemerintah Indonesia. Meski Indonesia tahu atas pengakuan itu, tetapi Indonesia masih melakukan diplomasi dengan pendekatan ekonomi untuk mengimbangi wacana publik Indonesia dan stabilitas di tanah Papua. Puncak dari kekalahan diplomasi politik itu jatuh pada 16 Agustus 2019 di Tuvalu dalam pertemuan Forum Pacific Islands (PIF), di mana 18 negara anggota PIF secara resmi adopsi resolusi West Papua yang diajukan Pemerintah Vanuatu dengan ULMWP. Dengan diadopsinya resolusi itu, diplomasi Indonesia di Pasifik sudah selesai dengan kekalahan, sementara itu diplomasi ULMWP di Pasifik selesai dengan kemenangan.
Tahun 2019 adalah tahun kemenangan perjuangan West Papua dengan mendapat dukungan internasional dari negara-negara anggota ACP itu. Bulan Februari 2019, pemimpin kemerdekaan West Papua, Tuan
Benny Wenda berhasil memenangkan dukungan dari negara-negara Afrika di Togo dalam pertemuan 𝒕𝒉𝒆 𝑨𝒇𝒓𝒊𝒄𝒂𝒏 𝑼𝒏𝒊𝒐𝒏. Dukungan yang sama juga dirai dalam 𝑭𝒐𝒓𝒖𝒎 𝑵𝒆𝒈𝒂𝒓𝒂-𝑵𝒆𝒈𝒂𝒓𝒂 𝑲𝒂𝒓𝒊𝒃𝒊𝒂𝒏 beberapa minggu kemudian, setelah dukungan regional baik di Pasifik, Karian dan Afrika dipastikan, maka Agustus-November 2019 Duta Besar John Litt dan ULMWP melakukan lobi kepada forum ACP di Brussel. Kemudian tahap finalisasi pemerintah Vanuatu dan ULMWP mengajukan resolusi yang sudah diadopsi 18 negara Pasifik tersebut dalam pertemuan ACP pada 5-7 Desember 2019 dalam pertemuan tingkat menteri, dan pada 8-10 Desember 2019 tingkat kepala negara, di Nairobi Republik Kenya. Dengan suara bulat 100% 79 negara anggota ACP mengadopsi Resolusi West Papua yang diajukan Vanuatu dan ULMWP.
𝟓. 𝐊𝐞𝐬𝐚𝐦𝐚𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐏𝐞𝐫𝐛𝐞𝐝𝐚𝐚𝐧 𝐚𝐧𝐭𝐚𝐫𝐚 𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚, 𝐝𝐚𝐧 𝐖𝐞𝐬𝐭 𝐏𝐚𝐩𝐮𝐚
Telah dijelaskan di atas bahwa sebelum manifesto kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, tidak ada satu negara pun yang mendukung dan mengakui perjuangan kemerrdekaan Indonesia. Meski pun perjuangan Indonesia sudah lebih dari 350 tahun melawan kolonial Belanda, Inggris hingga Jepang, numun para pejuang Indonesia secara cerdik telah memanfaatkan momentum serangan bom atom di Hirisina dan Nakasaki, 5 dan 9 Agustus 1945, berbeda dengan Papua. Sejak 1 Desember 1961 telah mendapat pengakuan secara de-facto oleh pemerintah Inggris, Australia, Belanda dan Provinsi Australia di Papua New Guinea. Tetapi, negara West Papua tersebut diinvasi dan dicaplok oleh Indonesia atas dukungan Amerika Serikat untuk merebut kekayaan alam Papua.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 – 27 Desember 1949, perjuangan kemerdekaan Indonesia mendapat dukungan resmi oleh satu negara yaitu Mesir, dan empat negara lain Australia, India, Balestina dan Vatikan telah mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia, tetapi belum dapat mengakui kemerdekaan secara de-facto dan de-jure.
Berbeda dengan perjuangan West Papua, paska proklamasi 1 Juli 1971 di Vicktoria, dukungan resmi Senegal tidak dimanfaatkan baik dan telah gagal, sedangkan dukungan Vanuatu masih eksis sampai hari ini. Paska pembentukan ULMWP, perjuangan bangsa Papua telah mendapat dukungan resmi oleh Vanuatu dan empat negara Melanesia ditandai dengan menerima ULMWP dengan status observer di MSG, dan resolusi West Papua diadopsi secara resmi oleh 18 negara Pasifik, dan 79 negara anggota ACP.
Dengan demikian perbedaan sangat besar, di mana Indonesia didukung hanya oleh 5 negara paska proklamasi 17 Agustus 1945, sedangkan perjuangan kemerdekaan West Papua didukung oleh 79 negara tahun 2019 kemarin hingga saat ini.
Indonesia dengan modal dukungan 5 negara itu, telah proklamasikan dan dibentuk pemerintahannya, dengan status itu mendesak Belanda untuk melakukan perundingan, dan mencari dukungan internasional. Akhirnya, Belanda setuju melakukan perundingan antara dua negara, pemerintah Belanda dengan pemerintah Indonesia dipimpin Soekarno dan Hatta. Perundingan itu disebut Konferensi Meja Bundar digelar 23 Agustus sampai 2 November 1949 di Den Haag, Belanda, dan 27 Desember 1949 Belanda mengakui 𝐊𝐞𝐦𝐞𝐫𝐝𝐞𝐤𝐚𝐚𝐧 𝐍𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚 𝐑𝐞𝐩𝐮𝐛𝐥𝐢𝐤 𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚 𝐒𝐞𝐫𝐢𝐤𝐚𝐭 (𝐑𝐈𝐒).
Berbeda dengan perjuangan bangsa Papua yang sudah mendapat dukungan 79 negara ACP, mereka mengakui ULMWP sebagai lembaga politik resmi bangsa Papua. Tetapi, ULMWP masih bersifat organisasi meskipun dalam periode kedua ini sudah berjalan dengan status politiknya berasas trias politika atau semi pemerintahan yang terdiri dari: Legislatif, Eksekutif dan Judikatif. Meski ULMWP menjalankan fungsi trias politika atau semi pemerintahan, tetapi masih belum menjadi status Pemerintahan penuh secara de-facto dan de-jure. Hal ini menjadi agenda mendesak para pemimpin bangsa kami untuk segera dipikirkan. Selama status ULMWP belum tranformasi menjadi pemerintahan West Papua, Indonesia masih mengkategorikan ULMWP sebagai Organisasi Politik. Bila statusnya sebagai organisasi politik kapan saja bisa bubar dan sulit mendapat pengakuan resmi dari negara lain secara de-facto dan juga de-jure. Karena negara-negara mereka akan melihat statusnya masih sebagai organisasi dan bukan pemerintahan.
Paska perundingan pemerintah Belanda dan pemerintah Indonesia, barulah masalah Indonesia dibawa ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan 28 September 1950 negara Indonesia dapat pengakuan melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 82. Di sini menjadi jelas bahwa Belanda bersedia melakukan perunding dengan Indonesia karena Indonesia telah mengumumkan pemerintahannya. Berbeda dengan ULMWP dengan status organisasi politik tetapi telah mendapatkan pengakuan resmi dari 79 negara ACP. Apalagi, status ULMWP berubah menjadi status pemerintahan West Papua, saya yakin dengan perubahan status itu Papua mendapat dukungan yang lebih luas lagi.
Hingga tahun 2020 ini, Belanda tidak mengakui de-jure proklamasi 17 Agustus 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Belanda hanya mengakui de-facto dan de-jure adalah Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) 27 Desember 1949, maka manifesto 17 Agustus 1945 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bagi Belanda tidak sah dan ilegal. Akan tetapi, pemerintah Indonesia mengkaim proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah sah karena ada landasan hukum internasional tentang penentuan nasib sendiri negara-negara dari kekuasaan kolonial.
Kondisi ini sama dengan perjuangan Bangsa Papua dan ULMWP di mata Indonesia saat ini. Pemerintah Indonesia tidak mengakui ULMWP sebagai organisasi politik, dan distigmatisasi dengan sebutan separatis dan musuh negara. Pandangan seperti ini biasa, karena kemerdekaan Indonesia sendiri tidak diakui dan dianggap ilegal oleh Belanda. Jadi itu hal yang biasa bagi kolonial di mana pun di dunia.
Di sisi lain, pemerintah Indonesia telah mengakui ULMWP karena delegasi Indonesia dan ULMWP duduk sama-sama di MSG, dan PIF. Presiden Jokowi pernah mengatakan bersedia bertemu dengan pemimpin ULMWP untuk melakukan dialog konstruktif, karena itu ketua ULMWP Benny Wenda mengajukan 6 syarat yang harus dipenuhi Indonesia sebelum melakukan tawaran yang dimaksud Jokowi. Pernyataan Presiden Jokowi adalah salah satu bentuk pengakuan terhadap ULMWP sebagai entitas negara bangsa masih eksis. Dengan demikian, pembentukan pemerintahan West Papua mempunyai dasar hukum internasional yang kuat, dukungan 79 negara ACP sebagai negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) sudah menjadi sangat kuat untuk mendeklarasikan pemerintahan West Papua.
𝟔. 𝐔𝐋𝐌𝐖𝐏 𝐌𝐞𝐧𝐮𝐣𝐮 𝐒𝐭𝐚𝐭𝐮𝐬 𝐏𝐞𝐦𝐞𝐫𝐢𝐧𝐭𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐖𝐞𝐬𝐭 𝐏𝐚𝐩𝐮𝐚
Berdasarkan realita sejarah politik di atas, status United Liberation Moverment for West Papua (ULMWP) menjalankan Trias Politika sudah waktunya untuk berubah menjadi “𝐏𝐞𝐦𝐞𝐫𝐢𝐧𝐚𝐭𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐖𝐞𝐬𝐭 𝐏𝐚𝐩𝐮𝐚” karena perjuangan bangsa Papua sudah dapat diakui oleh 79 negara secara resmi. Perjuangan kemerdekaan Papua juga sudah diakui oleh Dewan Gereja Pasifik, Konferensi Keuskupan Pasifik, Dewan Gereja-Gereja Dunia, dan anggota-anggota Parlemen lintas partai politik dan lintas negara. Bila dikalkulasi persentasi dari 193 negara anggota PBB, maka 79 negara ACP yang adalah anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), maka presentasenya adalah 40,9% negara anggota PBB mendukung perjuangan kemerdekaan West Papua. Oleh karena itu, Pemerintahan West Papua sangatlah penting dan mendesak karena beberapa alasan berikut ini:
(1). Perjuangan kemerdekaan Papua sudah mendapat dukungan resmi dari 79 negara merdeka dan berdaulat.
(2). Untuk menunjukkan keseriusan kepada negara-negara pendukung kemerdekaan West Papua.
(3). Meningkatkan posisi tawar terhadap negara-negara lain di dunia internasional dalam menggalang diplomasi internasional.
(4). Meningkatkan posisi menuju perundingan damai antar dua pemerintah – pemerintah Indonesia dan pemerintah West Papua – untuk menyelesaikan status Papua di forum-forum internasional dalam pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa secara damai, berkeadilan dan bermartabat.
(5). Pemerintah West Papua sebagai pemerintah berkuasa atas bangsa dan territorial West Papua merepresentasi negaranya untuk membawa masalah Papua ke Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan mengajukan gugatan ke makamah Internasional.
(6). Pemerintahan West Papua secara politik dan hukum siap mengambil alih adminitrasi negara melalui proses Perserikatan Bangsa-Bangsa secara damai menuju pemerintahan definitif dan kedaulatan penuh Negara West Papua.
Dalam memenuhi tujuan-tujuan politik di atas, 𝐓𝐡𝐞 𝐔𝐧𝐢𝐭𝐞𝐝 𝐋𝐢𝐛𝐞𝐫𝐚𝐭𝐢𝐨𝐧 𝐌𝐨𝐯𝐞𝐫𝐦𝐞𝐧𝐭 𝐟𝐨𝐫 𝐖𝐞𝐬𝐭 𝐏𝐚𝐩𝐮𝐚 (𝐔𝐋𝐌𝐖𝐏) sudah waktunya dan harus berubah status menjadi Pemerintahan West Papua. Karena itu, bangsa West Papua sudah waktunya untuk bersatu dan mendukung penuh perubahan status lembaga Politik bangsa Papua ini.
Bangsa Papua sudah harus bersatu, kuat, dan tegas menolak agenda dialog Jakarta-Papua, dan agenda Otonomi Khusus Jilid II yang sedang didorong kelompok pro-Indonesia.
Mari kita bersatu dan sambut:
𝐔𝐋𝐌𝐖𝐏 𝐦𝐞𝐧𝐮𝐣𝐮 𝐏𝐞𝐦𝐞𝐫𝐢𝐧𝐭𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐖𝐞𝐬𝐭 𝐏𝐚𝐩𝐮𝐚!
𝐔𝐋𝐌𝐖𝐏 𝐀𝐃𝐀𝐋𝐀𝐇 𝐊𝐈𝐓𝐀 - 𝐃𝐀𝐍 𝐊𝐈𝐓𝐀 𝐀𝐃𝐀𝐋𝐀𝐇 𝐔𝐋𝐌𝐖𝐏
#BravoULMWP #WestPapua #NegaraWestPapua #RepublicOfWestPapua #FreeWestPapua #PapuaMerdeka