Di sudut Pasar Lama Sentani, di antara debu jalan dan terik matahari, berdirilah seorang mama tua—Mama Yohana. Kulitnya legam terbakar waktu, tangannya kasar oleh lumpur sagu dan getah ubi. Setiap pagi, ia memikul harapan di atas kepalanya: seikat sayur, sekeranjang ubi, batang singkong, daun keladi, dan sagu dari hutan. Bukan sekadar barang dagangan, tapi bukti cinta yang diam-diam, tulus, dan tanpa syarat—semuanya demi satu orang: anak lelakinya, Aldo, yang kini mendekam di balik jeruji besi Lapas Narkotika Doyo Lama.
Semuanya bermula dari sebuah telepon singkat.
“Mama, kalau bisa mama tolong kirim uang sedikit. Sa pigi bayar utang, dan beli lauk makan…”
Hanya itu yang Aldo katakan. Tapi Mama tahu, kalau utang di dalam lapas bisa jadi persoalan besar. Jadi tanpa pikir panjang, Mama jual apa yang bisa dijual. Kadang laku, kadang tidak. Kadang pulang dengan kantong kosong dan mata basah. Tapi semua dilakukan demi satu hal—melihat senyum anaknya yang ia cintai.
Setiap minggu, Mama Yohana datang mengunjungi Aldo. Kadang dengan pinjaman dari tetangga, kadang dari hasil jualan seadanya. Tapi tak semua kunjungan membawa haru. Ada hari ketika Mama datang, dan Aldo muncul dengan mata merah dan langkah goyah—baru saja pakai ganja bersama teman-temannya. Mama hanya bisa menatap, tanpa kata, tanpa caci. Hatinya hanya berdoa.
Waktu berjalan.
Doa Mama tak pernah putus.
Sampai satu hari—Aldo dinyatakan bebas.
Hari itu, rumah kecil di pinggiran Danau Sentani dipenuhi aroma masakan dan suara tangis haru. Keluarga menyambutnya.
“Aldo, ini waktu untuk pulihkan nama baik keluarga. Jaga mama baik-baik,” begitu pesan mama.
Aldo tersenyum, dan Mama merasa harapannya kembali hidup.
Namun, kebebasan itu hanya bertahan sebentar. Tak lama, Aldo kembali terjerumus ke dalam lingkaran gelap: narkoba, teman-teman lama, dan kebohongan. Dan di tengah semuanya, datang kenyataan pahit—walaupun Aldo sudah bebas satu tahun, masa hukumannya secara hukum ternyata belum sepenuhnya selesai. Ia dipanggil kembali masuk ke dalam lapas untuk menjalani sisa hukuman.
Itu jadi pukulan telak bagi Aldo.
“Sa baru mo mulai hidup baik, tapi harus masuk ulang...” katanya lirih.
Stres dan rasa putus asa menghantam pikirannya. Rasa gagal, malu, dan kecewa membuatnya kembali memakai narkoba. Sementara itu, tubuhnya makin lemah karena HIV yang dideritanya. Batinnya dihantui rasa bersalah yang belum sempat ditebus.
Sekali lagi, Aldo kembali ke dalam penjara. Tapi kali ini bukan hanya jeruji besi yang mengikatnya, tapi juga tubuhnya sendiri yang sedang menyerah. Di ruang sakit lapas, Aldo terbaring lemah. Pihak lapas sudah berusaha semampu mereka: pengobatan, pendampingan, bahkan dukungan rohani diberikan. Tapi takdir berkata lain.
Suatu pagi yang dingin di Doyo, saat embun belum mengering di dedaunan, suara alam seolah ikut diam.
Aldo menghembuskan napas terakhirnya di balik terali besi, dalam sunyi ruang sakit lapas.
Beberapa hari sebelumnya, dengan suara pelan dan mata berkaca, ia sempat berkata:
“Mama… maaf…”
--- Pesan Moral dan Motivasi:
Kisah Aldo adalah gambaran nyata tentang bagaimana satu keputusan buruk bisa menghancurkan harapan. Tapi ini juga tentang cinta seorang ibu—yang tak pernah berhenti, bahkan saat anaknya mengecewakan. Mama Yohana berdiri di pasar, menantang rasa malu dan lapar, hanya demi melihat senyum anaknya. Tapi anak itu, lebih memilih ganja daripada doa mamanya.
Untuk para anak muda:
Jangan sia-siakan air mata orang tua. Setiap keringat dan kerja keras mereka adalah bukti cinta. Jangan balas pengorbanan itu dengan kebohongan, apalagi kehancuran. Hidupmu bukan hanya milikmu—ada keluarga yang menaruh harap.
Untuk para orang tua:
Kasihmu tidak pernah sia-sia, bahkan bila anakmu gagal. Tuhan melihat setiap langkah dan doa yang engkau naikkan dalam diam. Dalam cinta yang tak bersyarat, engkau sedang menjadi cermin kasih Allah sendiri.
Untuk siapa saja yang pernah masuk dalam jeruji penjara:
Kalau sudah bebas—jangan kembali ke tempat yang sama.
Bebas bukan hanya berarti keluar dari tembok penjara, tapi juga keluar dari pola pikir dan gaya hidup lama yang menghancurkan. Jangan kecewakan orang-orang yang menunggu, berdoa, dan berkorban di luar sana.
Karena ketika engkau kembali ke kegelapan yang sama, bukan hanya hidupmu yang hancur, tapi juga hati orang-orang yang mencintaimu.
Dan untuk siapa saja yang merasa hidupnya hancur:
Masih ada waktu. Selagi engkau masih hidup, masih ada kesempatan untuk berubah. Jangan tunggu sampai hidupmu hanya tinggal penyesalan di balik jeruji dan penyakit. Tuhan tidak menutup jalan pulang.
---Aldo, anak lapas Doyo, memang telah pergi. Tapi kisahnya tinggal menjadi suara peringatan—bahwa cinta mama itu kudus, dan kehidupan terlalu berharga untuk dibuang hanya demi sesaat kesenangan.
No comments:
Post a Comment