Saturday, January 11, 2025

Socrates: Saya tidak bisa mengajari seseorang apa pun

Pernyataan Socrates, “Saya tidak bisa mengajari seseorang apa pun. Saya hanya dapat membuat mereka berpikir,” mencerminkan inti dari metode filsafatnya yang dikenal sebagai Metode Socratic atau dialektika. Berikut adalah penjelasan dari pernyataan ini:

1. Pendidikan sebagai Proses Pemahaman Diri
 • Socrates percaya bahwa pengetahuan sejati tidak dapat ditanamkan dari luar. Sebaliknya, ia harus muncul dari dalam diri seseorang melalui refleksi dan pencarian kebenaran.
 • Dalam pandangannya, tugas seorang guru atau filsuf bukanlah memberikan jawaban, tetapi membantu orang menemukan jawaban sendiri dengan berpikir kritis.

2. Metode Socratic
 • Socrates menggunakan metode tanya jawab yang mendalam untuk memandu orang mengevaluasi asumsi mereka, mengungkap kontradiksi, dan akhirnya mencapai wawasan baru.
 • Dengan cara ini, ia tidak “mengajari” dalam arti tradisional, tetapi memfasilitasi proses berpikir sehingga seseorang menemukan kebenaran secara mandiri.

3. Penekanan pada Otonomi Berpikir
 • Pernyataan ini juga menekankan pentingnya kemandirian intelektual. Menurut Socrates, hanya dengan berpikir secara mandiri, seseorang dapat mencapai kebijaksanaan sejati.
 • Pengetahuan yang dipaksakan dari luar tidak akan menghasilkan pemahaman mendalam atau perubahan yang bermakna.

4. Relevansi dalam Pendidikan Modern
 • Pendekatan ini sangat relevan dalam pendidikan saat ini, di mana guru diharapkan menjadi fasilitator yang mendorong siswa berpikir kritis, bukan sekadar memberikan informasi.
 • Fokusnya adalah pada pembelajaran aktif, di mana siswa memainkan peran utama dalam mengeksplorasi dan memahami ide-ide.

Kesimpulan

Socrates mengajarkan bahwa tujuan pendidikan adalah menumbuhkan kemampuan berpikir kritis dan reflektif. Dengan “membuat orang berpikir,” ia mengingatkan kita bahwa kebijaksanaan sejati tidak dapat diberikan, tetapi harus ditemukan melalui usaha dan perenungan pribadi.

Sunday, January 5, 2025

Kolonialisme dan Pemberian Nama Peta Asing kepada Peta Asli

Pegunungan Koiali yang oleh kolonial Eropa mengubah nama menjadi pegunungan Owen Stanley (titik merah dalam peta), di gunung ini sebuah tempat bernama Haganumu adalah situs sejarah paling penting suku-suku yang mendiami di tiga Provinsi, Sentral Province, Oro Province dan Melne Bay Provonce. Suku-suku ini mengakui leluhur mereka keluar dari dalam tanah melalui sebuah lubang gua di gunung ini, tempat itu disebut Haganumu. Dari tempat inilah mereka menyebar ke berbagai tempat dan terbentuk menjadi klan, sub suku dan suku yang mendiami di wilayah tersebut. Studi arkeologi yang melakukan penggalian di sebuah tempat sebagai kampung tua yang pernah mendiami orang Papua, setelah migrasi dari puncak gunung, membuktikan bahwa di kampung tersebut telah dihuni 35.000 tahun lalu. 

 Mengambil patokan dari itu, kampung-kampung di wilayah pegunungan tersebut telah dihuni 50.000 hingga 60.000 tahun lalu atau lebih jauh dari itu. Sementara itu, suku-suku di Teluk Papua, muara sungai Fly, Selat Torres dan pantai Australia (lingkaran merah) ini mengakui leluhur mereka bermigrasi dari dataran tinggi Papua (Pegunungan Tengah Papua). 

Berbagai studi arkeologi membuktikan penduduk di wilayah ini bermigrasi dari dataran tinggi 300 tahun lalu, mereka turun mengikuti sungai Fly, Sungai Purari dan Tauri hingga mencapai pantai. Lebih 50.000 tahun lalu orang Papua dan orang Aborigin pisah, namun hubungan genetik mereka masih ditemukan hingga sekarang. 

Sebuah studi genetik yang dilakukan dengan sampel Aborigin di Australia dan sampel orang Papua di PNG seperti suku Daga di ujung selatan PNG membuktikan 47% kesamaan genetik antara Papua dan Aborigin.

Dr Ibrahim Peyon: Kritikan Teorerisi Melanesia atas Teori-teori Barat tentang Melanesia

Seorang Antropolog yang berasal dari Papua New Guinea, bernama Warilea Iamo Kritik seorang Antropolog besar bernama Margaret Mead yang menulis tentang Pasifik. Margeret Mead dalam buku-buku tentang Samoa, Manus dan Papua New Guinea, menulis orang Pasifik dalam distriminasi rasial yang kental. Margaret tidak sendirian, tetapi sebagian antropolog aliran Boasian seperti ruth Benedict, Kroebert dan beberapa lain. Antropologi Fungsionalisme  Inggris Bronislaw Malinoswki juga telah membantu kolonial untuk kekuasaan kolonialisme di Pasifik. Karena itu, Derek Freedom kritik keras terhadap Margaret Mead, Ruth Benedict dan Franz Boas yang dinilai teori mereka sebagai ideologi politik, dan mengabaikan prinsip-prinsip ilmiah. 

Dalam konteks ini, Warilea Iamo menulis sebagai beriku:  "saya telah mencoba untuk menunjukkan bahwa pengetahuan adalah bagian yang rumit dari kekuasaan. Pengetahuan antropologis berarti mengetahui yang Lain. Mengetahui yang Lain adalah untuk menciptakan sejarah, politik, geografi, dan budaya seseorang, untuk menghapus kekuatan imajinasi, dan untuk membuat orang tersebut tergantung. Tetapi untuk mengetahui orang lain juga berarti menganggap diri kita bisa lebih memahami diri kita sendiri. Dengan demikian, sebuah diferensiasi dan dikotomi "kita" sebagai yang superior dan "mereka" sebagai yang inferior berkembang. Dan, untuk mengetahui yang Lain adalah untuk memiliki otoritas atas orang tersebut, untuk mewakili, dan memperbanyak orang itu. Proses semacam ini akan menimbulkan stigma, di mana orang pribumi tidak dilihat dalam haknya sendiri, tetapi lebih dilihat dari apa yang telah dibuat dari individu tersebut". 

Stigma Papua adalah sebuah argumen teoretis dari sudut pandang kita sebagai subjek antropologi dan juga para antropolog. Stigma ini melihat "penemuan" antropologis tentang orang dan budaya Papua oleh Margaret Mead, bahkan oleh para antropolog masa kini, sebagai kategori sosial representasi yang lebih tertanam dalam budaya Barat daripada gambaran yang sebenarnya dari orang-orang itu sendiri. Saya berargumen bahwa penemuan-penemuan ini bukanlah sekadar imajinasi, karena kini mereka menjadi bagian integral dari peradaban Barat dan dunia saling ketergantungan tempat kita hidup. Stigma Papua muncul dari antropologi komparatif, yang spesialisasinya adalah komponen peradaban manusia yang diberi label "primitif" dan mengandung berbagai tingkat sejarah, ekonomi, politik, agama, psikiatri, dan sebagainya. Ini adalah kerangka psikologis Barat untuk mempertahankan citra dirinya yang diproyeksikan sebagai yang "Lain," seseorang yang lebih rendah dan lebih sederhana, untuk mendefinisikan dirinya sendiri sebagai "lebih baik." Ini terutama benar, karena menurut Diamond (1974: 119), "tanpa model semacam itu, semakin sulit untuk mengevaluasi atau memahami patologi dan kemungkinan-kemungkinan kontemporer kita."  Karena itu, Jared Diamond dalam bukunya, The World Until Yesterday: What Can We Learn from Traditional Societies,  juga membandingkan korban dalam perang dunia II sebagai akibat dari Bom Atom di Hirisima dan Nakazaki, dengan perang suku dalam masyarakat Dani. Ia abndingkan secara presentasi korban dalam perang dunia II lebih kecil ketimbang korban dalam perang suku orang Dani. 

Pandangan mencerminkan ideologi politik Barat terhadap di luar mereka, skriminasi rasis dan ideologi politik dibangun atas nama ilmiah dan ilmu pengetahuan. Sejauh ini ilmuwan Papua, meskipun berbagai titel yang dimilikinya tetapi kami belum mampu melihat teori secara kritis dan ilmiah. kami belum bisa membela diri kami sendiri dari kekuasaan pengetahuan barat yang menindas dan merendahkan martabat kemanusiaan sejati dan kesetaraan manusia.

Dr Ibrahim Peyon tentanf Dasar Teori Pembagian Wilayah Ada di West Papua

Dalam postingan saya beberapa waktu lalu bertanya tentang dasar akademik Peta 7 Wilayah adat di Papua. Meskipun peta ini katanya dibuat oleh beberapa pihak termasuk antropologi uncen, SIL, Dewan Kesenian Papua dan DAP. Tetapi, sejauh ini belum ada kajian ilmiah tentang peta 7 wilayah adat ini. Di jurusan kami, di antropologi Uncen ada gantung peta ini di ruang dosen dan beberapa kali dalam rapat jurusan kami, saya bertanya dasar akademik peta tersebut dan saya mengatakan peta ini tidak layak tempel di sini. Karena tidak bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Beberapa kali dosen-dosen dari Indonesia dan juga luar negeri yang datang, sempat bertanya tentang peta itu, tetapi secara akademik kami tidak bisa menjelaskan. 

Dengan itu, saya berpikir, sebagai seorang antropolog dan akademik, tidak bertanggung jawab jika hanya kritik, tanpa berbuat sesuatu tentang soal itu. Kemudian saya putuskan bahwa perlu kajian ilmiah secara mendalam tentang Wilayah Kebudayaan di Melanesia. Saya mulai meneliti Manusia dan kebudayaan suku-suku di Melanesia selama 3 tahun sejak 2022 hingga 2024, dan akhir tahun 2024 telah berhasil selesaikan kajian itu dengan menghasilkan sebuah buku yang berjudul 
"Distribusi Manusia dan Budaya: Isu-Isu Ras, Etnik dan Kultur Area". Dengan metode kerja lapangan, dan studi literatur lebih dari 2. 000 buku. Dalam buku ini saya telah identifikasi dan menetapkan 26 Kultur Area, mulai dari Fiji hingga ke Raja Ampat. Sebanyak 26 Kultur Area di Melanesia itu ditentukan dengan kriteria akademik yang sangat mendasar dan secara keseluruhnya 10 kriteria, misalnya sejarah asal usul, organisasi sosial dan kekerabatan. Kriteria-kriteria itu dapat menentukan suku-suku mana diklasifikasi dalam kultur area mana. Dengan demikian, diharapkan kehadiran buku ini dapat memecahkan masalah perdebatan Kultur Area di Melanesia. Wilayah-wilayah tersebut saya bagi dalam dua kelompok besar, Kelompok tanah besar New Guinea dan kelompok kepulauan. Masing.masing dibahas dalam bab sendiri. Ada alasan ilmiah yang mendasari klasifikasi dalam dua kelompok besar ini. Selain itu, urutan atau penomoran juga dilakukan dengan alasan tertentu dan alasan itu akan dibahas dalam buku lain. Alasan penomoran ini ditentukan berdasarkan sejarah asal usul dan persebaran manusia di Pasifik, seperti pernah saya posting dalam sebuah deskripsi singkat dan peta persebaran manusia di alamat facebook saya. Karena penentuan nomor tidak berdasarkan pada deratan geografis dari timur ke barat dan dari barat ke timur, dan dari utara ke selatan atau sebaliknya.Tetapi, ada dasar yang paling mendasar tentang eksistensi manusia di Pulau besar ini dan persebarannya ke kawasan Pasifik dan Australia secara luas pada masa penciptaan dan setelahnya.

Saturday, January 4, 2025

Alberti Einstein's Humbleness Example

This is the face of the young man that silenced Albert Einstein and made him scratch his head contemplatively in front of a large audience.

This lanky young man with a bony face and a corn-silk hairstyle forced the famous Albert Einstein to have a second thought, and a minute later, he retracted an equation he had just finished presenting at a conference.

The year was 1930, and the event was a German Physical Society conference held in Leipzig. After the president of the association profoundly praised Einstein for his great speech to the thunderous applause, he asked if anyone in the audience had any questions. For a little while, silence seared across the hall. Who would dare to question Einstein, one of the world's most respected physicists?

A juvenile-like voice erupted from the last row of the room in a broken German language, spitting words that held the audience spellbound:

"What Professor Einstein said is not stupid, but the second equation he wrote does not follow from the first. In fact, it requires further assumptions that have not been made and, what is worse, it does not satisfy a criterion of invariance, as it should instead be". He echoed fearlessly.

All heads turned reflexively towards this bold, defiant voice that submerged everyone in disbelief, unable to contain their irrepressible astonishment in the engulfing noiselessness.

As they struggled to breathe under this bizarre sea of bafflement, wondering who that might be, Einstein was deeply lost in scrutinizing his said erroneous equation on the blackboard, almost transfixed by the new revelation, except for his hand, which was mechanically scratching his mustache.
After what appeared to be 60 seconds or so, Einstein turned around, admitting his mistake, and then said:

"The observation of that young man over there is perfectly correct. I therefore ask you to forget everything I have said to you today."

On that day, at that precise moment, destiny plucked that fearless young man of 22 years from obscurity and made him the leading theoretical physicist of the Soviet Union, arguably one of the greatest geniuses of all time to ever illuminate the rocky planet of Earth. That, that was Lev Davidovich Landau for you, ladies and gentlemen.

Similarly, on that day, Albert Einstein demonstrated the kind of unadulterated humility that genuine knowledge bestows on any vessel of flesh that houses it. True education humbles, not the other way around. 

Be humble.
Source: “The ABC's of Science” by Giuseppe Mussardo, 2020, Springer.

You must read this: https://golfvertex.com/angry-man-causes-plane-to-deplane-over-crying-baby/