Seorang pemuda kampung tiba di Paris dengan kantong kosong.
Dia anak bungsu dari 13 bersaudara.
Backgroundnya? Cuma seorang anak petani dari Swiss.
Namanya?
César Ritz.
Kekurangan membuatnya berjuang lebih keras dari yang lain.
Setiap hari, dia bangun paling pagi. Pulang paling malam.
Bukan karena dia suka kerja rodi. Tapi karena menurutnya setiap moment adalah kesempatan untuk mengobservasi.
Saat ngepel lantai, dia perhatiin sepatu tamu-tamunya. Mulai cara jalannya hingga merek yang di pake.
Kebiasaan melihat detail kecil ini yang nantinya jadi kunci kesuksesannya.
Saat beresin kamar, dia nyatet kebiasaan setiap tamu.
- Berapa bantal yang mereka pakai
- Di sisi mana mereka taruh barang
- Hingga jam berapa mereka biasa bangun
2 tahun kemudian, kerja kerasnya terbayar.
Dia dipercaya melayani para elit Paris di restoran Voisin.
Nah di sini, observasinya semakin dalam. Dia menyadari sesuatu yang akan mengubah hidupnya:
"Orang kaya bukan beli kamar atau makanan. Mereka beli MOMEN untuk dikenang seumur hidup"
Contohnya?
Saat Paris dikepung Prusia tahun 1870. Semua restoran tutup karena krisis makanan. Tapi Voisin? Tetap buka.
Menu spesialnya?
Daging gajah dari kebun binatang. Gila?
Memang.
Tapi tamu-tamu kaya rela bayar mahal.
Kenapa? Karena mereka beli cerita.
"Gue makan daging gajah lho pas Paris dikepung”.
Bukan makanannya yang penting. Tapi momennya.
Selama 27 tahun dia mempelajari setiap detail.
Selama 27 tahun dia membangun koneksi.
Selama 27 tahun dia menyempurnakan sistemnya.
Sampai akhirnya, tahun 1896. Dia siap dengan masterpiece nya:
The Hôtel Ritz di Place Vendôme.
Lokasinya tidak sembarangan.
Place Vendôme adalah jantungnya high society Paris.
Tempat bangsawan tinggal dan Tempat raja dan ratu belanja.
Tapi bukan cuma lokasinya yang bikin beda. Setiap detail di hotelnya ini punya cerita:
1/ Kamar mandi private di setiap kamar. "Bangsawan nggak berbagi kamar mandi"
2/ Listrik di semua lantai. "Lilin? Itu buat rakyat biasa"
3/ Telepon di setiap suite. "Layanan 24 jam, tanpa harus teriak "
4/ Kasur king size untuk semua tamu "Tidur itu seperti raja, bukan seperti pelayan"
Di era dimana hotel masih pake lilin dan kamar mandi sharing, ini sangat revolusioner.
Tapi inovasi terbesar nya? The Ultimate Influencer Strategy (jauhh sebelum istilah ini lahir)
Dia secara personal mengundang raja dan ratu. Bukan untuk uang mereka. Tapi untuk presence mereka.
Logikanya simple:
"Kalau raja tidur disini, siapa yang berani bilang ini bukan hotel terbaik?"
Strateginya berhasil melebihi ekspektasi.
Ernest Hemingway? "Membebaskan" bar hotel dari tangan Nazi pas PDII. Sambil minum dry martini tentunya hehe.
Coco Chanel? Bikin hotel ini rumah kedua selama 34 tahun. Suite 302 jadi saksi bisu banyak desain legendaris lahir.
Yang lebih jenius lagi? Ritz bukan cuma bikin hotel.
Dia menciptakan standard baru. "Ritz" jadi lebih dari sekedar nama.
Namanya digunakan untuk mendefinisikan kemewahan:
"Putting on the Ritz"
"Living the Ritzy life"
"That's too Ritzy"
Pelajaran paling berharga? Obsesi terhadap detail itu ternyata nggak pernah sia-sia.
Kata-kata yang pernah dia ucapin di hari pertama buka:
"The customer is always right"
Sekarang mungkin sudah klise. Tapi saat itu? Mindset yang revolusioner.
Anak petani yang dulu dibilang "nggak akan sukses" Sekarang namanya jadi standar kesempurnaan.
Lesson learned:
1/ Bikin kategori baru untuk mengalahkan kompetitor
- Tidak perlu selalu ikut pasar
- Ciptakan pasar baru
- Set standard baru
2/ Experience > Product
- Jual cerita, bukan produk (again)
- Ciptakan momen, bukan sekedar transaksi.
- Build legacy, bukan bisnis
3/ Network Effect
- Pilih circle dengan tepat
- Let others tell your story
- Ciptakan sesuatu yang layak dibicarakan
Source : ahmad Chaidir
No comments:
Post a Comment