Thursday, December 12, 2024

Politik Statistik Penduduk dan pembohongan Publik

Politik Statistik Penduduk adalah politik pembohongan. Saya melakukan penelitian etnografi di sejumlah Kabupaten di tanah Papua, seperti Jayapura, Jayawijaya, Yalimo, Tolikara, Yahukimo, Pegunungan Bintang, Mapi, Nabire, Biak, Sorong Selatan, Bintuni dan Asmat, dan bebepa yang lain, selama beberapa tahun. Saya menemukan satu pola yang sama, dimana jumlah penduduk dalam suatu kampung 50-300 juwa dan paling banyak 500 jiwa. Tetapi, data yang tertulis di kantor desa (kampung), kampung dengan 50 jiwa ditambahkan menjadi 200 orang, dan penduduk real 500 jiwa dalam suatu kampung ditambahkan menjadi 1000-2000 jiwa. Pada waktu saya bertanya kepada masyarakat dan kepala kampung, mereka mengemukan bahwa jumlah penduduk fiktif terdiri dari nama pohon, nama burung, nama hewan, nama sungai, nama gunung, dan termasuk nama orang yang sudah mati. Seperti dikemukakan oleh seorang informan di kampung Tomu di Bintuni, pada waktu saya bertanya, berapa anak-anak bapak, ia mengakui 12 orang anak, saya bertanya dimana mereka tinggal? ia mengatakan 6 anak tinggal bersama di rumahnya, dan anak lain tinggal di kampung sebelah. Saya tanya lagi, dimana kampung sebelah, ia mengatakan di kubukan karena mereka sudah meninggal. Tetapi, mereka masih masuk dalam jumlah keluarga kami. Termasuk juga nama-nama orang dari kampung itu yang tinggal di kota lain. 

Saya tanya lagi kepada mereka, mengapa kalian buat penduduk fiktif? Jawaban mereka bervariasi, antara lain: Kami tambah penduduk agar mendapatkan pemekaran desa, dan melalui pemekaran mengilir uang desa. Alasan lain, mereka didesak oleh Bupati dan pejabat Dinas kependuduk. Selain itu, ada jumlah penduduk fiktif banyak untuk kepentingan mendapatkan kursi DPRD dan politik PIKADA khusus Bupati. Ketika ditanya kepada pemerintah daerah, alasan mereka adalah di suatu kabupaten jumlah penduduknya banyak maka mendapatkan anggaran lebih banyak dari pusat. 

Jadi, para anggota Dewan, Bupati dan Gubernur yang terpilih di Papua ini mayoritas adalah suara fiktif, bukan suara manusia. Apabila pendata penduduk dilakukan dengan KTP Elekronik, jumlah penduduk real tiap Kabupaten di Papua ini sedikit, Kabupaten seperti Yalomo, Mamberamo Tengah, Asmat, Nduga, Bintuni, Kaimana mungkin 20-30 ribu jiwa, Kabupaten seperti Yahukimo, Tolikara, Puncak, mungkin sekitar 80-100 ribu jiwa.

Jadi hari ini orang konflik dimana-mana terkait pilkada untuk merebut suara-suara fiktif ini. Saya harap suatu saat negara menerapkan aturan pemilu yang tegas, bahwa semua orang yang ikut pemilu harus dibuktikan dengan E-KTP dan kartu keluarga.

Monday, December 9, 2024

ANALISIS BUKU: INDIGENOUS RESEARRCH METHODOLOGIES

Buku Indigenous Research Methodologies karya Bagele Chilisa memberikan kontribusi yang signifikan dalam pengembangan teori dan metodologi penelitian berbasis pengetahuan pribumi. Bagele Chilisa, seorang profesor di Universitas Botswana, sebagai bagian dari komunitas Afrika yang merasakan dampak kolonialisme, menawarkan perspektif kritis terhadap sistem pengetahuan Barat yang dominan. Selain pengalamannya dengan kolonialisme, Chilisa juga terpengaruh oleh berbagai teori dekolonial yang telah dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Linda Tuhiwai Smith, Franz Fanon, Edward Said, serta para feminis pascakolonial seperti Chandra Talpade Mohantan dan Margaret A. McLaren. Metodologi yang diusung Chilisa memiliki perbedaan signifikan dibandingkan dengan para penulis lain dalam bidang ini, menawarkan pendekatan yang lebih holistik dan berbasis pada pengakuan penuh terhadap sistem pengetahuan pribumi.

Secara keseluruhan, buku ini menyajikan sebuah paradigma baru dalam penelitian sosial, yang menempatkan pengetahuan pribumi sebagai pusat kajian, sekaligus mengkritisi dominasi paradigma penelitian Barat. Chilisa mengusulkan pentingnya dekolonisasi dalam metodologi penelitian, dan bagaimana cara-cara baru dalam merancang, melaksanakan, dan menginterpretasikan penelitian dapat memperkaya pengetahuan serta memberikan dampak positif bagi masyarakat. Setiap bab dalam buku ini menawarkan wawasan mendalam mengenai topik-topik penting yang sangat relevan bagi peneliti, akademisi, dan praktisi yang tertarik pada penelitian yang lebih adil, berkelanjutan, dan berbasis pada sistem pengetahuan yang beragam.

Bab-Bab Utama dalam Buku

Bab 1: Situating Knowledge Systems
Bab pertama membahas bagaimana pengetahuan Barat sering dianggap sebagai standar global, sementara pengetahuan pribumi sering diabaikan atau diremehkan. Chilisa menekankan bahwa pengetahuan tidak hanya berbasis fakta objektif, tetapi juga terkait erat dengan konteks sosial, budaya, dan historis. Bab ini mengajak pembaca untuk melihat pengetahuan dalam konteks yang lebih luas dan menghargai cara pandang yang berbeda terhadap realitas sosial dan alam semesta.

Bab 2: Research Paradigms
Bab ini membahas berbagai paradigma penelitian yang ada, seperti positivistik, interpretivistik, dan kritikal. Chilisa menyoroti pentingnya mengadaptasi paradigma penelitian agar mencerminkan keberagaman cara pandang terhadap pengetahuan dan kenyataan, serta bagaimana paradigma dominan sering mengabaikan perspektif komunitas pribumi.

Bab 3: Discovery and Recovery: Reading and Conducting Research Responsibly
Chilisa mengusulkan bahwa penelitian yang bertanggung jawab tidak hanya berfokus pada pencarian pengetahuan baru, tetapi juga pada pemulihan dan penghargaan terhadap pengetahuan yang ada dalam komunitas pribumi. Bab ini menekankan pentingnya mengembalikan pengetahuan yang sering kali diabaikan atau dihancurkan oleh sistem kolonial.

Bab 4: Whose Reality Counts? Research Methods in Question
Bab ini mengkritisi metode penelitian Barat yang sering dianggap objektif dan universal. Chilisa menunjukkan bagaimana metode ini sering mengabaikan perspektif dan realitas komunitas pribumi, serta mereduksi kedalaman pengetahuan yang ada dalam masyarakat mereka.

Bab 5: Postcolonial Indigenous Research Paradigms
Bab ini mengulas paradigma penelitian pascakolonial yang muncul dari pengalaman dan perjuangan masyarakat pribumi melawan penjajahan dan penindasan. Chilisa mengajukan teori-teori yang memperjuangkan kebebasan intelektual masyarakat pribumi dan bagaimana paradigma ini dapat menawarkan cara-cara baru untuk melakukan penelitian yang lebih adil dan setara.

Bab 6: Decolonizing Evaluation
Bab ini membahas pentingnya dekolonisasi dalam praktik evaluasi. Chilisa menekankan bahwa evaluasi tidak hanya dilihat sebagai alat ukur keberhasilan program, tetapi juga harus memperhatikan konteks sosial, budaya, dan politik yang unik dari komunitas pribumi. Evaluasi berbasis pengetahuan pribumi dapat menghasilkan temuan yang lebih relevan dan bermanfaat bagi komunitas tersebut.

Bab 7: Decolonizing Mixed Methods Research
Chilisa membahas penggunaan metode campuran dalam penelitian dekolonial. Ia menjelaskan bagaimana metode campuran bisa mengintegrasikan pengetahuan dan perspektif pribumi dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang lebih umum. Bab ini menekankan pentingnya fleksibilitas dalam merancang penelitian yang lebih sensitif terhadap konteks dan nilai-nilai komunitas pribumi.

Bab 8: Indigenous Mixed Methods in Program Evaluation
Bab ini memperkenalkan penerapan metode campuran dalam evaluasi program yang melibatkan komunitas pribumi. Chilisa menjelaskan bagaimana pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang sensitif terhadap budaya dapat menciptakan evaluasi yang lebih adil dan bermanfaat bagi masyarakat.

Bab 9: Theorizing on Social Science Research Methods: Indigenous Perspectives
Bab ini menggali teori-teori dalam ilmu sosial dari perspektif pribumi. Chilisa mengkritisi teori-teori Barat yang sering tidak mampu menggambarkan realitas sosial dan budaya masyarakat pribumi. Ia mengajukan teori-teori alternatif yang lebih inklusif dan menghargai keberagaman cara pandang terhadap pengetahuan.

Bab 10: Culturally Responsive Indigenous Research Methodologies
Chilisa mengusulkan metodologi penelitian yang responsif terhadap budaya dalam konteks penelitian pribumi. Bab ini menjelaskan bagaimana pendekatan metodologis yang menghargai nilai dan norma budaya dapat memperkuat relevansi dan keberlanjutan hasil penelitian.

Bab 11: Decolonizing the Interview Method
Pada bab ini, Chilisa mengkritisi metode wawancara tradisional yang sering kali digunakan dalam penelitian terhadap masyarakat pribumi. Ia mengusulkan pendekatan wawancara yang lebih sensitif terhadap konteks budaya dan sosial, serta menghargai dinamika kekuasaan dan hak-hak partisipan.

Bab 12: Participatory Research Methods
Bab ini membahas metodologi penelitian partisipatif yang menekankan keterlibatan langsung dan aktif dari masyarakat dalam setiap tahap penelitian. Chilisa mengusulkan agar partisipasi dijadikan prinsip dasar dalam penelitian, untuk menghasilkan hasil yang lebih relevan dan meningkatkan hak-hak masyarakat pribumi.

Bab 13: Postcolonial Indigenous Feminist Research Methodologies
Chilisa mengeksplorasi metodologi penelitian feminis pascakolonial yang dilihat dari perspektif pribumi. Bab ini menyoroti pengalaman perempuan pribumi yang sering terpinggirkan dalam narasi dominan dan pentingnya memberdayakan perempuan pribumi serta membongkar struktur kekuasaan yang menindas mereka.

Bab 14: Building Partnerships and Integrating Knowledge Systems
Bab terakhir membahas pentingnya membangun kemitraan yang saling menghormati antara peneliti, akademisi, dan komunitas pribumi. Chilisa menekankan pentingnya mengintegrasikan sistem pengetahuan yang berbeda secara setara dan tanpa dominasi, dengan dasar prinsip saling menghargai, keadilan, dan dekolonisasi.

Kelebihan Buku

Buku ini menawarkan berbagai kelebihan yang menjadikannya sumber penting dalam kajian metodologi penelitian, khususnya yang berfokus pada pendekatan berbasis komunitas dan dekolonisasi. Salah satu kelebihan utamanya adalah kemampuannya untuk memberikan wawasan yang mendalam mengenai pentingnya menghargai sistem pengetahuan pribumi dalam penelitian sosial. Chilisa secara efektif mengkritisi dominasi paradigma Barat dalam penelitian, mengajak pembaca untuk mempertanyakan cara-cara penelitian yang sering mengabaikan nilai budaya, tradisi, dan cara hidup masyarakat pribumi. Selain itu, buku ini menawarkan beragam pendekatan metodologis yang sensitif terhadap konteks sosial dan budaya lokal, seperti metode campuran, wawancara dekolonial, dan penelitian partisipatif, yang sangat relevan bagi peneliti, akademisi, dan praktisi yang ingin mengembangkan penelitian yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Kelemahan Buku

Meskipun buku ini menawarkan panduan yang sangat berharga, terdapat beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan. Salah satu kekurangan utama adalah bahwa buku ini lebih banyak membahas teori dan konsep-konsep besar dalam dekolonisasi metodologi tanpa memberikan banyak contoh konkret atau studi kasus yang memadai. Hal ini dapat menyulitkan pembaca, terutama yang berasal dari latar belakang non-pribumi atau yang baru memasuki bidang ini, dalam mengaplikasikan teori tersebut dalam praktik nyata. Selain itu, meskipun buku ini sangat kritis terhadap paradigma Barat, beberapa pembaca mungkin merasa bahwa pendekatannya terlalu fokus pada kritik terhadap sistem yang ada tanpa memberikan penjelasan yang lebih rinci mengenai bagaimana sistem pengetahuan pribumi bisa diintegrasikan dengan lebih praktis dalam sistem akademik atau penelitian yang lebih luas.

Kesimpulan

Buku Indigenous Research Methodologies oleh Bagele Chilisa memberikan wawasan yang sangat berharga mengenai bagaimana penelitian harus didekolonisasi untuk lebih menghargai dan melibatkan sistem pengetahuan pribumi. Chilisa mengajak pembaca untuk mempertanyakan asumsi-asumsi dominan dalam metodologi penelitian Barat dan menawarkan alternatif yang lebih inklusif, adil, dan berorientasi pada keadilan sosial. Dengan menggali berbagai paradigma dan metodologi penelitian yang sensitif terhadap konteks budaya dan sejarah masyarakat pribumi, buku ini memberikan panduan bagi peneliti untuk melaksanakan penelitian yang lebih etis, responsif, dan bermanfaat bagi komunitas yang terlibat.

Sunday, November 24, 2024

Sungai Rirum - Tempat sejarah suku-suku di sekitar Huon dan tempat asal usul buah merah

Sungai Rirum. Tempat sejarah suku-suku di sekitar Huon dan tempat asal usul buah merah di wilayah ini. Dalam bahasa Rirum buah merah disebut sirun danwam. Dalam budaya Yali bibit buah merah diberikan oleh roh bersama seorang gadis roh setelah seorang pria pergi ke dunia roh dan tumbuhan ditanam dan berbuah tetapi tidak menjadi merah. Sesuai janji seorang tua dari dunia roh merupakan ayah dari perempuan itu, sebuah tanaman itu berbuah jangan sentuh istrimu. Pria itu menaati perintah itu, hingga buah itu berbuah dan istrinya ambil menstruasinya dan buah itu berubah menjadi merah dan menghasilkan lemak merah (sak amuk). Dalam budaya suku-suku di Huon lemak merah keluar dari sebuah lubang batu, lubang batu itu berbentuk kelamin perempuan. Seorang pria pemilik lokasi itu menemukan dan menimpa lemak itu. Ini tersebar di seluruh Huon, Koroka, Hagen, dan Madang dan sekitarnya. Suatu hari seorang wanita lain mengambail lemah yang di simpan suaminya dan ditumpahkan maka mereka bertengkar. Semut merah (leng) makan lemak itu dan kejar hingga di lubang batu itu dan menghabisi semua lemak termasuk lubang dan tinding hingga masuk ke dalamnya. Perempuan batu pemilik lubang kelamin wanita itu merasa sakit karena kelaminnya hingga bagian dalam tubuhnya dimakan oleh semut merah. 

Suatu hari perempuan batu itu muncul dalam mimpi dan beritahu pria pemilik lokasi itu, bahwa lemak ini akan muncul dalam bentuk lain, sebuah jenis tumbuhan dan buahnya akan berubah menjadi merah. Lemak itu diambil dari buah tersebut dan dimakan. 

Keesokan harinya, dari lubang batu berbentuk vagina itu menghasilkan bibit jenis-jenis tumbuhan buah mereka dan tumbuh di sekitarnya. Pria pemilik lokasi itu mengambil bibit buah itu dan ditanam kemudian berkembang dan tersebar di seluruh sulu-suku di Papua New Guinea. 

Dalam budaya Yali semua jenis buah merah memiliki nama, demikian juga dalam budaya Rirun dan suku-suku di sekitarnya. 
Dalam bahasa Yali: Maling, leplep, anggiluk, heiba, wesi, wayo, punding, saluwan, olomuk, pangie, sinal, narikiak, elebet, olomuk, wesuhu, alambili, dll. Lebih dari 40 jenis buah merah dengan nama-namanya sendiri. 

Dalam budaya Rirun: somai, watawet kiris, watawet tafun, sapam, moar, wangum, garang guntib, giragajang, gumam, karang, fiman, sagatsang, unsit, sagakat dan banyak jenis lain.  

Sejarah asal usul buah merah dari kedua suku ini sama, pertama bibit buah merah diberikan oleh roh, kedua lemak buah berwarna merah berasal dari perempuan, ketiga dimasa lalu perempuan dilarang makan buah merah. Keempat tiap jenis buah merah memiliki nama sendiri.

If someone dislikes you without saying it, they’ll usually display these 10 subtle behaviors

There’s a stark contrast between someone openly expressing their dislike for you and those who keep it under wraps.
Silent disapproval can be harder to detect, but it’s not impossible.

You see, people who don’t like you, yet choose not to voice it out, often display certain subtle behaviors. These signs are not as obvious as direct confrontation, but with a keen eye, you can spot them.

In this article, I’m going to reveal these 10 subtle behaviors typically exhibited by those who may not be your biggest fans.

Let’s get started.

1) They avoid eye contact
It’s a universal human behavior – when we like someone, we often seek eye contact. It’s a non-verbal way of connecting and expressing interest.

But what happens when someone doesn’t like you? They’ll usually do the opposite.

The avoidance of eye contact can be a subtle sign that someone isn’t too fond of you. It’s as if they’re trying to disconnect, to create a barrier between you and them.

Of course, this isn’t a guaranteed sign of dislike – some people may avoid eye contact out of shyness or social anxiety. However, if someone consistently avoids meeting your eyes, especially in a one-on-one setting, it could indicate that they’re not your biggest fan.

2) They’re consistently short with you
We’ve all had those moments where we’re short with someone because we’re having a bad day or we’re in a rush.

But when it becomes a consistent behavior, it might be a sign of something more.

This reminds me of a co-worker I used to have. We’ll call him Gary. Whenever I’d ask Gary a question or try to engage him in conversation, his responses were always clipped and short. It was almost as if he was trying to end the conversation as quickly as possible.

At first, I thought he was just a busy guy. But then I noticed that he was much more expansive and friendly with other colleagues. That’s when it hit me – Gary’s curt behavior wasn’t because he was busy, it was because he didn’t like me.

3) Their body language is closed off
Body language is a powerful communicator, often revealing more about our feelings than our words do.

When someone is open to us, they tend to have an open posture. They face us directly, their arms are relaxed, and they may lean in slightly when we’re speaking.

On the flip side, if someone dislikes you, their body language may tell the tale. They might cross their arms or legs, turn their body away from you, or lean back when you’re talking.

Psychologists have found that up to 93% of communication effectiveness is determined by non-verbal cues, including body language. Paying attention to how someone positions themselves around you can provide valuable insight into their feelings towards you. If they’re consistently closed off in their posture, it might be that they’re not too keen on you.

4) They rarely initiate contact
It’s normal for friendships and relationships to have an ebb and flow when it comes to initiating contact. Sometimes you’ll reach out more, sometimes they will.

However, if you notice that you’re always the one initiating contact – be it a conversation, a text message, or a get-together – it might be a sign that the other person isn’t as invested in your relationship as you are.

Someone who likes you will show interest in your life and will want to engage with you. If they’re not doing this, their lack of initiation could be a subtle sign of their disinterest or dislike.

Relationships are a two-way street. If you feel like you’re driving alone on it, it might be time to reconsider the relationship.

5) They never seem to be available
Life can get busy, and we all have times when our schedules are packed. But, if someone constantly claims to be too busy to spend time with you, it might be a sign they’re not overly fond of your company.

If a person likes you, they’ll make an effort to include you in their life, regardless of how busy they are. But if they’re always too busy for you, or consistently cancelling plans at the last minute, it could be a subtle sign of their dislike.

Pay attention to the patterns. If someone’s calendar never seems to have room for you, it might not be their schedule that’s the problem – it could be their feelings towards you.
6) They never share personal information
When we like someone, we naturally want to open up to them. We share our dreams, our fears, our joys and our sorrows. It’s how we connect and build trust.

However, if someone consistently keeps things surface level and never delves into personal territory, it might be a sign that they’re not comfortable around you or don’t trust you enough to open up.

It can be hard to accept this, especially if you’ve shared your own personal stories and feelings. You might feel vulnerable and rejected. But remember, everyone has their reasons for their behavior, and it might have nothing to do with you personally.

Hold your head high, keep being open and genuine, and know that the right people will value and appreciate your honesty.

7) They rarely engage in small talk
Small talk might seem insignificant, but it actually plays a crucial role in human communication. It helps us establish common ground, build rapport and trust, and ease into deeper conversations.

In a previous job, I had a colleague who would always bypass small talk with me. While she would happily chat about the weather or weekend plans with others, our interactions were always strictly business. It felt like there was a wall between us that I just couldn’t break down.

Eventually, I realized that her lack of small talk wasn’t due to a lack of things to say, but rather a lack of interest in creating a closer connection with me.


If someone consistently skips the small talk with you while engaging in it with others, it could be a subtle sign that they don’t like you.

8) They’re overly polite
Politeness is generally seen as a positive trait, and it’s often appreciated in social interactions. However, when it’s excessive, it can actually be a sign of discomfort or dislike.

When someone truly likes you, they tend to relax around you. They’ll be comfortable joking with you, teasing you lightly, or occasionally showing their less-than-perfect side.

But if someone is always on their best behavior around you, never stepping out of the bounds of formal politeness, it might mean they’re keeping you at arm’s length. They might be trying to create a barrier of politeness to avoid getting closer to you.

While politeness is generally a good thing, too much of it can sometimes indicate the opposite of friendliness.

9) They don’t remember details about you
When someone likes you, they pay attention to you. They remember little details about your life – like your favorite book, the name of your pet, or the story you told about your last vacation. These details matter because they show that the person is genuinely interested in you.

However, if someone continually forgets things you’ve shared or doesn’t seem to retain details about your life, it could be a sign they’re not particularly fond of you.

It can be disheartening to realize that someone isn’t taking an interest in your life, especially if you’ve shown interest in theirs. But remember, it’s a reflection on them, not you. You are worth knowing and remembering

10) They often seem distracted around you
Our attention is one of the most precious gifts we can give to someone. When we genuinely like someone, we naturally want to give them our full attention.

However, if someone continually seems distracted when they’re with you – constantly checking their phone, looking around, or seeming preoccupied – it could be a sign they’re not enjoying your company.

Paying attention to someone is a form of respect and interest. If that’s missing, it could indicate a lack of liking. So always remember, you’re deserving of someone’s full attention. Don’t settle for less.

Final thoughts: It’s not about you
Navigating the subtleties of human behavior can be akin to deciphering a complex puzzle. But the key to understanding these subtle cues lies in empathy and self-awareness.

If you observe these signs in someone’s behavior towards you, it’s essential to remember that it often says more about them than it does about you. Their reactions could be influenced by their past experiences, insecurities, or personal issues.

Psychoanalyst Carl Jung once said, “Everything that irritates us about others can lead us to an understanding of ourselves.” This perspective invites us to view these situations as opportunities for self-reflection and growth.

So, if you find yourself on the receiving end of these subtle signs of dislike, try not to take it personally. Instead, use it as a chance to learn, grow, and navigate your relationships with more wisdom and understanding. Remember, your worth is not defined by how others see you but by how you see yourself.

Friday, November 22, 2024

"Pria Hanya Memperbaiki Wanita yang Mereka Cintai” – Kebenaran yang Buruk

Dengarkan, kawan. Jika Anda membiarkan seorang wanita berputar ke dalam kekacauan tanpa melangkah masuk, Anda tidak mencintainya—Anda hanya bermain bersama untuk kenyamanan Anda sendiri. Cinta sejati bukan tentang penerimaan pasif; ini tentang meningkatkan, membuatnya bertanggung jawab, dan membimbingnya untuk menjadi diri terbaiknya. Jika Anda tidak bisa melakukan itu, Anda takut atau tidak tertarik pada masa depannya.

Seorang pria yang tidak memiliki rencana jangka panjang untuk seorang wanita akan membiarkan dia "melakukan apa pun." "Dia akan membiarkan dia berpakaian setengah telanjang, merokok, minum sembrono, dan bertindak liar karena dia tidak peduli tentang masa depannya—dia hanya ada di sana untuk sensasi jangka pendek. Dia tidak berinvestasi padanya sebagai mitra; dia mengeksploitasi dia. Dan bagian terburuknya? Banyak wanita lebih suka ini. Mereka menganggap diamnya sebagai cinta, tidak menyadari bahwa seorang pria yang tidak memperbaikinya tidak menghormati mereka.

Bandingkan ini dengan pria yang benar-benar mencintai seorang wanita. Dia tidak akan duduk dan membiarkannya menghancurkan dirinya sendiri. Dia akan menceritakan kebenaran yang sulit, bahkan jika itu menyengat. Jika dia berpakaian tidak tepat atau terlibat dalam kebiasaan merusak diri sendiri, dia akan menghadapinya karena dia peduli. Dia tidak mengendalikannya—dia melindunginya. Cinta sejati melibatkan disiplin dan koreksi karena ia melihat potensi dirinya dan ingin membangun masa depan bersama.

Tapi inilah masalahnya: banyak wanita tidak dapat mengatasi koreksi. Mereka lebih suka menyerap emosi mereka, mengeluh kepada teman-teman, dan mendengar kebohongan seperti, "Kamu layak mendapatkan yang lebih baik, sayang. "Mereka membingungkan bimbingan dengan kontrol, menolak orang-orang yang cukup peduli untuk meminta pertanggungjawaban mereka. Sementara itu, mereka berpegangan pada pria yang membiarkan mereka melakukan apa pun yang mereka inginkan—pria yang tidak peduli dengan masa depan mereka. Lingkaran dapat diprediksi, dan hasilnya selalu sama: penyesalan.

Teman-teman, berhenti memungkinkan kekacauan. Jika seorang wanita menolak koreksi, dia tidak sepadan dengan waktumu. Seorang wanita yang benar-benar menghargai Anda akan menghormati bimbingan Anda, bukan membencinya. Koreksi bukan tentang kontrol—itu adalah tindakan cinta. Jika kamu mencintainya, kamu ingin dia menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri. Tetapi jika dia tidak dapat menangani akuntabilitas, dia belum siap untuk hubungan yang nyata.

Dan wanita, pahami ini: pria yang mengkoreksi Anda bukanlah musuhmu—dia adalah sekutu Anda. Pria yang tetap diam tidak peduli padamu; dia hanya menghabiskan waktu. Orang yang memanggilmu keluar adalah berinvestasi di masa depanmu. Jangan menyalahartikan disiplinnya dengan kritik. Dia membangunmu, bukan menghancurkanmu.

Intinya? Cinta sejati bukan tentang membiarkan seseorang "melakukan apa pun yang mereka inginkan. "Ini tentang menetapkan standar, saling bertanggung jawab, dan membangun masa depan yang solid bersama. Jika kamu tidak mau memperbaiki wanita yang bersamamu, kamu tidak benar-benar mencintainya. Dan jika dia tidak dapat menangani koreksi, dia juga tidak mencintai atau menghormati Anda.

Tetaplah kuat, tetaplah tajam, dan tuntut pertanggung jawaban dalam setiap hubungan. Seorang wanita yang layak dijaga akan menghargai bimbingan Anda dan menghormati kepemimpinan Anda. Apa pun yang kurang adalah buang-buang waktu.

Aklahyel Goni

Share FB.

@pengikut 
@sorotan 
semua orang

Friday, November 15, 2024

Pria ini bukan pengemis atau gelandangan

Ini Leo Tolstoy seorang novelis dan filsuf Rusia, yang paling dikenal karena novel-novelnya "War and Peace" dan "Anna Karenina". Dia dianggap sebagai salah satu penulis terhebat sepanjang masa dan tokoh kunci dalam gerakan realis dalam literatur.

Dia menjual semua yang dia miliki untuk tunawisma untuk memiliki rumah dan pengemis untuk memiliki makanan.

Tolstoy lahir pada 9 September 1828, di Rusia dan meninggal pada 20 November 1910. Tulisan beliau sering mengeksplorasi tema moralitas, etika, dan kondisi manusia, dan karya-karya beliau masih banyak dibaca dan dipelajari hingga kini.

Beberapa kutipan terkenalnya meliputi:
“Jangan ceritakan tentang agama mu kepadaku, izinkan aku melihat agama mu dalam tindakan mu”

"Jika kamu merasakan sakit. Kau masih hidup. Tapi, jika kamu merasakan sakit orang lain, kamu manusia"

Warisan Tolstoy melampaui literatur juga. Dia juga seorang filsuf dan reformis sosial, dan gagasannya tentang perlawanan tanpa kekerasan dan kehidupan sederhana telah menginspirasi para pemimpin seperti Mahatma Gandhi dan Martin Luther King Jr.

Thursday, October 31, 2024

Mamaku adalah semuanya

Kamar pertamaku: Rahim Ibuku🤰🤰 
Restoran pertamaku: Payudara Ibuku💘 
Toilet pertamaku: 
Pangkuan ibuku😌 
Sekolah pertamaku: Ibuku
Dapurku: Ibuku😘😚 
Guru pertamaku: Ibuku✨💐 
Dokter pertamaku: Ibuku 
Teman pertamaku: Ibuku💞 
Termometer pertamaku: Jari Ibuku😌 
 Lemari pakaian pertamaku: Ibuku💕 
Kendaraan pertamaku: Punggung Ibuku.😍🕊️ 
Tuhan memberkati ibu 🙏😌😘❤️😊 
 Jangan mempermainkan Perempuan Kita. Sebab mereka adalah Malaikat Surga untuk anak-anaknya. Cintai dan Hormati Ibu❤

Wednesday, October 30, 2024

Arti dan Makna "The Melanesian Way"


Oleh Yikwanak Kole,

"The Melanesian Way" mengacu pada praktik budaya, tradisi dan nilai-nilai yang telah diturunkan melalui generasi di pulau Pasifik Melanesia. Cara hidup ini sangat berakar dalam adat dan kepercayaan dari berbagai budaya Melanesia, termasuk orang Papua New Guinea, Fiji, Vanuatu, Kepulauan Solomon, dan Caledonia Baru.

Salah satu aspek utama dari "The Melanesian Way" adalah pentingnya masyarakat dan interkoneksi. Dalam masyarakat Melanesia, individu diharapkan mengutamakan kelompok atas keinginan atau kebutuhan mereka sendiri. Rasa mengumakan kebersamaan ini tercermin dalam keputusan cara dibuat dalam komunitas, dengan konsensus dan harmoni diprioritaskan atas pendapat individu.

Sebagai contoh, dalam banyak budaya Melanesia, keputusan dilakukan melalui proses konsultasi dan diskusi yang melibatkan semua anggota masyarakat. Hal ini memastikan bahwa semua orang memiliki suara dalam proses pengambilan keputusan dan keputusan itu tercapai secara kolektif, daripada tersirat oleh sosok otoritas tunggal.

Aspek penting lain dari "The Melanesian Way" adalah nilai yang ditempatkan sehubungan dengan orang tua dan pengetahuan tradisional. Orang tua di masyarakat Melanesia sangat dihormati untuk kebijaksanaan dan pengalaman mereka, dan bimbingan mereka sering dicari dalam hal penting. Praktik tradisional, ritual, dan adat juga meningkat dan diwariskan  ke  generasi sebagai cara menjaga warisan budaya dan identitas.

Globalisasi memiliki dampak signifikan pada praktik tradisional Melanesia dan cara hidup. Sebagai pengaruh Barat dan modernisasi telah menyebar di seluruh wilayah, ada tantangan untuk pelestarian adat dan nilai tradisional. Beberapa komunitas Melanesia telah menghadapi tekanan untuk beradaptasi dengan cara hidup Barat, menyebabkan hilangnya identitas budaya dan tradisi.

Meskipun tantangan ini, ada juga kesempatan untuk budaya Melanesia  beradaptasi dan berkembang dalam menanggapi globalisasi. Banyak komunitas menemukan cara untuk mengintegrasikan praktik tradisional dengan teknologi modern dan ide-ide, menciptakan campuran unik antara lama dan baru. Dengan memerangi keanekaragaman dan kekayaan budaya Melanesia, kita dapat belajar menghargai dan menghormati cara hidup yang unik yang Cara Melanesia yang kita warisi saat ini.

Monday, October 28, 2024

KEKERABATAN DASAR STATUS KEASLIAN ORANG PAPUA

Orang Papua pro kontra status, orang asli Papua dan bukan asli Papua. Dasar yang menentukan status ini adalah sistem kekerabatan suku-suku asli di Papua. Hal lain seperti Hukum adat, politik, perkawinan, dll itu turunan dari sistem kekerabatan, bukan dasar utama. Perkawinan itu sendiri terikat pada tipe kekerabatan dan prinsip keturunan. 

Sistem kekerabatan menjadi dasar untuk menentukan status keaslian, dalam sistem kekerabatan itu bicara tentang tipe kekerabatan, hubungan genealogis, dan prinsip keturunan. Tiga hal ini menjadi dasarnya. Tipe kekerabatan, ada empat tipe di Papua: Model Omaha, Hawaian, Iroquois, dan Iroquois-Hawaian (nama-nama suku-suku Indian Amerika ini digunakan karena pertama kali tipe-tipe kekerabatan itu ditemukan oleh Morgan di suku-suku itu). Model Omaha itu tegas patrilineal maka tidak ada kompromi. Sedang Hawaian, Iroquois, dan Iroquois-Hawaian mayoritas patrilineal, tetapi ada kemungkinan ambilineal bersyarat. Tipe Crow tidak ada di Papua, karena tipe Crow menentukan prinsip Matrilineal, yang mengizinkan anak-anak bisa mengikuti keturunan ibu dan mendapatkan hak warisan tanah. Tipe Crow dengan prinsip Matrilineal ini hanya ada beberapa suku di Bougainville, Salomon, Vanuatu dan Trobriand.

Jadi, Hawaian, Iroquois, dan Iroquois-Hawaian di Papua adalah mayoritas prinsip keturunan Patrilineal, tetapi dapat memungkinkan ambilineal secara terbatas pada suatu tempat dan waktu tertentu. Artinya, prinsip ambilineal ini memungkinkan anak perempuan dan sebagian keturunannya bisa mengikuti prinsip keturunan ibu dan mendapat warisan dari pihak ibu, tetapi terbatas hanya di tempat tertentu. Tidak mencakup seluruh wilayah suatu suku. Biasanya, dua atau tiga generasi kemudian, warisan tanah itu ditarik kembali bila tidak memenuhi kewajiban yang disyaratkan. Kewajibanya adalah selama masih menggunakan tanah itu diberikan kompenisasi kepada keturunan pihak ibu itu tanpa batas generasi (mirip kontrak tradisional). Jadi, prinsip ambilineal itu terikat oleh kewajiban tertentu. Maka sangat wajar, orang Papua pasti tidak setuju kalau orang-orang dari Ibu Papua dan bapak Non-Papua ambil kendali di tanah Papua ini. 

Tidak ada dasar atau alasan yang kuat bisa meyakinkan orang Papua soal ini, dasar satu-satunya adalah kekerabatan, khususnya tipe kekerabatan dan prinsip keturunan. Itu hukum alam. Prinsip keturunan itu ditentukan oleh tipe kekerabatan, tipe kekerabatan ditentukan oleh terminologi kekerabatan, dan terminologi kekerabatan itu juga menentukan posisi dan status anggota kerabat. 

Hubungan genealogi (misalnya kliam bahwa ada hubungan darah maka berhak) itu dapat ditentukan oleh kategori kekerabatan. Kategori kekerabatan ini memisahkan status, posisi, hak dan kewajiban. Kerabat mana berhak dan mana tidak. Dalam kategori kekerabatan, terminologinya dibedakan dari kerabat kolateral silang dan paralel, maka prinsip keturunan dan hak warisan tanah sudah pisah. Terminologi kategori kerabat kolateral sepupu silang itu beda dari sepupu paralel, maka status, posisi, hak dan kewajiabn sudah beda. Dia tidak bisa mendapatkan warisan dari pihak ibunya. Jadi, klaim hubungan darah ibu Papua itu tidak bisa diakui di sini.    

Sedang, anak angkat posisinya sangat terbatas, dan dia juga terikat pada kesetiaan dan kewiban kepada klen yang diangkatnya, dan sewaktu-waktu status anak angkatnya bisa dicabut.

Wednesday, October 23, 2024

LETTER FROM FREDERICK DOUGLASS TO HARRIET TUBMAN

Rochester, August 29, 1868

Dear Harriet,

I am glad to know that the story of your eventful life has been written by a kind lady, and that the same is soon to be published. You ask for what you do not need when you call upon me for a word of commendation. I need such words from you far more than you can need them from me, especially where your superior labors and devotion to the cause of the lately enslaved of our land are known as I know them.
The difference between us is very marked. Most that I have done and suffered in the service of our cause has been in public, and I have received much encouragement at every step of the way. You, on the other hand, have labored in a private way. I have wrought in the day – you in the night. I have had the applause of the crowd and the satisfaction that comes of being approved by the multitude, while the most that you have done has been witnessed by a few trembling, scarred, and foot-sore bondmen and women, whom you have led out of the house of bondage, and whose heartfelt, “God bless you,” has been your only reward.
The midnight sky and the silent stars have been the witnesses of your devotion to freedom and of your heroism. Excepting John Brown – of sacred memory – I know of no one who has willingly encountered more perils and hardships to serve our enslaved people than you have. Much that you have done would seem improbable to those who do not know you as I know you. It is to me a great pleasure and a great privilege to bear testimony for your character and your works, and to say to those to whom you may come, that I regard you in every way truthful and trustworthy.
Your friend,
Frederick Douglass.

Monday, October 21, 2024

Tiga Pilar dalam Konservesi Berbasis Masyarakat Adat di Melanesia


Di pulau-pulau yang subur Melanesia, pendekatan unik untuk konservasi telah berkembang selama berabad-abad - Konservasi Roh-Led. Di jantung upaya konservasi ini adalah tiga pilar yang saling berhubungan: hotspot roh, rumah api khusus dengan orang tua adat, dan hukum adat. Pilar ini membentuk hubungan simbiotik yang tidak hanya melestarikan keanekaragaman hayati tetapi juga melindungi pengetahuan tradisional dan memberdayakan masyarakat lokal.


Hotspot Roh adalah situs suci yang dipercaya untuk dihuni oleh roh-roh netral yang membimbing dan melindungi tanah. Situs-situs ini sangat penting untuk menjaga keseimbangan alam dan sering menjadi titik upaya konservasi di Melanesia. Rumah pemadam kebakaran khusus, yang dikenal sebagai bal koro di Fiji atau tambaran di Papua New Guinea, adalah tempat pertemuan tradisional di mana orang tua berkumpul untuk membahas masalah masyarakat, termasuk inisiatif konservasi. Orang tua ini, atau kustodian tanah, memainkan peran penting dalam menurunkan pengetahuan ekologis dan memberlakukan hukum adat yang mengatur aktivitas manusia di lingkungan.


Undang-undang ada satu set aturan dan peraturan yang mengatur interaksi antara manusia dan alam. Undang-undang ini didasarkan pada keyakinan dan praktik tradisional yang telah diturunkan melalui generasi. Mereka menentukan bagaimana sumber daya harus dikelola, dipanen, dan dilindungi untuk memastikan keberlanjutan ekosistem. Pelanggaran hukum ini dapat mengakibatkan konsekuensi spiritual, memperkuat hubungan antara praktik budaya dan kelayakan lingkungan.


Salah satu contoh Konservasi Roh-Led di Melanesia adalah Wilayah Manajemen Wildlife Tonda di Papua New Guinea. Di sini, orang tua adat bekerja sama dengan organisasi konservasi untuk melindungi beragam satwa liar dan ekosistem di wilayah ini. Dengan memberlakukan undang-undang adat dan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya melestarikan tanah ancestral mereka, masyarakat telah mampu mengurangi penebangan liar dan overfishing, yang menyebabkan kebangkitan hayati.


Studi kasus lain adalah Great Sea Reef di Fiji, di mana para pemimpin tradisional telah membangun kawasan perlindungan laut untuk menjaga terumbu karang dan kehidupan laut. Dengan mengintegrasikan hukum adat dengan praktik konservasi modern, mereka telah melihat peningkatan signifikan dalam populasi ikan dan pemulihan terumbu karang yang rusak. Keberhasilan ini tidak hanya menguntungkan lingkungan tetapi juga meningkatkan mata hidup lokal melalui praktik memancing berkelanjutan.


Pentingnya tiga pilar ini dalam melestarikan keanekaragaman hayati dan pengetahuan tradisional di Melanesia tidak bisa dibasahi. Dengan menghormati hubungan rohani ke tanah, terlibat dengan orang tua adat, dan menjunjung hukum adat, masyarakat dapat melindungi warisan alami mereka untuk generasi mendatang. Upaya konservasi ini tidak hanya berkontribusi terhadap keberlanjutan lingkungan tetapi juga mendorong rasa kebanggaan budaya dan pemberdayaan dalam masyarakat.


Ke depan, keberlanjutan Konservasi Roh-Led di Melanesia tergantung pada komitmen berkelanjutan masyarakat untuk menjunjungkan praktik tradisional mereka dan beradaptasi untuk mengubah tantangan lingkungan. Dengan mengintegrasikan pengetahuan asli dengan penelitian ilmiah modern, upaya konservasi ini memiliki potensi untuk melayani sebagai model untuk pendekatan holistik dan inklusif untuk manajemen lingkungan di seluruh dunia. Sebagai nanas dunia dengan mengurangi perubahan iklim dan kehilangan keanekaragaman hayati, pelajaran yang dipelajari dari upaya Konservasi Roh-Led Melanesia menawarkan beacon harapan untuk hubungan yang lebih harmonis antara manusia dan alam.

Sunday, September 29, 2024

Tindak Kekerasan Manusia terhadap Terobosan Ilmu Pengatahuan dalam Sejarah Manusia

Riwayat Martir di Dunia dan di Melanesia

Sangat menarik untuk kita simak dalam sejarah modern bahwa banyak ilmuwan yang mengemukakan pendapat atau teori yang bertentangan dengan apa yang dipandang umum mendapatkan tantangan tidak sedikit, sampai mereka dibakar hidup-hidup.

Dibandingkan dengan martir di Melanesia, kita lihat dalam bagian terakhir dalam tulisan ini bahwa fenomena yang kita alami di Melanesia ialah "pengabaian", "pelupaan" dan setelah itu di sisi lain mempromosikan gagasan-gagasan dari luar, yang bersifat menghancurkan orang Melanesia sendiri.

Secara umum masyarakat Melanesia dipandang sebagai masyarakat yang malas berpikir, masyarakat yang tidak rajin dalam menekuni berbagai pekerjaan, apalagi orang Melanesia tidak perlu banyak berpikir karena alam sekitar telah menyediakan berbagai hal kebutuhan sehari-hari secara melimpah. Akan tetapi kita tidak sadar bahwa dengan kehadiran teori "Survival of the Fittest", dan tekanan perubahan dari luar, maka sebenarnya eksistensi dan kehidupan orang Melanesia sebenarnya telah terancam dan akan terus terancam sampai berabad-abad mendatang.

Kalau kita baca gagasan para tokoh Melanesia yang telah dikemukakan selama ini, mereka bertujuan untuk menyelamatkan orang Melanesia, akan tetapi sayangnya telah lama diabaikan entah sengaja atau karena tidak paham.

Riwayat Manusia dan Tindak Kekerasan atas Terobosan Baru

Eksekusi Giordano Bruno, Jan Hus, William Tyndale, Jacques Delay, dan Girol Savonarola sangat digelar dengan konteks agama, politik, dan sosial zaman mereka. Setiap individu ini menantang otoritas dan kepercayaan yang ditetapkan, yang akhirnya menyebabkan nasib tragis mereka. Melalui ideologi dan tindakan mereka, mereka meninggalkan dampak abadi pada masyarakat dan terus diingat sebagai martir untuk kepercayaan mereka.


Giordano Bruno adalah filsuf Italia, ahli matematika, dan astronom yang tinggal pada akhir abad ke-16. Dia adalah koordinat proponent, yang menantang model geocentric dari alam semesta yang didukung oleh Gereja Katolik. Selain teori kosmeologi, Bruno juga mempertanyakan dogma tradisional Gereja dan dianjurkan untuk penafsiran yang lebih spiritual dari cosmos. Keyakinan ini membawanya ke konflik langsung dengan Akuisisi Romawi, dan ia akhirnya dituduh dari sinisy dan terbakar pada saham dalam 1600.


Jan Hus adalah imam Ceko dan reformer yang tinggal pada awal abad ke-15. Dia adalah kritikus vokal dari korupsi dan kecakapan Gereja Katolik, advokasi untuk kembali ke lebih sederhana, praktik Kristen yang lebih bergengsi. Hus juga mempertanyakan wewenang Paus dan keramahan yang dijual oleh Gereja. Ide-idenya mendapatkan popularitas di antara orang-orang Ceko, tetapi dia akhirnya dihukum sebagai loteng dan dibakar pada saham pada 1415 di Dewan Kekurangan.


William Tyndale adalah seorang sarjana Inggris dan teologi yang hidup selama awal abad ke-16. Dia adalah sosok utama dalam Reformasi Protestan dan yang paling dikenal untuk terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Inggris. Tyndale percaya bahwa setiap orang Kristen harus memiliki akses ke Kitab Suci dalam bahasa aslinya, daripada bergantung pada versi Vulgate Latin yang digunakan oleh Gereja Katolik. Pekerjaan terjemahannya dipandang sebagai tantangan langsung terhadap wewenang Gereja, dan dia ditangkap, mencoba untuk sinisy, dan dieksekusi oleh strangulation dan terbakar pada saham dalam 1536.



Jacques De Molay adalah Grand Master terakhir dari Knights Templar, pesanan militer Kristen yang kuat selama periode abad pertengahan. Pada awal abad ke-14, Raja Philip IV Perancis meluncurkan kampanye untuk menekan Templar, menuduh mereka dari sinisy dan korupsi. De Molay ditangkap, mencoba, dan akhirnya terbakar pada saham pada 1314. Eksekusinya menandai akhir Order Templar dan tetap menjadi simbol perjuangan daya antara raja dan lembaga agama selama Abad Pertengahan.


Girolamo Savonarola adalah friar Italia dan preacher yang tinggal pada akhir abad ke-15. Dia memperoleh fame di Florence untuk sermons fiery denouncing korupsi dan dekade dari kelas ruling kota. Savonarola disebut untuk kembali ke cara hidup yang lebih rohani dan moral, memimpin gerakan yang dikenal sebagai "Bonfire of Vanities" di mana benda sekuler dan tidak bermoral dibakar secara publik. Namun, kritik dan ambisi politik akhirnya menyebabkan kejatuhannya. Savonarola dikomunikasikan oleh Paus, ditangkap, dan dieksekusi dengan menggantung dan terbakar pada 1498.

Pelaksanaan Giordano Bruno, Jan Hus, William Tyndale, Jacques Delay, dan Girolamo Savonarola adalah peristiwa penting yang mencerminkan dinamika daya dan konflik periode historis masing-masing. Setiap individu ini menantang otoritas agama dan kepercayaan, mendorong batas-batas pemikiran dan tindakan yang dapat diterima. Kegigihan mereka dilayani sebagai kritik untuk pemformatika masa depan dan revolusioner, generasi yang menginspirasi untuk mempertanyakan otoritas dan mencari kebenaran dan keadilan.

Pembunuhan para parintis ini memiliki dampak mendalam pada masyarakat, baik pada saat kematian dan pada abad-abad yang diikuti. Kekukuhan mereka dalam menghadapi penganiayaan dan komitmen mereka yang tak berubah terhadap kepercayaan mereka telah meninggalkan warisan abadi yang terus memenangi orang di seluruh dunia. Melalui pengorbanan mereka, mereka menantang status quo, mendorong batas-batas pemikiran yang dapat diterima, dan membuka jalan untuk generasi mendatang untuk melanjutkan perjuangan kebebasan, keadilan, dan kebenaran.

Tantangan bari Terobosan Lanjutan dalam Kehidupan Manusia di Melanesia

Di kalangan Melanesia ada banyak terobosan telah dilakukan. Kebanyakan dalam sejarah Melanesia, para perintis tidak dibunuh, akan tetapi mereka diabaikan, dan dengan mengabaikan mereka, kita secara sadar ataupun tidak sadar, telah membunuh bibit-bibit warisan nenek-moyang kita yang seharusnya seharusnya bermanfaat, oleh karena orang Melanesia lebih merasa terhibur mengikuti jalan pikiran orang barat yang kelihatan indah, teratur baik dan menjanjikan.

Bernard Narakobi dan "The Melanesian Way"

Bernard Narakobi dan "The Melanesian Way" adalah contoh pertama yang kita perlu angkat. Kalau dilihat beliau adalah satu-satunya filusuf Melanesia yang sampai saat ini belum tergantikan. Pemikiran-pemikirannya tidak disambut secara antusias di dalam negara Papua Niugini. Walaupun beliau salah satu perancang fondasi negara itu, dan setelah kemerdekaan Papua Nugini beliau terlibat dalam berbagai kapasitas untuk memajukan banyak pemikirannya selama puluhan tahun. Akan tetapi akademisi dan politisi Papua New Guinea, karena diracuni oleh pemikiran dan teori-teori barat, entah sengaja atau karena kekurang-tahuan mereka, maka mereka telah mengabaikannya dan kini beliau tidak dihargai lagi sebagaimana seharusnya.

Father Walter Lini dan Melanesia Socialism


Father Walter Lini adalah pendiri dan proklamator Negara Republik Vanuatu. Beliau telah mencetuskan dan mempromosikan gagasan Melanesian Socialism.

Akan tetapi dalam perjalanan waktu tidak pernah ada seorang akademisi Melanesia atau Vanuatu yang mendalami dan mempromosikan gagasan ini. Malahan gagasan ini dilupakan atau dengan sengaja dikesampingkan dan disampahkan.

Sering disebut dalam even-even tertentu, akan tetapi tidak pernah dihargai dan dipaparkan sebagaimana seharusnya.

Kutipan terkenal Father Lini adalah 

"Vanuatu is not Free until Melanesia is free. Artinya: Vanuatu tidak merdeka sampai semua Melanesia merdeka".

Dr Thom W. Wainggai - Negara Papua Barat Melanesia

Dr. Thom Wainggai adalah seorang sarjana Papua Barat terkemuka, pemimpin politik dan budaya, filsuf, dan nasionalis. Ia memainkan peran penting dalam mengadvokasi penentuan nasib sendiri Papua Barat dan identitas Melanesia.

Ia adalah salah satu pemimpin Papua Barat yang disegani dan seorang advokat yang kuat untuk hak-hak orang Papua Barat.

Dr. Thom menekankan identitas Melanesia orang Papua Barat, menegaskan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri.

Mendeklarasikan Negara Melanesia: Pada tahun 1988, ia mendeklarasikan berdirinya Negara Melanesia di Jayapura, Papua Barat. Tindakan pembangkangan ini menantang kekuasaan Indonesia dan memicu perhatian internasional.

Dipenjara dan Diasingkan: Atas tindakannya, Dr. Thom dipenjara dan kemudian diasingkan dari Papua Barat. Meskipun menghadapi penganiayaan, ia terus berjuang untuk kemerdekaan Papua Barat. Warisan Dr. Thom Wainggai terus menginspirasi para aktivis dan pendukung Papua Barat di seluruh dunia. Kontribusinya terhadap perjuangan penentuan nasib sendiri dan pengakuan identitas Melanesia sangat berharga.

Sem Karoba dan Gagasan Demokrasi Kesukuan


Dalam bukunya "Tribal Democracy: The Way Forward," Sem Karoba menyajikan konsep berani dan inovatif yang menantang gagasan tradisional demokrasi dengan menggambar inspirasi dari struktur tata kelola tribal. Demokrasi Kesukuan menggabungkan prinsip-prinsip pembuatan keputusan partisipatif, pembuatan konsensus, dan akuntabilitas masyarakat yang telah lama dipraktekkan dalam masyarakat tribal asli dengan prinsip-prinsip demokrasi modern.

Demokrasi Kesukuan berintikan prinsip-prinsip kecenderungan, konsensus, dan keberlanjutan. Dalam sistem Demokratis Kesukuan, setiap anggota komunitas memiliki proses pembuatan suara, dan keputusan dicapai melalui konsensus daripada aturan mayoritas. Hal ini memastikan bahwa kebutuhan dan perspektif dari semua anggota masyarakat diperhitungkan, yang mengarah pada hasil yang lebih adil dan hanya. Selain itu, Demokrasi Kesukuan menekankan pentingnya keberlanjutan jangka panjang dan kelayakan lingkungan, sebagai keputusan dibuat dengan kesejahteraan generasi masa depan dalam pikiran.

Salah satu keuntungan utama dari Demokrasi Kesukuan adalah fokusnya pada kohesi masyarakat dan ketahanan. Dengan mendorong ikatan sosial yang kuat dan rasa tanggung jawab bersama, sistem Demokratis Kesukuan dapat membantu membangun komunitas yang lebih tangguh yang lebih dilengkapi dengan tantangan alamat dan krisis. Selain itu, Demokrasi Kesukuan memprioritaskan kesejahteraan semua anggota masyarakat, termasuk populasi yang rentan dan rentan, yang menyebabkan tata kelola yang lebih inklusif dan adil.

Namun, ada juga tantangan untuk menerapkan Demokrasi Kesukuan di masyarakat modern. Salah satu tantangan utama adalah potensi konflik dan perselisihan untuk menghambat proses pengambilan keputusan. Membangun konsensus dapat menjadi proses yang memakan waktu dan kompleks, yang membutuhkan kesabaran dan kemauan untuk berkompromi dari semua pihak yang terlibat. Selain itu, Demokrasi Kesukuan telah menghadapi resistensi dari struktur daya yang terkuat dan elit politik yang tahan terhadap perubahan. Kata "Suku" yang digunakan dalam judul "Kesukuan" telah membuat banyak pihak dengan serta-merta dan sangat tegas menolak gagasan ini. Bahkan serangan secara fisik yang berakibat mendatangkan kematian atas keluarga, orang tua dan anak-anak pun telah terjadi secara nyata. Tulisan-tulisan di media sosial dan di internet dapat dilacak, yang menunjukkan serangan-serangan yang masif diarahkan menentang gagasan ini.

Meskipun tantangan ini, ada contoh sistem demokratis kesukuan yang sukses yang menawarkan wawasan berharga dalam potensi teori politik ini. Sebagai contoh, Konfederasi Iroquois di Amerika Utara dan suku Maori di Selandia Baru memiliki tradisi lama pembuatan keputusan demokratis yang memprioritaskan konsensus dan kesejahteraan masyarakat. Sistem ini terbukti efektif dalam mempromosikan kohesi sosial dan tata kelola berkelanjutan.

Dibandingkan dengan bentuk demokrasi tradisional, Demokrasi Kesukuan menawarkan pendekatan yang lebih holistik dan berpusat masyarakat untuk tata kelola. Sementara demokrat tradisional sering memprioritaskan hak dan kebebasan individu, Demokrasi Kesukuan menempatkan penekanan yang lebih besar pada kesejahteraan kolektif dan kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Pergeseran ini dalam fokus dapat menyebabkan hasil yang lebih adil dan inklusif, terutama untuk populasi yang dapat diabaikan dalam sistem demokratis tradisional.

Demokrasi Kesukuan menyajikan visi yang menarik dan inovatif untuk masa depan tata kelola yang menarik pada kebijaksanaan dan praktik masyarakat tribal asli. Dengan menggabungkan prinsip-prinsip pembuatan keputusan partisipatif, pembangunan konsensus, dan keberlanjutan, Demokrasi Kesukuan menawarkan kerangka baru untuk mendorong masyarakat inklusif dan tangguh. Meskipun ada tantangan untuk menerapkan Demokrasi Kesukuan di masyarakat modern, potensi manfaat pendekatan ini menjamin eksplorasi dan pertimbangan lebih lanjut. Ketika kita menavigasi kompleksitas dan ketidakpastian abad ke-21, memeluk teori politik baru dan transformatif seperti Demokrasi Kesukuan dapat menawarkan jalan menuju masa depan yang lebih sederhana dan berkelanjutan.


Friday, September 27, 2024

Mahasiswa Uncen Kenalan Koteka ke Kampus: History maker

Jam: 07.00 WIT

Salah satu mahasiswa Universitas Cendrawasih papua. Jurusan Teknik Elektro Semester Empat(4), atas Nama: Devio Bastian Tekege Telah membuktikan sejarah baru tercipta bagi mahasiswa/i papua di Universitas Cenderawasih. 

Pagi hari ini senin di minggu terakhir bulan mei, Devio Tekege menjadi pusat prihatian teman-temannya karena menggunakan pakaian tradisional koteka di kampus. 

Dia tiba di kampus Jam: 08.00 WIT dgn mengendarahi motor. Ia masuk dalam Ruang kelas memakai atribut budaya suku mee (Koteka), sambil mengikuti dua mata kuliah ;
1. Metematika II
2. Elektro analok

Banyak mahasiswa/i langsung memusatkan perhatiannya ke dia dan juga para dosen. Seorang dosen bertanya ke devio kamu kenapa memakai koteka ke kampus apakah ada kegiata? lalu devio menjawab "Tidak ada pak" . 

Lalu ada satu orang dosen yang memintah foto bersama devio dengan tegas Devio Tolak dan devio bilang ini bukan tepat Fashion show pak. Ini budaya jati diri saya sebagai orang papua saya harus melestarikan budaya saya, saya memakai budaya saya ini bukan saja di hari2 tertentu tapi saya pakai sbg pakaian keseharian saya. 
Davio mencoba menyampaikan pesan simbolis kepada mahasiswa2 Papua di Uncen bahwa kita sebagai orang papua kita harus sadar untuk melestarikan budaya kita. 

Davio juga mengungkapkan rasa syukurnya karena Uncen telah ikut membangun peradaban anak-anak koteka untuk menggapai cita-cita dan masa depannya.
Davio kemudian mengajak teman2 Papua yang lain utk melakukan hal yang sama dan ajakan Davio direspon sama seorang temannya asal salah satu suku di Manokwari yang juga merasa tertarik melihat penampilan Devio memakai koteka". 


Lalu mereka berdua sepakat untuk menggunakan pakaian adat masing2 untuk masuk kuliah hari rabu karena selasa libur. Sudah waktunya anak2 asli papua kuliah pake pakaian tradisionalnya. berani ka tidak ?
Untuk pertama kali saya melihat mhasiswa uncen pakai koteka masuk kampus

Friday, September 20, 2024

Yikwanak Kole: Freedom and Independence: Definitions and Examples

Freedom and independence are closely related concepts, often used interchangeably, but they have distinct nuances.
Freedom
 * Definition: Freedom is the ability to act or think without constraint or restriction. It encompasses both physical and mental liberty.
 * Examples:
   * Political freedom: The right to vote, express opinions, and participate in government.
   * Personal freedom: The ability to make choices about one's life, such as career, relationships, and beliefs.
   * Economic freedom: The ability to engage in economic activities without undue government intervention.
Independence
 * Definition: Independence is the state of being free from the control or influence of others. It implies self-sufficiency and autonomy.
 * Examples:
   * National independence: A country's ability to govern itself without foreign control.
   * Financial independence: The ability to meet one's financial needs without relying on others.
   * Personal independence: The ability to make decisions and act without relying on others for support or approval.
Key Differences:
 * Scope: Freedom is broader, encompassing various aspects of life, while independence often focuses on self-sufficiency.
 * Relationship: Freedom is a prerequisite for independence. One cannot be truly independent without a certain degree of freedom.
 * Agency: Independence emphasizes self-reliance, while freedom can involve external factors like rights and liberties.
In conclusion, freedom and independence are interconnected concepts that are essential for human flourishing. While freedom provides the foundation, independence enables individuals to exercise their choices and live according to their own values.

Yikwanak.com: Understanding "Free To..." and "Free From..."

Freedom To and Freedom From
The concepts of "freedom to" and "freedom from" are fundamental to understanding individual liberties and societal rights. They represent two distinct aspects of freedom, often interrelated but requiring different considerations.

Freedom To
 * Definition: This refers to the positive liberty of an individual to do something, to act or choose without hindrance. It's about the ability to pursue one's goals, express oneself, and live life as desired.
 * Examples:
   * Freedom of speech: The right to express oneself without fear of censorship or reprisal.
   * Freedom of religion: The right to practice one's faith without interference or discrimination.
   * Freedom of assembly: The right to gather peacefully with others.
   * Freedom of movement: The right to travel freely within and beyond one's country.

Freedom From
 * Definition: This refers to the negative liberty of an individual to be free from interference or restraint. It's about the absence of external constraints that limit one's choices or actions.
 * Examples:
   * Freedom from slavery: The right to be free from involuntary servitude.
   * Freedom from torture: The right to be free from physical or psychological pain inflicted by others.
   * Freedom from discrimination: The right to be free from unjust or prejudicial treatment based on factors like race, gender, religion, or sexual orientation.
   * Freedom from arbitrary arrest: The right to be free from detention without due process of law.
Interrelationship: While these concepts are distinct, they often overlap. For example, freedom of speech requires both the "freedom to" express oneself and the "freedom from" censorship. Similarly, freedom from discrimination involves both the "freedom from" prejudicial treatment and the "freedom to" live without fear of such treatment.
Understanding the nuances between "freedom to" and "freedom from" is crucial for evaluating the balance between individual rights and societal obligations, as well as for advocating for just and equitable societies.

Tuesday, September 17, 2024

According to Sitchin, the Anunnaki genetically engineered homo erectus

According to Sitchin, the Anunnaki genetically engineered homo erectusIn his 1976 book The Twelfth Planet, Russian-American author Zecharia Sitchin claimed that the Anunnaki were actually a race of extraterrestrial beings from the undiscovered planet Nibiru, who came to Earth around 500,000 years ago in order to mine gold.

According to Sitchin, the Anunnaki genetically engineered homo erectus to create modern humans to work as their slaves. Sitchin claimed that the Anunnaki were forced to leave Earth when Antarctic glaciers melted, causing the Flood of Noah, which also destroyed the Anunnaki’s bases on Earth. These had to be rebuilt and the Nephilim, needing more humans to help in this massive effort, taught them agriculture.

Ronald H. Fritze writes that, according to Sitchin, “the Annunaki built the pyramids and all the other monumental structures from around the world that ancient astronaut theorists consider so impossible to build without highly advanced technologies. 

“Sitchin also claimed that the Anunnaki had left behind human-alien hybrids, some of whom may still be alive today, unaware of their alien ancestry. Sitchin expanded on this mythology in later works, including The Stairway to Heaven (1980) and The Wars of Gods and Men (1985). In The End of Days: Armageddon and the Prophecy of the Return (2007), Sitchin predicted that the Anunnaki would return to earth, possibly as soon as 2012, corresponding to the end of the Mesoamerican Long Count calendar.

Friday, September 13, 2024

Dr Ibrahim Peyon: 1 Danau dengan 5 Sungai Mengalir ke Seluruh Penjuru Bumi

Gambar Dr. Peyon

Satu pemandangan alam menarik, danau ini terletak di atas ke tinggian 3.605 meter di sebuah lembah, gunung-gunung sekitarnya mencapai 3.700-3.900 meter. Tempat ini menjadi bagian dalam sejarah perjalanan Yeli, dalam sejarah penciptaan dan persebaran manusia, meskipun tempat ini bukan pusat sejarah itu. Keajaibanya adalah dari danau ini keluar lima sungai besar dan mengalir ke berbagai arah. Mugi ke arah barat, Yahuli arah timur, Sibi arah utara, Heluk dan Seng arah selatan.

---------

Enam puluh tahun lalu, para misionaris bersama orang-orang tua kami berjuang untuk perkembangan injil, pendidikan, kesehatan, dan berbagai kemajuan saat ini. 
Mereka menghadapai berbagai tantangan, penghinaan, kemarahan, dan sebagian orang tua dan keluarga mereka telah kehilangan nyawa mereka. Banyak orang Yali di banyak kampung lain menolak Injil dan kemajuan saat ini, mereka mengatakan Injil itu milik sentan dan kemajuan berkembangan itu kejahatan dan injil akan merusak ekonomi dan kesuburan. Mereka mengatakan hanya usasum dan muruwal yang akan bawa kemakmuran, kesuburan, kekayaan, wibawa, dan mereka tetap mempertahankan Usasum dan Muruwal. Menurut mereka, usasum dan muruwal adalah segalanya, melalui muruwal laki-laki meningkatkan status mereka dan perempuan direndahkan. 
Orang yang ikut muruwal dianggap menjadi laki-laki sempurna, dan belum ikut muruwal dianggap belum menjadi laki-laki. Pandangan ini juga kita lihat dalam beberapa komentar dalam status ini. Tetapi, orang Yali tidak mengakui bahwa semua hal itu diciptakan oleh perempuan termasuk muruwal. Status seseorang menjadi laki-laki atau perempuan tidak ditentukan oleh usasum dan muruwal tetapi kodrati, status simbolisme laki-laki dan perempuan saat ini ditentukan oleh pendidikan, jabatan politik dan birokrasi, ekonomi dan bisnis, dan kemajuan pembangunan. 
Jadi, bila seseorang klaim status sebagai laki-laki secara simbolis dengan dasar muruwal dan usasum, tidak memiliki arti sama sekali. Karena status laki-laki simbolik usasum dan muruwal tidak mengubah dunia dan tidak bawa berubahan besar, sebaliknya yang ada adalah kejahatan dan ilmu sihir, dimana mereka yang ikut muruwal gunakan lukuram dan jenis ilmu hitam lain untuk niat jahat. Gunakan lukuram dengan niat jahat ini disebut ilmu sihir. Saat ini orang ditakuti karena status pendidikan tinggi, keahlian dan pengetahuan, dengan itu mengubah dunia. Itulah disebut laki-laki dalam konteks saat ini. 
Peristiwa itu terjadi 60 tahun lalu, oleh orang tua kita. Tetapi, fakta hari ini, Injil sudah berkembang dan besar. Injil telah membawa berbagai perubahan hingga saat ini. Banyak orang Yali terima injil, menjadi Kristen, banyak orang muda Yali sekolah, tahu baca dan tulis, dan bekerja di berbagai tempat. Termasuk mereka yang orang tuanya menentang injil dulu, mereka kini sudah maju.
Semua komentar yang ditulis di facebook ini adalah hasil perjuangan orang tua kami dulu itu, mereka berjuang maka kami tahu tulis dan membaca, tetapi mereka yang menentang injil itu dan tidak bisa menghadirkan kemajuan bagi orang Yali hingga mereka tua dan meninggal. Kami tidak lihat hasil mereka saat ini.
Hanya dalam waktu 60 tahun segala sesuatu telah berubah, dan saya yakin apa yang diperdebatkan hari ini di media sosial ini adalah bagian dari peristiwa 60 tahun ini. Saya yakin, 60 tahun ke depan akan berubah dan menerina kenyataan perubahan itu. 
Perbedaan pendapat dalam status facebook ini soal biasa, perbedaan pendapat itu tidak memisahkan persatuan dan bersaudaraan. Tuhan Yesus berkati kita semua.


Saturday, August 24, 2024

Cheating is not only having sex with another person ...

Cheating is not only having sex with another person who is not your wife/husband, it also includes:

1. Receiving money from a man without the knowledge of your husband.

2. Giving money to a woman without the knowledge of your wife.

3. Sharing sex jokes with a person who is not your spouse.

4. Deleting messages which you dont want your spouse to read

5. Answering frequent calls at night from an opposite gender in the presence of your spouse.

6. Avoiding answering a call from someone when your spouse is around or stepping aside to answer that call.

7. Saving contacts of those other persons with different names so that your spouse fails to recognise.

8. Lying about your location to your spouse when you are with that other person or vice versa.

9. Having office husbands and wives.

10. Piling unresolved issues with your spouse is another highest type of cheating which will in turn ruin your body, soul and spirit.

Thursday, August 22, 2024

Dr Peyon Menjawab 001: Soal Kepala Suku, NKRI dan Dewan Adat Papua (DAP)


 Donny James

Bapak saya mau tanya tentang penyebutan kepala suku. ? Menurut saya kata kepala suku itu yang paling wajar di sebut di sebuah daerah apabila Dia mempunyai tanah adat tetapi yang menjadi pertanyaan sekarang ini di Papua daerah2 telah bermukim beberapa kelompok masyarakat adat mereka mengangkat kepala suku mereka di daerah tersebut .. z minta tolong untuk Bapak jelaskan dari perspektif antropologi tentang kata/kalimat Kepala Suku ?

Ibrahim Peyon
Donny James Saudara James, di Papua tidak ada kepala suku, istilah kepala suku itu baru diperkenalkan oleh pemerintah Indonesia untuk kepentingan PEPERA tahun 1969. Kemudian dilanjutkan oleh Rezim Suekarno untuk mempertahankan kepentingan partai Golkar dan rezim otoriternya. Karena itu, Orde baru perintahkan kepada pemerintahahnya di itingkat paling bawah seperti Camat dann desa untuk angkat para kepala suku di tiap kampung dan wilayah. Setelah reformasi, kepala suku dihilangkan, maka orang asli Papua bentuk DAP untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Pemerintah Indonesia melihat DAP lebih banyak memihak orang asli Papua maka, TNI membentuk LMA sebagai tandingan dan pak Lenis Kogoya diangkat sebagai kepala sukunya. Jadi, istilah kepala suku ini baru muncul sejak Indonesia datang di tanah ini untuk mempertahankan kepentingan nasional Indonesia di Papua. Kepemimpinan di Papua adalah berbasis klen, tiap klen memiliki satu pemimpin sendiri dan tiap suku memiliki istilah sendiri. Di seluruh melanesia hanya ada dua kepemimpinan, pemimpin pemilik tanah dan pempin yang diperoleh karena pencapaian. Tipe lain di Papua seperti di Raja ampat, Fakfak, dan Kaimana yang disebut sistem raja itu bukan asli tetapi, impor dari Maluku demi kepentingan kayu kuning, rempa-rempa dan burung kuning.