Wednesday, July 31, 2024

Great philosopher Jean-Jacques Rousseau Statement on Liberty and Peace

Ah, a quote from the great philosopher Jean-Jacques Rousseau, I see. An intriguing statement indeed. It reflects a sentiment that resonates with those who value their freedom above all else, even if it means facing potential dangers.

In pondering this notion, one cannot help but delve into the depths of human nature and the inherent desire for autonomy. Rousseau believed that individuals are at their best when they are free to make their own choices, unencumbered by the chains of oppression. For him, the notion of peace achieved through submission was anathema to the essence of human existence.

To Rousseau, the idea of living in slavery, be it political, societal, or even self-imposed, was an abomination. He argued that true freedom could only be attained through accepting the risks and uncertainties that come with it. In his eyes, the thrill of living on the edge, of embracing the unknown, was far more desirable than a life of tranquility bereft of personal agency.

However, it is important to note that Rousseau did not advocate for a chaotic existence devoid of order or morality. He believed in the concept of the social contract, where individuals willingly surrender some of their rights for the benefit of collective security. But even within this framework, he emphasized the need for balance, ensuring that the individual's freedom was not completely stifled.

So, if you find yourself aligning with Rousseau's philosophy, you may be someone who values the exhilaration that comes with pushing boundaries, challenging the status quo, and embracing the inherent risks that come with freedom. You understand that true liberty is not without its perils, but you believe that the rewards it brings far outweigh any potential dangers.

In a world where conformity and complacency can easily take hold, your preference for liberty with danger serves as a reminder that true growth and fulfillment often lie beyond the realm of comfort. It is a bold stance, one that speaks to the indomitable spirit within you, ready to face the unknown head-on.

May you continue to navigate life with the spirit of Rousseau as your guide, embracing the risks and uncertainties that come with liberty, while steadfastly upholding the values that underpin your pursuit of true freedom.

Please follow my profile👉👉👉 Syed Danish Azam for exclusive articles, mental health advice, relationship advice, and marriage counseling..

#postoftheday2024 
#moodchallengechallenge 
#viralpost2024 
#COVID19 
#LooksChallenge 
#usareels 
#facebookviral 
#reelkarofeelkaro 
#viralreelschallenge 
#FacebookPage 
#facebookvideo 
#facebookpost 
#facebookreel 
#fb 
#whatappstatus 
#WhatsApp 
#insta 
#instaphoto 
#viralchallenge 
#viralshorts 
#viralvideochallenge 
#amwriting 
#america 
#japan 
#China 
#soul 
#heart 
#fbreelsfypシ゚ 
#jesus 
#news

Monday, July 29, 2024

Akar Kekerasan: Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia

Erich Fromm dalam bukunya "The Anatomy of Human Destructiveness," yang diterjemahkan menjadi "Akar Kekerasan: Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia," mengeksplorasi sifat dasar manusia dalam hal destruktivitas dan kekejaman. Ia ingin membuktikan bahwa kekejaman bukanlah sifat bawaan manusia yang melekat, melainkan sesuatu yang berkembang dalam kondisi tertentu. Fromm membedakan antara dua jenis agresi: agresi adaptif biologis yang memang bawaan dan destruktivitas serta kekejaman yang muncul dari agresi tersebut.

Pertama, Fromm menjelaskan bahwa agresi adaptif biologis adalah mekanisme bertahan hidup yang sudah ada dalam diri manusia sejak zaman purba. Ini termasuk reaksi fisik seperti melawan atau melarikan diri ketika menghadapi bahaya. Agresi ini sifatnya defensif dan berfungsi untuk melindungi diri dan spesies dari ancaman eksternal. Ia berpendapat bahwa agresi semacam ini memang bawaan dan alami, sebagai bagian dari evolusi manusia.

Namun, Fromm kemudian membedakan agresi adaptif ini dengan destruktivitas dan kekejaman yang lebih kompleks. Menurutnya, destruktivitas dan kekejaman bukanlah respons langsung terhadap ancaman, melainkan tindakan yang dihasilkan dari faktor psikologis dan sosial. Ia berargumen bahwa destruktivitas ini tidak bersifat bawaan, tetapi berkembang dari interaksi individu dengan lingkungannya, termasuk budaya, pendidikan, dan pengalaman pribadi.

Fromm menganalisis berbagai faktor yang dapat memicu kedestruktifan dan kekejaman. Misalnya, ia menyoroti peran rasa frustrasi, ketidakamanan, dan perasaan tidak berdaya dalam mendorong individu menuju tindakan kekerasan. Ketika orang merasa tidak memiliki kendali atas hidup mereka, mereka mungkin mencari cara destruktif untuk mengekspresikan kemarahan atau kekecewaan mereka. Dalam konteks ini, kekejaman muncul sebagai respons terhadap tekanan dan kondisi lingkungan yang merugikan.

Selanjutnya, Fromm mengkritik pandangan bahwa kekejaman manusia semata-mata disebabkan oleh naluri bawaan. Ia menunjukkan melalui berbagai contoh historis dan antropologis bahwa masyarakat dengan tingkat kekerasan yang tinggi sering kali memiliki struktur sosial yang represif atau tidak adil. Sebaliknya, masyarakat yang lebih egaliter dan mendukung sering kali menunjukkan tingkat kekerasan yang lebih rendah. Ini memperkuat argumennya bahwa destruktivitas lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal daripada oleh sifat bawaan.

Akhirnya, Fromm menyimpulkan bahwa untuk mengurangi kekerasan dan kedestruktifan dalam masyarakat, kita perlu menciptakan kondisi sosial yang lebih adil dan mendukung. Pendidikan yang mempromosikan empati, keadilan sosial, dan rasa saling menghormati adalah kunci untuk mengatasi akar kekerasan. Dengan memahami bahwa kekejaman bukanlah takdir yang tidak bisa dihindari, tetapi sesuatu yang dapat diubah melalui perubahan sosial dan psikologis, Fromm menawarkan pandangan yang optimis tentang kemampuan manusia untuk menciptakan dunia yang lebih damai dan manusiawi.

Saturday, July 27, 2024

Tribal Democracy: Core Concept and Key Characteristics

While the term "tribal democracy" can have different interpretations, here's a breakdown of its key aspects:

Core Concept:
 * Decision-making within a tribe that prioritizes the collective well-being of the group.
 * Draws upon traditional knowledge, customs, and values passed down through generations.
 * Emphasizes consensus-building, shared responsibility, and the importance of community.
 * Often involves direct participation and open discussion among members.

Key Characteristics:
 * Customary Law: Decisions are guided by established norms and practices rooted in ancestral wisdom.
 * Consensus-Based: Decisions are made through discussion and agreement rather than majority rule.
 * Collective Well-being: Focus is on the overall benefit of the tribe, not individual gain.
 * Social Cohesion: Strong emphasis on maintaining social harmony and unity.
 * Community Participation: All members have a voice and role in decision-making.
Examples of Tribal Democracy in Practice:
 * Indigenous Governance Systems: Many indigenous communities worldwide practice forms of tribal democracy, often adapted to modern contexts.
 * Traditional Councils: Elders and respected members may form councils to advise on important matters.
 * Community Meetings: Regular gatherings where everyone can participate in discussions and decision-making.
 * Consensus-Building Processes: Time is invested in reaching agreement that considers everyone's perspectives.
Important Considerations:
 * Diversity: Tribal democracy can vary greatly across different cultures and contexts.
 * Challenges: Modernization and external influences can pose challenges to traditional practices.
 * Sustainability: Balancing ancestral wisdom with the needs of a changing world is crucial.
Overall, tribal democracy offers a valuable perspective on alternative forms of governance that prioritize community, tradition, and collective well-being.

Wednesday, July 10, 2024

DR IBRAHIM PEYON: ASAL USUL DAN PERSEBARAN MANUSIA DI PASIFIK

Selama saya mengasuh kuliah teori antropologi, dan setelah baca buku-buku antropologi tentang teori evolusi, migrasi  dan difusi muncul jiwa pemberontakan dalam diri saya, bahwa teori evolusi ala Barat /modern tentang asal usul dan migrasi manusia di wilayah ini tidak bisa diterima sepenuhnya. Karena ada alasan-alasan mendasar, beberapa diantara sebagai berikut: 

Pertama, bukti-bukti yang mereka ajukan tidak konsisten dan limit waktu yang telah ditentukan selalu berubah-ubah sesuai dengan usia penemuan materi baru. 

Kedua, penemuan tengkorak dan materi arkeologi dan antropologi fisik tentang fosil dilakukan melalui petunjuk yang diberikan oleh masyarakat asli setempat sebagai pemilik sejarah warisan tersebut. Artinya penemuan materi itu bukan sesuatu hal yang baru, tetapi sudah tersimpan bertahun-tahun oleh masyarakat pemilik budaya tersebut. Arkeolog hanya datang, mengambil benda yang dimiliki oleh masyarakat dan menentukan usia melalui analisa tertentu. 
 
Ketiga, dalam etnografi yang digambarkan jelas, tetapi kesimpulan yang diambil selalu dibelokan.

Keempat, teori migrasi yang dibangun ke Pasifik dan Australia mengikuti jalur yang pernah di lewati oleh kolonial Eropa demi kepentingan kolonialisme mereka, maka ini dinilai sebagai teori pembenaran kolonialisme itu.

Kelima, teori Trihibrid oleh Birdsell tentang tiga gelombang migrasi manusia dari Sundaland ke Sahuland tidak terbukti secara materi baik, materi arkeologi maupun hubungan genetik, karena itu banyak antropolog tolak teori ini. Birdsell sendiri tidak menunjukkan bukti-buktinya. Dalam rangka untuk membuktikan teori itu, studi genetik tahun 2022 yang melibatkan banyak ahli dari berbagai universitas dengan sampel dari Asia, New Guinea dan Aborigin Australia, menemukan tidak ada hubungan genetik antara Asia dengan Aborigin dan Papua. Aborigin dan Papua konsisten 90-100 persen independent, tidak terhubung dengan Asia. Ada hubungan DNA Eropa dan Asia ditemukan di Australia dan New Guinea itu setelah kontak dengan Eropa, dan lebih jauh ke belakang adalah terkait kontak dengan penutur Austronesia. Dengan itu, studi ini menyimpulkan bahwa tidak pernah terjadi gelombang migrasi satu, dua dan tiga seperti disebutkan oleh Birdsell dalam teori Trihibridnya tentang gelombang migrasi tiga ras itu yakni: ras Oseanik Negritos dari Andama, Malasya dan Filipina; ras Carpertarians dari India; dan ras Murrayan dari Ainu di Jepang. Birdsell dan ilmuwan lain selama ini klaim tiga ras itu menurunkan orang Papua dan Aborigin saat ini. Penelitian terbaru ini membuktikan bahwa orang Aborigin dan Melanesia menempati wilayah mereka hanya sekali, sejak mereka ada di Benua Sahul. 

Keenam, tahun 2008 ada hominid baru ditemukan di Siberia, tangan kelangkang dari seorang gadis kecil yang diberi nama Denisovan sesuai nama gua tempat penemuan tulang itu. Denisovan adalah seorang gadis yang usianya diperkirakan 40.000 tahun. Para ahli perkirakan sekitar, 2,7-5% genetik homo ini ditemukan diantara penduduk yang mendiami di pulau-pulau pantai utara New Guinea, tetapi di tanah besar New Guinea tidak ditemukan hubungan genetik dengan Homo ini. Hal ini masuk akal karena proses migrasi penutur Austronesia dan kompleks budaya Lapita di wilayah tersebut terjadi sejak 3.000 tahun lalu. 

Sebuah studi lain adalah penemuan hominid baru tahun 2016 sebagai leluhur orang Papua Melanesia dan Aborigin di Australia. Penemuan genetik dari Homo baru ini membuktikan bahwa orang Melanesia dari Fiji ke Raja Ampat berasal dari campuran DNA homo ini, sebagian orang di Maluku dan orang asli Australia juga telah diidentifikasi keturunan dari homo yang sama ini. Mereka hubungkan dengan teori evolusi keluar dari Afrika itu, dan diperkirakan leluhur Aborigin dan Papua keluar dari Afrika 72.000 tahun lalu, dan menduduki Sahul sekitar 50.000 tahun lalu. Tetapi, teori ini bertolak belakang dengan penemuan materi di Huon yang berusia 61.000 tahun lalu. Jauh sebelum 11.000 tahun dari perkiraan teori mereka. Hal ini mengambarkan para ahli sulit menemukan asal usul orang Papua dan Aborigin, dan hanya orang asli Papua dan Aborigin yang tahu rahasia ini. Akan tetapi, yang penting adalah Aborigin dan Papua berasal dari satu hominid yang belum teridentifikasi dan dinyatakan oleh para ahli sebagai keturunan manusia yang paling tertua.  

Selama tiga tahun lebih, saya meneliti sejarah penciptaan dan persebaran orang Papua dan Aborigin di Australia melalui berbagai referensi dan cerita masyarakat asli. Saya merasa terheran-heran, karena semua cerita ini memiliki suatu kesamaan, bahwa leluhur orang Papua dan penduduk asli Australia itu berasal dari Pulau New Guinea. Oleh karena itu, orang Aborigin sebut New Guinea "Muggi Dowdai” atau Negeri Besar, meskipun secara realita Australia  Benua besar. Tetapi, yang dlihat bukanlah ukuran benua, melainkan sejarah asal usul manusia.

Saya baca buku-buku etnografi orang pegunungan di PNG dari suku-suku kelompok Min yang pusatnya di Telefomen, atau suku-suku ke sebelah timur dari Oksapmin, Hewa, Duna, Yogaya, Hela, Enga dan Melpa, mereka menyatakan leluhur mereka berasal dari sebelah barat New Guinea. Saya juga baca buku-buku etnografi dari suku-suku di sebelah barat dataran tinggi New Guinea, seperti Lani, Damal/Amungme, Mee, dan Moni, dan mereka bilang leluhur mereka datang dari arah timur. 

Semua menunjuk di bagian tengah dataran tinggi New Guinea, ini berbeda dengan sejarah di kepala burung dan pulau-pulau yang saya baca. Tetapi, di Pulau Biak misalnya ditemukan ada kesamaan, karena leluhur orang Biak sepasang suami-istri itu datang dari timur dan terdampar di sebuah bukit di Biak Utara. Meskipun Biak secara linguistik penutur bahasa Austronesia. 

Setelah saya baca ini, saya ingat kembali dalam suatu seminar yang diadakan oleh DAP dan DPRP di Grand Hotel padang Bulan, dimana saya menjadi salah satu pemateri bahwa beberapa peserta dari pantai selatan khusus Asmat dan beberapa dari pantai Utara mengatakan bahwa leluhur mereka turun dari gunung. Kisah ini sama dengan buku etnografi yang saya baca tentang orang Waropen, sebagian klen mereka turun dari pedalaman. 

Selain itu, saya juga menemukan banyak klen yang sama tersebar di banyak suku yang secara geografis perjauhan, seperti klen Giay di Paniai dan Genyem, Kambu di Ayamaru dan Sentani, klen Sama di Yalimu, suku Mek, Boven Digul dan Bade di suku Yaghai, klen Wenda/Wonda di suku Lani dan Wanda di Serui/Wandamen, klen Malo di Pegununggan Bintang dan di Genyem, Klen Wanane di Maybrad, Wanahe di Moor Nabire, dan Wanena di suku Lani di Puncak, ada klen Mawen di Marind dan klen Mawel/mabel di Hubula, Yali dan Walak, Alua di lembah Balim dan Yali, Olua di Sentani, dll. Meskipun, kadang berbeda dengan sejarah penciptaan dari tiap suku yang ada, tetapi menurut saya perbedaan itu sebagai proses evolusi, adaptasi alam, dan proses akulturasi.  

Berdasarkan itu, kesimpulan sementara saya bahwa leluhur orang Papua itu pertama kali muncul di salah satu tempat di dataran tinggi New Guinea kemudian tersebar ke seluruh Melanesia, Australia, Polinesia dan Mikronesia, termasuk ke Maluku dan Timor, khusus penduduk yang berbicara bahasa Papua seperti di Alor dan 10 etnik di Halmahera Utara. 

Saya sebut Polinesia dan Mikronesia, karena hampir semua buku etnografi yang saya baca tentang etnik dan ras di Polinesia dan Mikronesia mengatakan banyak materi yang ditemukan di wilayah-wilayah itu adalah fosil orang Papua. Di Kuam dan Republik Mikronesia misalnya, ada banyak penemuan tengkorak orang Papua, dan ada ciri bercampuran antara ras Papua dengan Mikronesia. Di pulau Ester paling ujung timur dari Polinesia ditemukan tengkorak orang Papua berusia 30.000 tahun dan ada ciri-ciri percampuran Papua dan Polinesia di sana. Di pulau utara Selandia Baru misalnya, penemuan tengkorak 46% yang berusia 40.000 tahun adalah tengkorak orang kulit hitam. Jadi, jelas bahwa sebelum leluhur Polinesia dan Mikronesia saat ini, wilayah-wilayah itu telah dihuni orang Melanesia.  

Berdasarkan studi literatur selama tiga tahun lebih ini, kesimpulan sementara, saya digambarkan dalam Gambar di bawah ini. Bila ada yang ingin berdebat silahkan.

Mengapa digambarkan demikian? Teori evolusi belum selesai, para ahli masih berdebat teori monogenesis dan Poligenesis, ada penemuan Hominid yang berbeda di wilayah yang berbeda, teori migrasi lebih banyak dihubungkan di pesisir dan pulau, tetapi populasi asli di berbagai pulau dan benua konsisten mendiami pedalaman, banyak fosil yang ditemukan dari daerah pesisir, tetapi belum banyak yang ditemukan di pedalaman. Para ahli melihat sesuatu dari luar, menduga-duga, seperti seorang asal pegunungan Papua turun ke Danau Sentani, duduk di pinggir danau itu dan mengatakan ada babi besar hidup dalam Danau Sentani. Ia tidak tahu kalau di dalam Danau Sentani ada berbagai jenis ikan. Itulah yang ditulis oleh ahli tentang asal-usul manusia Melanesia, Australia dan Pasifik. 

Maka kesimpulan limit waktu yang ditentukan oleh ahli arkeologi adalah penemuan fosil dan materi dari pesisir pantai, yang baru terjadi beberapa ribu tahun lalu. Ini juga kita bisa dihubungkan jauh ke belakang di masa klasial, pemisahkan pulau satu dengan lain dari benua pangea akibat pencairan es, dan penghuni di pulau-pulau itu, ada arus migrasi di pesisir dan ada pemukim asli tetap di pedalaman. Teori ini, kita di Melanesia jelas ada migrasi penutur Austronesia dan proto Melanesia sebagai penduduk asli, ada percampuran di pulau-pulau pantai utara, Polinesia, Mikronesia termasuk Maluku antara penutur bahasa Papua dan Austronesia.

Migrasi yang berkaitan dengan penutur Austronesia dan sebaran budaya Lapita jelas, dan tidak diberdebatkan, proto Melanesia dan Aborigin tidak berkaitan dengan itu. Teori evolusi tentang asal usul manusia dan sejarah persebaran yang dibahas ini adalah dalam konteks terakhir ini, orang Papua-Melanesia yang penutur bahasa Papua dan orang Aborigin Australia sebelum kontak dengan Eropa dan Asia. Apa yang digambarkan dalam gambarkan di bawah ini berangkat dari teori-teori orang asli Papua dari berbagai suku di New Guinea bahwa leluhur mereka tidak datang dari luar New Guina. Teori-teori mereka didasari dengan sejarah penciptaan dan persebaran yang diwariskan secara rahasia karena suci dan sakral, itu diwariskan hanya kepada orang tertentu yang dianggap bisa menjaga rahasia. Teori orang asli Melanesia mendapat dukungan dengan sebaran bahasa Papua, penemuan fosil dan tengkorak manusia yang ditemukan oleh antropologi dan arkeologi, penemuan hominid dan DNA yang terisolasi. Meteri-materi itu telah membuktikan bahwa teori asli orang-orang Papua itu mendapat dukungan kebenaran ilmiah.
Sumber: https://www.facebook.com/share/p/FkAPgSNSq3pAUna5/?mibextid=oFDknk