Erich Fromm dalam bukunya "The Anatomy of Human Destructiveness," yang diterjemahkan menjadi "Akar Kekerasan: Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia," mengeksplorasi sifat dasar manusia dalam hal destruktivitas dan kekejaman. Ia ingin membuktikan bahwa kekejaman bukanlah sifat bawaan manusia yang melekat, melainkan sesuatu yang berkembang dalam kondisi tertentu. Fromm membedakan antara dua jenis agresi: agresi adaptif biologis yang memang bawaan dan destruktivitas serta kekejaman yang muncul dari agresi tersebut.
Pertama, Fromm menjelaskan bahwa agresi adaptif biologis adalah mekanisme bertahan hidup yang sudah ada dalam diri manusia sejak zaman purba. Ini termasuk reaksi fisik seperti melawan atau melarikan diri ketika menghadapi bahaya. Agresi ini sifatnya defensif dan berfungsi untuk melindungi diri dan spesies dari ancaman eksternal. Ia berpendapat bahwa agresi semacam ini memang bawaan dan alami, sebagai bagian dari evolusi manusia.
Namun, Fromm kemudian membedakan agresi adaptif ini dengan destruktivitas dan kekejaman yang lebih kompleks. Menurutnya, destruktivitas dan kekejaman bukanlah respons langsung terhadap ancaman, melainkan tindakan yang dihasilkan dari faktor psikologis dan sosial. Ia berargumen bahwa destruktivitas ini tidak bersifat bawaan, tetapi berkembang dari interaksi individu dengan lingkungannya, termasuk budaya, pendidikan, dan pengalaman pribadi.
Fromm menganalisis berbagai faktor yang dapat memicu kedestruktifan dan kekejaman. Misalnya, ia menyoroti peran rasa frustrasi, ketidakamanan, dan perasaan tidak berdaya dalam mendorong individu menuju tindakan kekerasan. Ketika orang merasa tidak memiliki kendali atas hidup mereka, mereka mungkin mencari cara destruktif untuk mengekspresikan kemarahan atau kekecewaan mereka. Dalam konteks ini, kekejaman muncul sebagai respons terhadap tekanan dan kondisi lingkungan yang merugikan.
Selanjutnya, Fromm mengkritik pandangan bahwa kekejaman manusia semata-mata disebabkan oleh naluri bawaan. Ia menunjukkan melalui berbagai contoh historis dan antropologis bahwa masyarakat dengan tingkat kekerasan yang tinggi sering kali memiliki struktur sosial yang represif atau tidak adil. Sebaliknya, masyarakat yang lebih egaliter dan mendukung sering kali menunjukkan tingkat kekerasan yang lebih rendah. Ini memperkuat argumennya bahwa destruktivitas lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal daripada oleh sifat bawaan.
Akhirnya, Fromm menyimpulkan bahwa untuk mengurangi kekerasan dan kedestruktifan dalam masyarakat, kita perlu menciptakan kondisi sosial yang lebih adil dan mendukung. Pendidikan yang mempromosikan empati, keadilan sosial, dan rasa saling menghormati adalah kunci untuk mengatasi akar kekerasan. Dengan memahami bahwa kekejaman bukanlah takdir yang tidak bisa dihindari, tetapi sesuatu yang dapat diubah melalui perubahan sosial dan psikologis, Fromm menawarkan pandangan yang optimis tentang kemampuan manusia untuk menciptakan dunia yang lebih damai dan manusiawi.
No comments:
Post a Comment