Tuesday, January 28, 2025

Pyramid PenonggaloTanah Pijakan Injil Kristus

Tren modern di tempat ini disebut Pyramid oleh misionaris asing dan selanjutnya dikenal secara luas. Penonggalo Lu'karu aslinya. Mengapa disini lalu disebut sebagai Pyramid.

Apa kaitannya dengan Pyramid di Mesir. Saat ditanyakan, Kebanyakan orang memberikan alasan hanya seputar tentang mirip gunung 🗻 Watikam, Logot dan Beam yang menyerupai bentuk Pydamida di Mesir jadi diberikan nama Pyramid. 

Apa memang benar seperti itu?

Keterangan gambar:
Ini di kompleks konferensi kembali aktif setelah sekian lama sudah tidak terpakai. Tempat ini dilengkapi dengan beberapa ruang. Diantaranya ruang pertemuan, ibadah, dapur klasik ala Eropa dengan tempat perapian, ruang makan, kamar tidur, kamar mandi luar dan dalam, tempat 🔥 api unggun, air bersih, listrik bersumber dari PLN serta halaman yang luas. 

Beberapa pohon di kiri saya ini merupakan pohon sejarah yang di taman oleh 3 misionaris asing pemuka agama Kristen protestan dari misionaris Gereja Kemah Injil, Baptis dan GIDI.

Konon ceritanya di tempat ini, merupakan tempat peradaban manusia Balim secara, budaya, agama serta pendidikan manusia Balim.

Itu sebabnya, ditempat ini saat misionaris asing hadir di lembah Balim, tempat ini menjadi incaran oleh mereka, setelah menemukan, menurut mereka tempat ini sangat strategis untuk menjadi pusat pekabaran Injil tapi juga pusat untuk Kolonialisme seluruh wilayah Papua dan lebih khusus pegunungan tengah Papua.

Colonization, budaya baru ala barat, agama barat, pendidikan barat ini mulai dilakukan dari sini. Pyramid Penonggalo . perubahan nama tempat ini dari nama aslinya Penonggalo Lu'karu menjadi Pyramid ini merupakan salah satu contoh kolonialisme misionaris asing tadi kemudian lainnya disusul.

Jadi, jika ingin dekolonisasi orang Papua juga harus dari sini.

Dengan cerita singkat ini apakah anda bisa menemukan jawaban tentang nama Pyramid menggapa harus diberikan di tempat ini, disini di Penonggalo Lu'karu?

Wendanak Says: Bahasa Ibu atau lokal (daerah) itu penting dalam identifikasi pengetahuan asli

Bahasa Ibu atau lokal (daerah) itu penting dalam identifikasi pengetahuan asli milik masyarakat adat (MAdat) di Balim (Lani, Nduga, Yali, Hubula/Nayak) . Marga saya Tabuni sudah pasti orang Lani dan memang saya fasi berbahasa Lani, tetapi saya lahir di distrik Muliama dan moyang saya ada hubungan darah dengan Walak sehingga bisa berbahasa Walak dan Bahasa MAdat dari Muliama tempat dimana saya lahir sendiri sampai di Wilayah Wio sedangkan ke arah Hitigima sampai ke Kurima, bisa dengar tapi tidak bisa menggunakannya. Lalu saat saya ke arah Wilayah Yalimo saya mendengar sebagian bahasa masyarakat adat disana mengunakan sebagian bahasa dari Hubula dan Walak, hal serupa saya jumpa di dalam bahasa daerah MAdat Nduga sebagian mengunakan bahasa Lani juga sebagian dari Hubula.

Dalam konteks seperti ini, saya sampaikan kita ini satu inti MAdat Balim walaupun dari empat sub suku-suku besar ini saat perbatasan dengan suku-suku lainnya di Papua pegunungan kita membatasi diri di antara lalu lupa tentang kita tentang satu inti Balim. 

Pengelompokan 4 suku-suku besar ini selain berdasarkan bahasa tadi juga berdasarkan wene/ pengetahuan lokal MAdat tentang orang Balim itu sendiri yang ada kemiripan dan ternyata sama persis.

Lupa bahasa berarti kita lupa identitas diri. Kawan bahasa ibu atau lokal itu penting!

@sorotan 

#kurumbiwone
#wenenu
#kunumewene
#kunumewone
#generasiarusbalik
#SaveCulture
#SaveBalim
#MataHatiBalim
#BahasaDaerah
#BahasaIbu
#BahasaLani

Saturday, January 25, 2025

4 Penulis hebat anak Balim Yang Perlu Anda Ketahui

4 Penulis hebat anak Balim. 2 dari Lani dan 2 dari Nayak di Hubulama.1 Jikwanak Prof. Sem Karoba,  2. Yamin Kogoya, 3. Agus Alua, buat saya adalah Jemius Asolokobal. Nama Anda akan selalu dikenang walaupun kita tidak pernah ketemu secara fisik. Ide-ide brilliantmu membuka mata hati dan pikiran kita untuk hidup ini selalu dan selamanya ada disini di Balim dan benar-benar mewujudkan surga di bumi.

#kurumbiwone
#wenenu
#kunumewene
#kunumewone
#generasiarusbalik
#SaveCulture
#SaveBalim
#MataHatiBalim

@sorotan

Sunday, January 19, 2025

Javier Pereira, a Zenu Indian from Colombia 200 Years Old

1956— Photograph of Javier Pereira of Columbia at the age of 167. Javier Pereira, a Zenu Indian from Colombia— famously believed to have lived for 200 years, with his birth year often cited as 1789 in the Viceroyalty of New Granada and his death as March 30, 1989. Although there is no definitive proof of his exact age, many people, including journalists and historians, claimed he had lived for two centuries.

Pereira’s story gained international attention when he traveled to New York City in September 1956, sponsored by Ripley’s Believe It or Not. During his visit, he underwent extensive medical examinations at Cornell Medical Center. Despite his alleged advanced age, he amazed doctors and the public with his vitality. He was described as being 4 feet 4 inches tall and weighing about 35kgs. Although he had lost all his teeth, his hair remained brown. Remarkably, his blood pressure and arteries resembled those of a much younger person, and he could perform feats like standing on one leg, pirouetting, walking several blocks, and climbing stairs without difficulty. One doctor even remarked that Pereira appeared to be more than 150 years old.

At a press conference held at the Biltmore Hotel on September 27, 1956, Pereira, showing his spirited nature, punched four people, reportedly in good humor. Asked about the secret to his longevity, Pereira shared simple advice: chew cocoa beans, drink plenty of coffee, and avoid worrying too much.

Pereira claimed to remember significant historical events, such as the Siege of Cartagena in 1815, as well as conflicts among indigenous communities and a devastating famine that occurred long before. He was “discovered” in 1954, by which time he had outlived five wives, all of his children, and even his grandchildren, the last of whom reportedly died in 1941 at the age of 85.

After his death on March 30, 1989, in Montería, Colombia, an Associated Press report described him as “the little Indian believed by many to be the world’s oldest man.” While his exact age remains unverifiable, his story continues to fascinate people. In 1957, Colombia even issued a postage stamp in his honor, commemorating his extraordinary claim to longevity. 

Credits goes to the respective owner ~
[DM for credit or remove]

Nikola Tesla: A Pioneer in High-Frequency and Electrostatic Innovation

Imagine standing on stage as 250 million volts of electricity crackle around you. That’s exactly what Nikola Tesla did in his 1893 lectures at the Franklin Institute and the National Electric Light Association. But Tesla wasn’t just showing off—he was proving a revolutionary principle: that high-frequency electricity, even at enormous voltages, could be safe under the right conditions.

Tesla passed these currents over his body, lighting lamps in his hands and making his skin and hair glow with electrical energy. This was possible due to the skin effect, where high-frequency currents flow along the surface of a conductor (like his body) without penetrating deeper tissues. Tesla explained:

“A million volts would not kill you or hurt you if the current vibrated quickly enough—say half a million times to the second.” (The World, July 22, 1894)

These demonstrations weren’t just spectacles—they laid the groundwork for Tesla’s later inventions, including his mechanical oscillator, which he envisioned as a transformative medical device.

Tesla’s 1896 Patent: The Foundation of High-Frequency Medicine

Tesla’s Apparatus for Producing Electric Currents of High Frequency and Potential (U.S. Patent 568,176) wasn’t just an engineering marvel—it was a paradigm shift.

Key components included:

1. A capacitor to store and release energy explosively.

2. A transformer to generate high-frequency oscillations.

3. Circuit controllers to regulate current flow with precision.

Tesla’s focus on electrostatic principles set his invention apart, creating rapidly alternating electric fields rather than relying solely on electromagnetic waves. These fields interacted uniquely with biological systems, enabling non-invasive, therapeutic possibilities far beyond the capabilities of his contemporaries.

Tesla’s 1897 Article: Electricity as a Guardian of Youth

By 1897, Tesla was exploring health applications for his device. In “Tesla’s New Invention to Preserve the Beauty of Youth Through Life” (New York World, October 31, 1897), he described a routine to repel harmful microbes:

1. Clean the skin with alcohol.

2. Charge the body with high-frequency electrostatic currents to expel microbes.

3. Apply an electric massage to rejuvenate tissues.

While Tesla’s microbial theories have not been validated, his methods anticipated modern skincare technologies like microcurrent therapy.

Tesla’s 1900 Article: A New Frontier in Medicine

In 1900, Tesla claimed his oscillator could cure diseases like tuberculosis by disrupting microbial environments:

"If these portions of the body in which germs are growing are subjected to electricity, the diseases will be unable to live in the changed atmosphere, as it were, and the disease will disappear.” (New York World, August 19, 1900)

Tesla described a painless treatment using a spoon-shaped glass electrode, reporting “marvelous” results from physicians who tested his device.

Comparing Tesla’s Vision to Modern Science

Tesla’s work remains distinct from modern technologies:

1. Tesla’s Approach: High-potential electrostatic fields, interacting non-invasively with biological systems.

2. Modern Devices: Electromagnetic waves (e.g., radiofrequency therapy), which penetrate tissues to stimulate healing.

Tesla’s reliance on electrostatic effects prioritized surface-level, non-invasive treatments—a frontier modern science has largely left unexplored.

Why Didn’t Tesla’s Ideas Gain Traction?

Several factors hindered Tesla’s medical innovations:

Limited Validation: Tesla's claims weren’t rigorously tested by contemporary standards, and his work with high voltages was uncommon among his peers due to safety concerns and a limited understanding of high-frequency, high-potential electricity at the time.

Competing Theories: Germ theory and pharmaceuticals dominated medicine.

Priorities: Tesla focused on wireless energy, leaving medical applications underdeveloped.

What Can We Learn from Tesla Today?

Tesla’s bold reliance on high-frequency, high-potential electrostatic energy challenges us to revisit electricity’s potential in medicine. Could his methods inspire future breakthroughs?

💡 What do you think? Are Tesla’s electrostatic principles an untapped frontier in science? Share your thoughts below!

#NikolaTesla #ElectrostaticFields #MedicalInnovation #HighFrequency #TeslaOscillator #VisionaryScience

Saturday, January 11, 2025

Socrates: Saya tidak bisa mengajari seseorang apa pun

Pernyataan Socrates, “Saya tidak bisa mengajari seseorang apa pun. Saya hanya dapat membuat mereka berpikir,” mencerminkan inti dari metode filsafatnya yang dikenal sebagai Metode Socratic atau dialektika. Berikut adalah penjelasan dari pernyataan ini:

1. Pendidikan sebagai Proses Pemahaman Diri
 • Socrates percaya bahwa pengetahuan sejati tidak dapat ditanamkan dari luar. Sebaliknya, ia harus muncul dari dalam diri seseorang melalui refleksi dan pencarian kebenaran.
 • Dalam pandangannya, tugas seorang guru atau filsuf bukanlah memberikan jawaban, tetapi membantu orang menemukan jawaban sendiri dengan berpikir kritis.

2. Metode Socratic
 • Socrates menggunakan metode tanya jawab yang mendalam untuk memandu orang mengevaluasi asumsi mereka, mengungkap kontradiksi, dan akhirnya mencapai wawasan baru.
 • Dengan cara ini, ia tidak “mengajari” dalam arti tradisional, tetapi memfasilitasi proses berpikir sehingga seseorang menemukan kebenaran secara mandiri.

3. Penekanan pada Otonomi Berpikir
 • Pernyataan ini juga menekankan pentingnya kemandirian intelektual. Menurut Socrates, hanya dengan berpikir secara mandiri, seseorang dapat mencapai kebijaksanaan sejati.
 • Pengetahuan yang dipaksakan dari luar tidak akan menghasilkan pemahaman mendalam atau perubahan yang bermakna.

4. Relevansi dalam Pendidikan Modern
 • Pendekatan ini sangat relevan dalam pendidikan saat ini, di mana guru diharapkan menjadi fasilitator yang mendorong siswa berpikir kritis, bukan sekadar memberikan informasi.
 • Fokusnya adalah pada pembelajaran aktif, di mana siswa memainkan peran utama dalam mengeksplorasi dan memahami ide-ide.

Kesimpulan

Socrates mengajarkan bahwa tujuan pendidikan adalah menumbuhkan kemampuan berpikir kritis dan reflektif. Dengan “membuat orang berpikir,” ia mengingatkan kita bahwa kebijaksanaan sejati tidak dapat diberikan, tetapi harus ditemukan melalui usaha dan perenungan pribadi.

Sunday, January 5, 2025

Kolonialisme dan Pemberian Nama Peta Asing kepada Peta Asli

Pegunungan Koiali yang oleh kolonial Eropa mengubah nama menjadi pegunungan Owen Stanley (titik merah dalam peta), di gunung ini sebuah tempat bernama Haganumu adalah situs sejarah paling penting suku-suku yang mendiami di tiga Provinsi, Sentral Province, Oro Province dan Melne Bay Provonce. Suku-suku ini mengakui leluhur mereka keluar dari dalam tanah melalui sebuah lubang gua di gunung ini, tempat itu disebut Haganumu. Dari tempat inilah mereka menyebar ke berbagai tempat dan terbentuk menjadi klan, sub suku dan suku yang mendiami di wilayah tersebut. Studi arkeologi yang melakukan penggalian di sebuah tempat sebagai kampung tua yang pernah mendiami orang Papua, setelah migrasi dari puncak gunung, membuktikan bahwa di kampung tersebut telah dihuni 35.000 tahun lalu. 

 Mengambil patokan dari itu, kampung-kampung di wilayah pegunungan tersebut telah dihuni 50.000 hingga 60.000 tahun lalu atau lebih jauh dari itu. Sementara itu, suku-suku di Teluk Papua, muara sungai Fly, Selat Torres dan pantai Australia (lingkaran merah) ini mengakui leluhur mereka bermigrasi dari dataran tinggi Papua (Pegunungan Tengah Papua). 

Berbagai studi arkeologi membuktikan penduduk di wilayah ini bermigrasi dari dataran tinggi 300 tahun lalu, mereka turun mengikuti sungai Fly, Sungai Purari dan Tauri hingga mencapai pantai. Lebih 50.000 tahun lalu orang Papua dan orang Aborigin pisah, namun hubungan genetik mereka masih ditemukan hingga sekarang. 

Sebuah studi genetik yang dilakukan dengan sampel Aborigin di Australia dan sampel orang Papua di PNG seperti suku Daga di ujung selatan PNG membuktikan 47% kesamaan genetik antara Papua dan Aborigin.

Dr Ibrahim Peyon: Kritikan Teorerisi Melanesia atas Teori-teori Barat tentang Melanesia

Seorang Antropolog yang berasal dari Papua New Guinea, bernama Warilea Iamo Kritik seorang Antropolog besar bernama Margaret Mead yang menulis tentang Pasifik. Margeret Mead dalam buku-buku tentang Samoa, Manus dan Papua New Guinea, menulis orang Pasifik dalam distriminasi rasial yang kental. Margaret tidak sendirian, tetapi sebagian antropolog aliran Boasian seperti ruth Benedict, Kroebert dan beberapa lain. Antropologi Fungsionalisme  Inggris Bronislaw Malinoswki juga telah membantu kolonial untuk kekuasaan kolonialisme di Pasifik. Karena itu, Derek Freedom kritik keras terhadap Margaret Mead, Ruth Benedict dan Franz Boas yang dinilai teori mereka sebagai ideologi politik, dan mengabaikan prinsip-prinsip ilmiah. 

Dalam konteks ini, Warilea Iamo menulis sebagai beriku:  "saya telah mencoba untuk menunjukkan bahwa pengetahuan adalah bagian yang rumit dari kekuasaan. Pengetahuan antropologis berarti mengetahui yang Lain. Mengetahui yang Lain adalah untuk menciptakan sejarah, politik, geografi, dan budaya seseorang, untuk menghapus kekuatan imajinasi, dan untuk membuat orang tersebut tergantung. Tetapi untuk mengetahui orang lain juga berarti menganggap diri kita bisa lebih memahami diri kita sendiri. Dengan demikian, sebuah diferensiasi dan dikotomi "kita" sebagai yang superior dan "mereka" sebagai yang inferior berkembang. Dan, untuk mengetahui yang Lain adalah untuk memiliki otoritas atas orang tersebut, untuk mewakili, dan memperbanyak orang itu. Proses semacam ini akan menimbulkan stigma, di mana orang pribumi tidak dilihat dalam haknya sendiri, tetapi lebih dilihat dari apa yang telah dibuat dari individu tersebut". 

Stigma Papua adalah sebuah argumen teoretis dari sudut pandang kita sebagai subjek antropologi dan juga para antropolog. Stigma ini melihat "penemuan" antropologis tentang orang dan budaya Papua oleh Margaret Mead, bahkan oleh para antropolog masa kini, sebagai kategori sosial representasi yang lebih tertanam dalam budaya Barat daripada gambaran yang sebenarnya dari orang-orang itu sendiri. Saya berargumen bahwa penemuan-penemuan ini bukanlah sekadar imajinasi, karena kini mereka menjadi bagian integral dari peradaban Barat dan dunia saling ketergantungan tempat kita hidup. Stigma Papua muncul dari antropologi komparatif, yang spesialisasinya adalah komponen peradaban manusia yang diberi label "primitif" dan mengandung berbagai tingkat sejarah, ekonomi, politik, agama, psikiatri, dan sebagainya. Ini adalah kerangka psikologis Barat untuk mempertahankan citra dirinya yang diproyeksikan sebagai yang "Lain," seseorang yang lebih rendah dan lebih sederhana, untuk mendefinisikan dirinya sendiri sebagai "lebih baik." Ini terutama benar, karena menurut Diamond (1974: 119), "tanpa model semacam itu, semakin sulit untuk mengevaluasi atau memahami patologi dan kemungkinan-kemungkinan kontemporer kita."  Karena itu, Jared Diamond dalam bukunya, The World Until Yesterday: What Can We Learn from Traditional Societies,  juga membandingkan korban dalam perang dunia II sebagai akibat dari Bom Atom di Hirisima dan Nakazaki, dengan perang suku dalam masyarakat Dani. Ia abndingkan secara presentasi korban dalam perang dunia II lebih kecil ketimbang korban dalam perang suku orang Dani. 

Pandangan mencerminkan ideologi politik Barat terhadap di luar mereka, skriminasi rasis dan ideologi politik dibangun atas nama ilmiah dan ilmu pengetahuan. Sejauh ini ilmuwan Papua, meskipun berbagai titel yang dimilikinya tetapi kami belum mampu melihat teori secara kritis dan ilmiah. kami belum bisa membela diri kami sendiri dari kekuasaan pengetahuan barat yang menindas dan merendahkan martabat kemanusiaan sejati dan kesetaraan manusia.

Dr Ibrahim Peyon tentanf Dasar Teori Pembagian Wilayah Ada di West Papua

Dalam postingan saya beberapa waktu lalu bertanya tentang dasar akademik Peta 7 Wilayah adat di Papua. Meskipun peta ini katanya dibuat oleh beberapa pihak termasuk antropologi uncen, SIL, Dewan Kesenian Papua dan DAP. Tetapi, sejauh ini belum ada kajian ilmiah tentang peta 7 wilayah adat ini. Di jurusan kami, di antropologi Uncen ada gantung peta ini di ruang dosen dan beberapa kali dalam rapat jurusan kami, saya bertanya dasar akademik peta tersebut dan saya mengatakan peta ini tidak layak tempel di sini. Karena tidak bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Beberapa kali dosen-dosen dari Indonesia dan juga luar negeri yang datang, sempat bertanya tentang peta itu, tetapi secara akademik kami tidak bisa menjelaskan. 

Dengan itu, saya berpikir, sebagai seorang antropolog dan akademik, tidak bertanggung jawab jika hanya kritik, tanpa berbuat sesuatu tentang soal itu. Kemudian saya putuskan bahwa perlu kajian ilmiah secara mendalam tentang Wilayah Kebudayaan di Melanesia. Saya mulai meneliti Manusia dan kebudayaan suku-suku di Melanesia selama 3 tahun sejak 2022 hingga 2024, dan akhir tahun 2024 telah berhasil selesaikan kajian itu dengan menghasilkan sebuah buku yang berjudul 
"Distribusi Manusia dan Budaya: Isu-Isu Ras, Etnik dan Kultur Area". Dengan metode kerja lapangan, dan studi literatur lebih dari 2. 000 buku. Dalam buku ini saya telah identifikasi dan menetapkan 26 Kultur Area, mulai dari Fiji hingga ke Raja Ampat. Sebanyak 26 Kultur Area di Melanesia itu ditentukan dengan kriteria akademik yang sangat mendasar dan secara keseluruhnya 10 kriteria, misalnya sejarah asal usul, organisasi sosial dan kekerabatan. Kriteria-kriteria itu dapat menentukan suku-suku mana diklasifikasi dalam kultur area mana. Dengan demikian, diharapkan kehadiran buku ini dapat memecahkan masalah perdebatan Kultur Area di Melanesia. Wilayah-wilayah tersebut saya bagi dalam dua kelompok besar, Kelompok tanah besar New Guinea dan kelompok kepulauan. Masing.masing dibahas dalam bab sendiri. Ada alasan ilmiah yang mendasari klasifikasi dalam dua kelompok besar ini. Selain itu, urutan atau penomoran juga dilakukan dengan alasan tertentu dan alasan itu akan dibahas dalam buku lain. Alasan penomoran ini ditentukan berdasarkan sejarah asal usul dan persebaran manusia di Pasifik, seperti pernah saya posting dalam sebuah deskripsi singkat dan peta persebaran manusia di alamat facebook saya. Karena penentuan nomor tidak berdasarkan pada deratan geografis dari timur ke barat dan dari barat ke timur, dan dari utara ke selatan atau sebaliknya.Tetapi, ada dasar yang paling mendasar tentang eksistensi manusia di Pulau besar ini dan persebarannya ke kawasan Pasifik dan Australia secara luas pada masa penciptaan dan setelahnya.

Saturday, January 4, 2025

Alberti Einstein's Humbleness Example

This is the face of the young man that silenced Albert Einstein and made him scratch his head contemplatively in front of a large audience.

This lanky young man with a bony face and a corn-silk hairstyle forced the famous Albert Einstein to have a second thought, and a minute later, he retracted an equation he had just finished presenting at a conference.

The year was 1930, and the event was a German Physical Society conference held in Leipzig. After the president of the association profoundly praised Einstein for his great speech to the thunderous applause, he asked if anyone in the audience had any questions. For a little while, silence seared across the hall. Who would dare to question Einstein, one of the world's most respected physicists?

A juvenile-like voice erupted from the last row of the room in a broken German language, spitting words that held the audience spellbound:

"What Professor Einstein said is not stupid, but the second equation he wrote does not follow from the first. In fact, it requires further assumptions that have not been made and, what is worse, it does not satisfy a criterion of invariance, as it should instead be". He echoed fearlessly.

All heads turned reflexively towards this bold, defiant voice that submerged everyone in disbelief, unable to contain their irrepressible astonishment in the engulfing noiselessness.

As they struggled to breathe under this bizarre sea of bafflement, wondering who that might be, Einstein was deeply lost in scrutinizing his said erroneous equation on the blackboard, almost transfixed by the new revelation, except for his hand, which was mechanically scratching his mustache.
After what appeared to be 60 seconds or so, Einstein turned around, admitting his mistake, and then said:

"The observation of that young man over there is perfectly correct. I therefore ask you to forget everything I have said to you today."

On that day, at that precise moment, destiny plucked that fearless young man of 22 years from obscurity and made him the leading theoretical physicist of the Soviet Union, arguably one of the greatest geniuses of all time to ever illuminate the rocky planet of Earth. That, that was Lev Davidovich Landau for you, ladies and gentlemen.

Similarly, on that day, Albert Einstein demonstrated the kind of unadulterated humility that genuine knowledge bestows on any vessel of flesh that houses it. True education humbles, not the other way around. 

Be humble.
Source: “The ABC's of Science” by Giuseppe Mussardo, 2020, Springer.

You must read this: https://golfvertex.com/angry-man-causes-plane-to-deplane-over-crying-baby/